Minggu, 10 Maret 2013

Sekelumit Mengenai Hukum Desain Industri

A. Pengertian Desain Industri
Penggertian Industrial Design diatur dakan oasal 25 dan pasal 26 Pesetujuan TRIPs. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1984, istilah yang dipakai adalah desain produk industri. Penyebutan nama Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 dengan nama desain industri lebih tepat sebagai padanan kata industrial design

Desain Industri adalah suatau kreasi tentang bentuk warna, konfigurasi atau komposisi garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk 3 (tiga) dimensi atau 2 (dua) dimensi yang memberikan kesa estetis dan dapat diwujudkan dalam pola 3 (tiga) atau 2 (dua) dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industry, atau kerajinan tangan.

Dari bunyi Pasal 1 angka 1 UUDI, dapat disimpulkan bahwa desain industri adalah setiap pattern atau rancangan industri yang dipakai berulang – ulang untuk menghasilkan suatu produk barang, komoditas industri atau kerajinan tangan yang bernilai estetis. Dengan kata lain, desain indutri merupakan karya ciptaan intelektual manusia yang bernilai seni pakai yang dihasilkan oleh industri[1]
b. Syarat/ prinsip




Desain Industri adalah merupakan bidang yang sangat banyak yang berkaitan dengan kehidupan manusia terutama dalam sector perindustrian. Pengembangan sektor perindustrian serta pembaharuan teknologi guna menggerakkan perekonomian, dapat berjalan bila didukung dengan bidang desain yang handal. Kondisi seperti itu terjadi karena desain industri memberikan nilai ekonomi yang tinggi berupa peningkatan pasaran barang – barang produk, membantu mendayagunakan kekayaan alam dan budaya dengan penampilan produk yang inovatif, sehingga tidak berlebihan bila Desain Industri dikelompokkan sebagai salah satu dari cakupan atas Hak Kekayaan Intelektual.

Desain Industri melindungi ciptaan “seni pakai”, sedangkan hak cipta melindungi ciptaan “seni murni”. Namun dalam prakteknya sangat sulit membedakan antara perlindungan dengan hak desain dengan yang dilindungi oleh hak cipta. Oleh karena hal tersebut maka diperlukan syarat – syarat untuk membedakannya. Berikut adalah perancangan bentuk barang yang dapat dimasukan ke dalam desain industri bila memenuhi syarat – syarat berikut ini:

a. Rancangan tersebut memiliki sifat kebaruan (novelty), maksudnya memang benar – benar baru atau hanya merupakan desain perbaikan dari yang lama
b. Rancangan tersebut benar – benar asli (original) hasil si perancang, bukan hasil jiplakan;
c. Hasil rancangan tersebut tidak termasuk ke dalam bidang kesusastraan dan bentuk seni murni;
d. Dapat diterapkan, atau dimanfaatkan untuk diproduksi secara missal;
e. Mempunyai manfaat secara bagian – bagian tersendiri, juga bias secara keseluruhannya[2]

Mengenai sifat kebaruan, diartikan bahwa keabruan itu merupakan perbaikan dari desain yang lama masih diberikan hak desain baru karena di dalamnya terdapat hal – hal yang baru sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknik baru, misalnya perbaikan – perbaikan dari segi lingkungan, social, ekonomi, dan segi – segi lainnya. Perbaikan dpat dilihat dari kemanfaatannya yeng lebih meningkat, menghilangkan yang merugikan pemakaiannya, misalnya lebih aman, lebih hemat energi).

Perbaikan desain yang didalamnya masih memiliki sifat kebaruan didasarkan atas beberpa alasan yang berhubungan dengan hakikat desain industri, yaitu :

a. Prinsip pemecahan masalah

meskipun perkembangan desain bermula dari desain – desain sebelumnya, tetapi inti dari dari desain yaitu untuk memecahkan masalah, mencapai pemenuhan kebutuhan dan kepentingan yang seoptimal mungkin dengan biaya yang serendah – rendahnya.

b. Prinsip estetika

Perbaikan desain memperlihatkan nilai – nilai estetika yang baru sebagai hasil perbaikan. Adanya estetika baru itulah yang diperhatikan, karena prinsip dasar desain yaitu estetika.

c. Prinsip Kegunaan / Manfaat

Prinsip kegunaan / manfaat mencari mutu yang lebih baik dengan adanya perbaikan atau pembaruan tersebut memberikan hal lain berupa pemenuhan faktor performan, kemanfaatan, produksi, pemasaran, kepentingan produsen, serta kualitas bentuk yang lebih baru / lebih meningkat.[3]



c. Objek dan Jangka Waktu Perlindungan Hukum Desain Industri



Tidak semua desain industri mendapat perlindungan hukum. Desain industri yang yang memenuhi persyaratan UUDI yang mendapat perlindungan hukum desain industri. Menurut UUDI, yang menjadi obyek perlindungan hukum desain industri adalah untuk desain industri yang baru (novelty) dan telah terdaftar.

Pasal 2 ayat (1) UUDI menyatakan, “hak desain industri diberikan untuk desian industri yang baru”. Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 25 ayat (1) Persetujuan TRIPs. Ini berarti bahwa hanya desain industri yang mempunyai kebaruan saja yang dapt diberikan perlindungan hukum dan dengan sendirinya dapat didaftar. Pendaftaran merupakan syarat mutlak agar desain industri yang mempunyai kebaruan tadi diberikan hukum dalam jangka waktu tertentu.

