Selasa, 30 April 2013

Kealpaan Kognitif dalam Putusan Kasasi Susno Duadji

Disadur dari Opini pakar yang berjudul Kealpaan Kognitif dalam Putusan Kasasi Susno Duadji
ditulis oleh Reza Indragiri Amriel ; Pakar Psikologi Forensik, Konsultan UNODC dan
Indonesia Legal Round Table, Penerima Asian Public Intellectual Fellowship
dimuat di KORAN SINDO, 29 April 2013


Kontroversi seputar amar putusan kasasi pada kasus Susno Duadji berpusat pada Pasal 197 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada butir k di bawah ayat tersebut, tercantum bahwa surat putusan pemidanaan memuat ”perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”.

Dilanjutkan pasal yang sama ayat 2, konsekuensi dari tidak dicantumkannya perintah tersebut adalah ”putusan batal demi hukum”. Dengan merujuk pada Pasal 197 KUHAP, publik hampir bisa dipastikan mempertanyakan integritas atau moralitas majelis hakim yang memberikan putusan kasasi atas kasus Susno. Fenomena atas amar putusan kasasi Susno sebenarnya juga membuka ruang bagi spekulasi tentang psikologi kognitif hakim.

RUU Aparatur Sipil Negara

Disadur dari Opini yang berjudul "RUU Aparatur Sipil Negara" ditulis Oleh
 Eko Prasojo ; Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi
KOMPAS, 29 April 2013


Sejak dua tahun lalu, DPR RI bersama dengan pemerintah membahas Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara. RUU tersebut merupakan inisiatif komisi II DPR yang diharapkan menjadi salah satu fondasi reformasi birokrasi, khususnya di bidang sumber daya manusia.

Sejak awal pembahasannya hingga kini, RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) menimbulkan berbagai macam pro dan kontra. Sangat dipahami karena substansinya menyangkut perubahan sistem, manajemen, dan budaya pegawai negeri sipil (PNS) yang jumlahnya saat ini 4,45 juta. Apa sebenarnya tujuan dasar RUU ASN dan bagaimana tujuan-tujuan itu akan dicapai?


Melihat Persoalan Dasar


Salah satu pengungkit terbesar dalam reformasi birokrasi adalah perubahan SDM aparatur. Hal itu memang tidak mudah karena perubahannya tidak hanya meliputi sistem, struktur, dan manajemen SDM, tetapi juga perubahan budaya, cetak pikir, dan perilaku birokrasi itu sendiri. Ada beberapa masalah dasar dalam SDM birokrasi Indonesia.

RUU PILKADA DAN PEMDA

disadur dari opini yang berjudul "RUU Pilkada dan Pemda"
ditulis Oleh: Ramlan Surbakti ; Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga
dimuat di Koran KOMPAS, 29 April 2013

DPR dan pemerintah dewasa ini tengah membahas RUU Pilkada, tetapi sama sekali tidak dikaitkan dengan efektivitas pemerintahan daerah. Kalau demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh dan/atau oleh yang mewakili rakyat, dan untuk rakyat, RUU Pilkada yang mengatur sistem pemilihan umum kepala daerah perlu didesain demi efektivitas pemerintahan daerah.


Pemerintahan daerah yang efektif ditandai sekurang-kurangnya oleh dua hal. Pertama, kebijakan publik daerah yang disepakati oleh kepala daerah dan DPRD sesuai aspirasi warga daerah.


Kesesuaian antara kebijakan publik yang ditetapkan dan aspirasi warga daerah terlihat pada dua tataran. Anggota DPRD dan pasangan calon kepala daerah terpilih dalam pemilu berarti alternatif kebijakan publik yang ditawarkan pada masa kampanye sesuai dengan aspirasi sebagian terbesar warga daerah. Pada tataran berikutnya, proses pembahasan rencana kebijakan publik itu melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat.

Catatan atas RUU KUHAP

disadur dari opini yang berjudul "Catatan atas RUU KUHAP"
ditulis oleh Nyoman Serikat Putra Jaya ; Guru Besar Hukum Pidana Undip
di muat di Koran KOMPAS, 25 April 2013


Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi hukum sedang giat membahas RUU KUHP dan RUU KUHAP. Inilah konsekuensi reformasi di bidang hukum, khususnya materi hukum.
 
RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimaksudkan untuk menggantikan KUHAP yang dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum yang mengglobal, khususnya bidang hak asasi manusia. Apalagi Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia dengan UU Nomor 5 Tahun 1998; Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan UU No 12/2005; serta Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi, 2003, dengan UU No 7/2006, yang mengharuskan penyesuaian ketentuan-ketentuan dalam KUHAP.

Sekelumit Sejarah Dua Buah Buku RKUHP

 Disadur dari Opini pakar yang berjudul Sekelumit Sejarah Dua Buah Buku RKUHP
yang ditulis oleh JE SAHETAPY yang dimuat dalam Koran Kompas tanggal 18 April 2013

Secara moral dan etika, saya merasa perlu menjelaskan mengapa Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanya terdiri atas dua buku. RKUHP terdiri dari Buku I tentang Asas-Asas Umum (Algemene Beginselen) dan Buku II tentang Kejahatan (Misdrijven).

Pada zaman Orde Baru, sayang saya lupa tanggal dan bulannya, yang pasti setelah 1978, saya diminta oleh mantan promotor saya, Prof Mr Soedarto, bertemu dengan seorang perwira tinggi—katanya dekat dengan Presiden Soeharto—untuk membicarakan RKUHP. 

Dalam tukar pikiran yang ”intens” saat itu, saya kemukakan alasan dan pertimbangan saya, dan terutama sekali dari segi kriminologi, bahwa RKUHP yang akan datang hanya terdiri atas dua buku. Sebagai contoh saya kemukakan pula KUHP Austria yang terdiri atas dua buku.
 
Konsultasi 

Prof Soedarto dengan persetujuan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada waktu itu mengutus saya ke Belanda untuk berkonsultasi dengan Prof Nico Keyzer dari Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda dan Prof Schaffmeister dari Fakultas Hukum Leiden di Belanda.
Prof Keyzer pada mulanya tidak setuju. ”Zeg Sahetapy,” kata Prof Keyzer, ”Belanda tetap memakai Buku III. Mengapa Anda mau menghapusnya?”
 
Dalam perdebatan dalam bahasa Belanda, saya tanya mengapa Code Penal dari Perancis yang terdiri atas empat buku cuma diambil alih Belanda menjadi tiga buku. Lagi pula saya tengah membaca buku Prof Schaffmeister tentang rechtsdelicten (delik hukum) dan wetsdelicten (delik undang-undang) dalam kaitan dengan Buku III WvSNed.
 
Dalam sesi bertukar pikiran singkat, tetapi mendalam ini ”disepakati” bahwa RKUHP Indonesia bisa memiliki dua buku saja. ”Disetujui” di sini jangan ditafsirkan secara politis, tetapi perdebatan secara yuridis-filosofis dan kriminologis-sosiologis.
Ketika Prof Soedarto diangkat sebagai Ketua RKUHP oleh BPHN, secara resmi ditetapkan bahwa RKUHP hanya memiliki dua buku.
 
Alas Hukum
Kini, dalam masyarakat beredar terjemahan WvS (Ned-Indie), yaitu dari Prof Moeljatno, dari Soesilo, dan dari BPHN di mana saya turut dalam proses penerjemahan. Ketiganya belum satu pun diberi alas hukum.
Adalah tidak tepat sama sekali kalau dipandang bahwa ketiga terjemahan itu sah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Ketika Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 diundangkan, ketiga terjemahan itu belum ada. Menggunakan Pasal VI sekalipun juga tidak betul. Sebab, dalam pasal tersebut ditetapkan WvS Ned Indie menjadi WVS dan disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Tidak bisa ditafsirkan secara lain. Jadi, terlepas dari kapan RKUHP akan selesai dibahas oleh DPR sekarang, meskipun sudah sangat-sangat terlambat, sudah waktunya penguasa (overheid) memilih salah satu dari tiga terjemahan itu untuk diberi alas hukum agar penerapan hukum pidana ataupun perdata (BW terjemahan Prof Soebekti) berada di rel hukum yang tepat.

RUU Pemberantasan PErusakan Hutan

disadur dari opini yang berjudul "RUU Pemberantasan Perusakan Hutan"
yang ditulis oleh: Timer Manurung ; Pendiri Yayasan Silvagama
Dimuat di Koran KOMPAS, 15 April 2013


Kembali, DPR (dan pemerintah) mengajukan draf rancangan undang-undang yang bertentangan dengan harapan dan kebutuhan publik.

