Sabtu, 30 Maret 2013

Kunci Hidup Bahagia

Pada catatan kali ini, saya akan sedikit berbagi mengenai kunci kunci hidup bahagia dari beberapa ayat Al Qur'an dan Hadist. Tulisan yang saya share ini adalah yang benar benar telah saya nikmati dan terbukti "berkhasiat" dalam kehidupan saya saat ini ketika dirundung masalah atau cobaan. Kunci Kunci kebahagiaan itu adalah
  • Istighfar
Mengapa Istighfar?  Karena Nabi Muhammad S.A.W pernah bersabda dalam hadistnya "barangsiapa memperbanyak istighfar maka Allah akan membebaskannya dari kedukaan, dan memberinya jalan keluar bagi kesempitan, serta memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka sangka. ( Hr. Abu DAud) 
  •  Shalat
Shalat merupakan cermin kebahagiaan seseorang. Hal ini dikarenakan Allah sendiri memerintah manusia untuk menjadikan Sholat dan Sabar sebagai penolong. seperti terjemahan Al Qur'an berikut ini " Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang orang yang khusyu'. Qs. Al Baqarah:45
  • Percaya Takdir
Iman kepada Takdir merupakan salah satu rukun iman,. namun kebanyakan dari manusia kurang menerapkannya dalam berkehidupan sehari hari, sehingga ia mengeluh, patah arang, dan tidak bersemangat dalam kehidupan hanya karena kegagalan kegagalan kecil. Allah sendiri telah menuliskan sikap buruk manusia ini dalam Al Qur'an yang berbunyi sebagai berikut:
" Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan dia berputus asa" Qs. Al Israa': 83

Selasa, 19 Maret 2013

Hikmah Taubat dan Istighfar

Oleh: Libeta Bintoro Ranggi Wirasakti
 Surakarta. 19 Maret 2013 dalam Dhuha yang Mendung

Hadist Hadist Rasulullah S.A.W tentang tobat dan Istighfar antara lain:
  1. Penyesalah adalah suatu taubat (Hr. Abu Daud dan Al Hakim)
  2. Iblis berkata kepada Rabbnya, "Dengan keagungan dan kebesaranMu, aku tidak akan berhenti menyesatkan bani Adam selama mereka masih bernyawa, Lalu Allah berfirman "Dengan keagungan dan kebesaranKu, aku tidak akan berhenti mengampuni mereka selama mereka beristighfar" (Hr. Ahmad)
  3. Semua anak Adam membuat kesalahan, dan sebaik baik pembuat kesalahan ialah mereka yang bertaubat. (Hr. Ad darami)
  4. Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selama nyawa belum sampai ke tenggorokan (Hr. Ahmad)
  5. Sesungguhnya Allah merentangkan tangan-Nya pada malam hari memberi kesempatan taubat bagi pelaku kesalahan pada siang hari dan merentangkan tangan-Nya pada siang hari memberi kesempatan taubat bagi pelaku kesalahan pada malam hari, sampai kelak matahari terbit dari Barat. (Hr. Muslim)
  6. Sesungguhnya Allah menyukai hamba mukmin yang terjerumus dosa tapi bertaubat. (Hr. Ahmad)
  7. Barangsiapa memperbanyak istighfar maka Allah akan membebaskannya dari kedukaan dan memberinya jalan ke luar bagi kesempitan dan memberinya rezeki dari arah yang tidak diduga duganya (Hr. Abu Daut)
  8. Apabila kamu tidak pernah berbuat dosa maka Allah Tabaroka Wata'ala akan menciptakan mahluk lain yang berbuat dosa kemudian Allah mengampuni mereka (Hr. Muslim)
Dari Hadist  hadist di atas merupakan suatu pembenaran  dari Nama indah atau Asmaul Husna Allah yaitu Al Ghofar dan Al Ghofur serta At Tawwab.