Menurut Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) dihubungkan dengan Pasal 1 angka 9 UUDI, suatu desain industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan permohonan pendaftaran desain industri yang telah memenuhi persyaratan administratif. Selain itu, desain industri yang telah diumumkan dalam jangka waktu 6 bulan sebelum tanggal penerimaan, desain industri dapat diberikan hak desian industry. Ketentuan ini dicantumkan dalam Pasal 3 UUDI, yang menyatakan bahwa suatu desain industri tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal penerimaannya, desain industri tersebut :

1) Telah dipertunjukkan dalam suatu pameran nasional ataupun internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi. Pameran yang resmi adalah pameran yang diselenggarakan oleh Pemerintah, sedangkan pameran yang diakui resmi adalah pameran yang diselenggarakan oleh masyarakat tetapi diakui / mendapat persetujuan dari pemerintah.

2) Telah digunakan di Indonesia oleh pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan pendidikan, penelitian atau pengembangan.

Tidak setiap desain industri yang baru dapat diberikan hak desain industri. Pasal 3 UUDI mengatur desain yang tidak mendapat perlindungan, yakni desain industri yang bertentangan dengan peratran perundang – undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, atau kesusilaan.

Adanya persayaratan pendaftaran desain industri merupakan kepentingan hukum pemilik hak desain industri tersebut guna memudahkan pembuktian dan perlindungannya, meskipun pada prinsipnya perlindungan tersebut akan diberikan semenjak timbulnya hak desain industri tersebut. Namu perlindungan terhadap esain indutri yang konkret yaitu apabila yang telah terdaftar pada instansi yang berwenang menguruus bidang HaKi.

Jangka waktu perlindungan desain industri di Indonesia hanya diberikan selama 5 tahun dan dapat dperpanjang satu kali untuk 5 tahun atau totalnya 10 tahun. Selama jangka waktu 10 tahun tersebut, orang dilarang membuat, memakai, mengekspor, mengimpor dan/atau mengedarkan barang yang diberi hak desain industry in yang dinamakan dengan Hak Desain Industri. Dalam Pasal 1 angka 5 UUDI dinyatakan hak desain industri adalah hak ekslusif yang diberikan Negara kepada Pendesan atas hasil kreasinya untuk selama jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut[4].

1. Pembatalan Pendaftaran Desain Industri

Pembatalan pendaftaran Desain Industri berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dapat dilakukan;

a. Atas permintaan tertulis dari pemegang Hk Desain Industri;

b. Karena putusan pngadilan yang timbul dari gugatan.

Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual menurut ketentuan Pasal 37 ayat (1) dapat membatalkan Hak Desain Industri yang telah terdaftar, karena adanya permintaan tertulis yang diajukan oleh pemegang Hak Desain Industri. Permintaan pembatalan tidak dapat dikabulkan, apabila penerima lisensi atas Hak Desain Industri yang dimintakan pembatalannya tersebut tidak memberikan persetujuan secara tertulis., dengan syarat pula lisensi tersebut telah tercatat dalam Daftar Umum Desain Industri. Ketentuan seperi itu dimaksudkan untuk melindungi kepentingan penerima lisensi yang telah membayar royalti kepada pemberi lisensi.

Pembatalan karena putusan pengadilan, artinya Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual menjalankan putusan Pengadilan Niaga setelah adanya pemeriksaan terhadap suatu gugatan untuk pembatalan. Gugatan pembatalan ini dapat diajukan ke Pengadilan Niaga oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan-alasan sebagaimana ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, yaitu bahwa Desain Industri tersebut bukanlah hal yang baru, atau Desain Industri tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, keteuntuan umum, agama, atau kesusilaan.

Semua putusan pembatalan tersebut harus diberitahukan oleh Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual secara tertulis kepada: pemegang Hak Desain Industri; penerima lisensi jika telah dilesensikan sesuai dengan catatan dalam Daftar Umum Desain Industri; pihak yang mengajukan pembatalan dengan menyebutkan bahwa Hak Desain Industri adin yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku lagi terhitung sejak tanggal keputusan pembatalan. Keputusan pembatalan tersebut dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.

Dengan adanya pembatalan pendaftaran tersebut, maka mengakibatkan menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan dengan Hak Desain Industri dan hak-hak lain yang berasal dari Desain Industri tersebut. Sesuai dengan keputusan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, maka dalam hal pendaftaran Desain Industri dibatalkan dengan berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian lisensi tersebut, tetapi si penerima lisensi tidal lagi wajib meneruskan pembayaran loyalti kepada pemegang Hak Desain Industri yang haknya dibatalkan, melainkan dialihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu lisensi yang dimilikinya kepada pemegang Hak Desain Industri yang sebenarnya berhak menurut putusan pengadilan[5].




[1] Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Bandung:PT. Alumni, 2003, hlm 425-426


[2] Muhamad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 220 – 221


[3] Op, cit


[4] Rachmadi Usman, loc, cit, hlm 428-432


[5] Muhamad Djumhana dan Djubaedillah, loc, cit, hlm. 240-241

1 komentar:

Unknown mengatakan...

bagus mas artikelnya,, cuma kritik aja,, salah itu penggunaan footnote na,, terbalik penggunanya antara op. cit dan local. cit,, :) tolong diperbaiki biar tulisannya makin ciamik,, trims.