Melihat judulnya, seyogianyalah RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H) mendapatkan sambutan positif mengingat buruknya pengelolaan sumber daya hutan Indonesia. Sejak tahun 1985, rata-rata Indonesia kehilangan 1,6 juta hektar hutan atau hampir seluas negara Kuwait setiap tahun.
The devil is in the details, itu juga yang terjadi dengan draf RUU berjudul bagus ini. RUU P2H mengandung kelemahan- kelemahan mendasar.
 
Latar Belakang
 
RUU P2H merupakan metamorfosis RUU Pemberantasan Illegal Logging yang diusulkan pertengahan dekade 2000-an. Frase illegal logging diperkenalkan karena ketiadaan terminologi yang tepat saat itu. Di Indonesia, frase illegal logging kerap dipakai EIA/Telapak melalui serangkaian publikasi tentang penebangan hutan Indonesia secara ilegal.

Pemberlakuan Hukum Pidana ke Dalam dan Luar Negeri

Disadur dari opini Pakar yang berjudul "Pemberlakuan Hukum Pidana ke Dalam dan Luar RI" yang ditulis oleh Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
dimuat dalam KORAN SINDO, 03 April 2013

Era globalisasi sering disebut era tanpa batas wilayah negara karena perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi yang sangat pesat dan modern.

Satu-satunya pembatas era tersebut adalah hukum nasional masing-masing negara baik dalam bentuk “hard law” maupun “soft law”. Pembatas ini sangat berarti di bidang perdagangan transnasional dan internasional. Apalagi Indonesia termasuk negara peratifikasi Perjanjian Perdagangan Bebas (GATTWTO) sehingga di dalam bidang tersebut hampir pasti sebutan “tanpa batas wilayah negara” telah menjadi kenyataan sejarah.

Di dalam bidang hukum pidana dan penegakan hukum pidana, era tanpa batas wilayah negara kurang diketahui atau dikenal masyarakat luas termasuk kebanyakan para ahli hukum. Padahal perkembangan kejahatan di masa kini telah memasuki era tersebut terutama kejahatan yang terorganisasi. ***

Dilema Penyadapan

Disadur dari Opini yang berjudul "Dilema Penyadapan" yang ditulis oleh
Heru Sutadi ; Pengamat Sosial Politik; Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute
dimuat dalam KOMPAS, 08 April 2013

Isu penyadapan menjadi salah satu klausul yang masuk dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Isu penyadapan menjadi menarik karena terkait anggapan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) akan melemahkan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kewenangan penyadapan dianggap perlu melekat pada KPK mengingat manfaatnya dalam membongkar kasus-kasus korupsi di negeri ini.

Aturan penyadapan berelasi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 31 Ayat 4 dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang berisi ”tata cara penyadapan yang diatur oleh pemerintah”. MK mengabulkan permohonan Wahyu Wagiman yang meminta pasal ini dihapus menanggapi rencana pembuatan RPP Penyadapan.

Penyelundupan Norma Hukum

Disadur dari tulisan pakar yang berjudul "Penyelundupan Norma Hukum" yang ditulis oleh:
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas  dimuat di KOMPAS, 01 April 2013

Jamak dipahami, dalam setiap agenda pembaruan aturan hukum (legal reform) tujuan utamanya adalah untuk menghadirkan norma baru guna menjawab kebutuhan hukum masyarakat. Jika pembaruan itu berada di ranah penegakan hukum, norma-norma baru diharapkan mampu menjawab kebutuhan penegakan hukum. Bahkan, jika perlu, norma baru hadir jauh lebih progresif dibandingkan dengan pengaturan yang pernah ada.
Namun, sejumlah bentangan empiris membuktikan, keinginan ideal hampir selalu berbenturan dengan logika lain yang tidak menghendaki adanya perubahan, yaitu mereka yang merasa nyaman berada dalam status quo. Dengan logika kontraproduktif, upaya menghadirkan norma baru—terutama yang jauh lebih progresif—merupakan ancaman nyata yang harus dicegah dengan berbagai cara.
 
Karena perbedaan cara pandang itu, langkah menghadirkan norma baru yang progresif acapkali berubah menjadi pertarungan panjang nan melelahkan. Bahkan, tak jarang, proses demikian menemui jalan buntu. Andai bisa dituntaskan, pendukung status quo terlebih dulu telah menyusupkan atau menyelundupkan norma yang dengan mudah akan melumpuhkan norma-norma progresif yang dihasilkan.