"..Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf Lagi Maha Pengampun" Qs. 4:43, 99, 149. Qs. 22:60, Qs. 58:2

Allah memiliki sifat Pemaaf dan Pengampun merupakan sebagai rahmat bagi manusia seluruhnya, dan agar manusia tidak putus asa dengan rahmat-Nya kala melakukan suatu dosa atau kesalahan.
Bukankah Allah berfirman:
"...Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir" Qs. 12:87

Hikmah Bertindak Lurus dan Menjaga Etika serta Integritas

Oleh Liberta Bintoro Ranggi Wirasakti

Surat Pembuka Al Qur'an yaitu Al Fatihah meneguhkan satu permintaan yang Allah camkan kepada manusia agar manusia selalu ucapkan sebagai permohonan kepada-Nya. Itu tak lain adalah "Tunjukilah Kami Jalan yang Lurus" Qs. 1:6

Allah juga berfirman dalam surat Al An'am ayat 153 yang mengajak agar manusia mengikuti jalan-Nya
"..adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan jalan yang lain, karena jalan jalan itu mencerai beraikan kamu dari Jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Qs. 6:153)

APA URGENSI BERBUAT LURUS, MENJAGA INTEGRITAS DAN SIKAP?

 Hal itu dapat kita rasakan indah dan faidahnya dalam surat Fushshilat ayat 30-32 yang berbunyi:
"Sesungguhnya orang orang yang mengatakan bahwa Allah adalah TUhan kita semua, kemudian mereka itu bertindak lurus, maka malaikat malaikat akan turun kepada mereka -dan berkata: "Jangan engkau semua takut dan jangan pula berduka cita dan terimalah berita gembira memperoleh surga yang telah dijanjikan kepadamu semua. "Kami menjadi pelindungmu semua dalam kehidupan dunia dan pada hari kemudian. Di situ engkau memperoleh apa apa yang menjadi keinginan hatimu dan di situ pula engkau semua mendapatkan apa saja yang engkau semua minta. Hidangan dari Tuhan yang Maha Pengampun dan Penyayang (QS. Fushshilat:30-32)


Analisis Aksi Korporasi dan Aliran Dana Century

Disadur dari Opini pakar yang berjudul "Aksi Korporasi Ancora dan Aliran Dana Century"
Oleh: Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada
KORAN SINDO, 18 Maret 2013


Bailout Bank Century adalah salah satu isu besar yang menjadi perhatian publik belakangan ini. Besarnya skala bailout Bank Century dan dugaan tindakan pidana dalam pelaksanaannya menyerap perhatian publik pada kasus ini.

Alhasil, wajar jika hal apa pun yang diduga memiliki keterkaitan dengan masalah ini akan mendapatkan sorotan utama. Belakangan ini beberapa pihak akhirnya ikut terseret ke dalam pusaran masalah dalam konteks pengembangan kasus aliran dana Bank Century tersebut. Salah satunya yang menarik perhatian publik adalah proses akuisisi terhadap PT Graha Nusa Utama (GNU) yang disebut- sebut menerima aliran dana Bank Century.

Tak ayal tudingan aksi pencucian uang dialamatkan pada perusahaan yang melakukan aksi akuisisi tersebut yaitu PT Ancora Land bersama-sama dengan PT Uni Menara Komunikasi. Jika dirunut, aksi bisnis ini bermula dari PT Ancora Land yang bersama-sama dengan PT Uni Menara Komunikasi memulai proses akuisisi 51% saham PT Graha Nusa Utama (GNU) dan PT Nusa Utama Sentosa (NUS) pada 2008. Tujuan utama akuisisi tersebut adalah mendapatkan sebidang tanah di bilangan Fatmawati yang dimiliki GNU-NUS.

Tanah itu dibeli GNU dari Yayasan Fatmawati pada 2003 dengan harga Rp65 miliar, di mana dalam periode 2003-2005, PT GNU telah melakukan pembayaran total sebesar Rp25 miliar. Sedangkan pembayaran sebesar Rp40 miliar berasal dari dana internal PT Ancora Land pada 2010-2011.

Upaya Meningkatkan Supremasi Hukum

Disadur dari Tulisan Pakar dan Ahli Hukum yang berjudul 
"UPAYA MENINGKATKAN SUPREMASI HUKUM"
Oleh
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.
 
 
 Akhir-akhir ini banyak dibicarakan tentang supremasi hukum, setelah gerakan reformasi ini berjalan kurang lebih setahun lamanya. Didalam demo-demo atau didalam surat kabar banyak dilontarkan tuntutan tentang tidak adanya penegakan hukum, bahwa hukum kita terpuruk, oleh karena itu hukum harus ditegakan dan supremasi hukum harus dijalankan. Makin merajalelanya korupsi, banyaknya pelanggaran-pelanggaran hukum yang tidak ditindaklanjuti, makin banyaknya perkara yang tidak serius penanganannya atau tidak tuntas penyelesaiannya, banyaknya kerusuhan-kerusuhan yang menimbulkan keresahan menyebabkan orang mulai mempertanyakan tentang penegakan hukum atau supremasi hukum.

Pada awal gerakan reformasi yang lebih diutamakan atau diperjuangkan adalah reformasi politik dan reformasi ekonomi. Reformasi politik dan reformasi ekonomi lebih diutamakan, karena keadaan politik dan ekonomi di negara kita memang sudah sangat memprihatinkan, sedangkan tentang reformasi hukum, kalau tidak boleh dikatakan sama sekali tidak tersentuh, maka nyaris tidak terdengar (jangankan tentang supremasi hukum), walaupun pada waktu itu telah banyak terjadi pembunuhan, perkosaan, penculikan, dan pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya. Tidak berarti bahwa reformasi politik dan ekonomi tidak penting, akan tetapi reformasi hukum tidak kurang pentingnya, sehingga seharusnya diperjuangkan bersama sejak awal gerakan reformasi.

Sungguh merupakan suatu ironi, diwaktu rakyat membutuhkan ketenangan, ketenteraman dan ketertiban di dalam masyarakat, penegakan hukum dan supremasi hukum tidak atau belum masuk dalam “program” awal gerakan reformasi. Hukum dan ahli hukumnya pada umumnya dianarkikan, karena hukum “hanyalah” dikenal atau dianggap sebagai sarana belaka. Sudah sejak Presiden Sukarno, dengan ungkapannya yang terkenal bahwa “met juristen kun je geen revolusi maken”, maka para ahli hukum dianggap tidak dapat diajak kerja sama. Sekalipun hukum itu “hanya” sarana, namun merupakan sarana untuk mengatur atau menciptakan ketertiban tatanan dalam masyarakat.

Penemuan Hukum dan Etika Profesi

Disadur dari Tulisan Pakar dan Begawan Hukum yang berjudul 
"PENEMUAN HUKUM DAN ETIKA PROFESI"
 oleh Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.


Apakah yang diharapkan dari Sarjana Hukum dengan pengetahuannya yang diperolehnya dari Fakultas Hukum dan bekerja dalam profesi hukum? Setelah menguasai pengetahuan itu apa yang dituntut dari seorang Sarjana Hukum? Hafal semua peraturan dan teori-teori yang telah diajarkan di Fakultas? Kalau sudah hafal lalu mau diapakan? Bagaimanakah mengoperasionalkan pengetahuan yang diperolehnya itu? Itulah beberapa pertanyaan yang jarang terpikirkan.

Di Fakultas Hukum diajarkan bidang-bidang hukum, seperti hukum tata negara, hukum pidana, hukum perdata dan masih banyak bidang-bidang hukum lainnya. Dari sekian banyak mata kuliah dapatlah dikatakan bahwa pada hakekatnya apa yang diberikan di Fakultas Hukum atau apa sasaran studi hukum dan yang harus dikuasai oleh Sarjana Hukum adalah pengetahuan tentang kaedah hukum, sistem hukum dan penemuan hukum.

Kalau sudah menguasai segala pengetahuan yang diberikan di Fakultas Hukum apa yang kemudian harus dilakukan oleh Sarjana Hukum dengan pengetahuan yang telah diperolehnya itu? Bagaimanakah seorang Sarjana Hukum mengoperasionalkan atau mempraktekkan pengetahuan yang telah diperolehnya itu?

Senin, 18 Maret 2013

NARKOBA DI RUMAH TAHANAN

Disadur dari Opini Pakar yang berjudul Narkoba di Rumah Tahanan
Adrianus Meliala, Kriminolog FISIP UI;
Mantan Ketua Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Kemenkumham
SUMBER : KOMPAS, 11 April 2012


Terkait heboh keberadaan narkoba di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan, sebenarnya banyak dari kita yang lupa dengan esensi mendasar dari masalah ini.
Esensi dasarnya adalah bahwa rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas) adalah institusi total yang memiliki sistem dan pola kehidupan sendiri yang amat khas. Demikian pula pihak-pihak yang menjadi pelakunya.


Sebagai sebuah institusi total, rutan dan lapas pada dasarnya tidak bisa dibandingkan dengan apa pun, bahkan juga dengan rumah detensi imigrasi (rudenim) yang cukup mirip. Walaupun memiliki aturan yang ketat bagi penghuni, yang kebanyakan adalah migran ilegal, rudenim secara filosofis tidak melakukan penyekapan sehingga penghuninya hilang sebagian kemampuannya selaku individu (inkapasitasi).


Sebaliknya, pada rutan/lapas, inkapasitasi dilakukan melalui penyekapan. Ini agak berbeda dengan masa dahulu di mana inkapasitasi dilakukan melalui penciptaan derita. Dewasa ini dan masa depan memang hanya inkapasitasi fisik yang menjadi modalitas rutan/lapas. Ini sesuai standar minimum perlakuan narapidana yang berlaku di dunia, juga di Indonesia. Sesuai standar itu, seorang tahanan dan narapidana tidak hilang sama sekali aksesnya dengan banyak hal, termasuk hubungan heteroseksual sekalipun.

Kriminalisasi

Disadur dari Opini Pakar yang berjudul "Kriminalisasi"
 Adrianus Meliala ; Kriminolog FISIP UI;
Komisioner pada Komisi Kepolisian Nasional
KOMPAS, 24 Oktober 2012


Istilah ”kriminalisasi” akhir-akhir ini begitu populer terkait dengan upaya Polri menangkap penyidik Polri yang bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi.

KPK, yang diwakili pernyataan komisioner Bambang Widjojanto, berpendapat bahwa urusan hukum yang bersangkutan sudah selesai. Karena itu, melihat langkah Polri terhadap Komisaris Novel Baswedan adalah kriminalisasi bagi KPK. Perlu segera dibahas apakah ”kriminalisasi” sekadar istilah atau sebenarnya suatu terminologi akademik dengan pengertian ketat.

Pada dasarnya ”kriminalisasi” adalah terminologi akademik tentang upaya negara memperla- kukan suatu perilaku, yang pada awalnya adalah perilaku bebas, menjadi perilaku yang dianggap jahat serta menyimpang dan dilanjutkan dengan pengenaan pidana atasnya.

Alhasil, seseorang yang tadinya bebas-bebas saja melakukan suatu perbuatan, maka setelah perbuatan itu dijadikan perbuatan pidana, ia akan memperoleh sanksi pidana jika melakukannya.

Generasi Lupa Sejarah

Disadur dari Opini Tokoh yang berjudul "Generasi Lupa Sejarah"
 Sarlito Wirawan Sarwono, PSIKOLOG SOSIAL, UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 29 Oktober 2011


Dalam siaran dari salah satu stasiun televisi, John Pantau pernah mewawancarai beberapa anggota DPR di Senayan. John Pantau adalah tokoh jahil yang sudah mengajukan berbagai pertanyaan ke beragam anggota masyarakat.


Pertanyaannya gampang sekali buat anak SD, tetapi tidak terjawab oleh anggota-anggota DPR yang terhormat itu. Lupa, barangkali. Terus dilanjutkan menyanyi ”Indonesia Raya”. Mula-mula semangat, tetapi di tengah-tengah mereka lupa lagi.


Saya menonton adegan itu sudah agak lama, tetapi teringat kembali menjelang Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2011 ini. Saya jadi teringat juga pada pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1966 yang berjudul Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah).


Ketika itu hampir setahun pasca-peristiwa G30S. Kondisi perekonomian dan politik Indonesia morat-marit. Kata anak sekarang: ”Galau!”

10 Cara Memahami Kejahatan

Disadur dari Opini pakar yang berjudul 10 Cara Memahami Kejahatan
Adrianus Meliala, KRIMINOLOG, FISIP, UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 31 Oktober 2011


Belum selesai dengan masalah tawuran antarkampung dan antarsekolah, Jakarta dihebohkan kasus pemerkosaan di angkutan kota. Belum lagi hal itu pupus dari ingatan, berbagai kasus pembunuhan pun terjadi di Jakarta.


Sementara itu, kejahatan kekerasan dalam bentuk yang lebih kurang ekstrem, mulai dari sekadar perkelahian hingga penganiayaan, terus saja terjadi.


Tulisan ini secara ringkas memperlihatkan 10 cara memahami dan menganalisis meningkatnya kejahatan kekerasan, khususnya yang terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta.


Pertama, berbeda dengan kecenderungan media massa, kita perlu mempergunakan satuan waktu yang lebih luas dari sekadar situasi satu-dua hari saja. Satuan waktu itu, misalnya, setahun atau sebulan. Maka akan terlihat profil yang lebih utuh. Kemungkinan ini akan membenarkan teori bahwa kejahatan kekerasan di mana- mana sebenarnya memiliki sifat ajek (tak gampang cepat naik atau cepat turun).


Cara kedua dengan menyimak statistik kejahatan atau statistik kriminal. Memang, statistik kriminal di Indonesia, yang dikeluarkan kepolisian, umumnya memuat data bervaliditas rendah. Deviasinya besar. Maklum, penyusunannya hingga menghasilkan berbagai profil kejahatan dilakukan secara tidak serius. Namun, melalui statistik itu minimal bisa dilihat wajah kejahatan kekerasan di suatu wilayah. Bisa dijamin, sekali lagi, angka-angka yang memperlihatkan lonjakan (baik naik ataupun turun) tidak akan ditemui.

DS dan Trio Eksekutor Proyek

Disadur dari opini pakar yang berjudul "DS dan Trio Eksekutor Proyek"
 Effnu Subiyanto ; Pendiri Forkep (Forum Pengamat Kebijakan Publik),
Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair
JAWA POS, 18 Maret 2013


PENYIDIKAN kasus korupsi simulator SIM dan skandal Irjen Djoko Susilo (DS) kini semakin diintensifkan. Harta Djoko yang tidak bergerak dan kini sudah disita KPK sekitar 35 item dengan nilai puluhan miliar rupiah. Harta Djoko benar-benar sangat fantastis untuk ukuran gaji jenderal polisi, yang berdasar PP 17/2012 (amandemen ke-8 atas PP 29/2001) tentang gaji polisi, bergaji pokok Rp 4,7 juta per bulan itu.

Kuat dugaan bahwa Djoko tidak akan mampu bermain sendiri. Ternyata benar bahwa pengusutan skandal simulator SIM itu mengalir ke mana-mana. Komjen Nanan Soekarna harus datang ke KPK (6/3) sebagai saksi untuk menjelaskan posisinya ketika itu sebagai Irwasum. Institusi pengawasan polisi ini diduga menerima saweran uang panas simulator SIM Rp 1,7 miliar yang dibuktikan dengan slip setoran bank dari Sukotjo Bambang.

Bocornya Draf Sprindik KPK; Antara Etis dan Pidana

disadur dari opini pakar yang berjudul "Bocornya Draf Sprindik KPK : Antara Etis dan Pidana"
 Harry Bawono ; Peneliti Pusat Kajian & Pengembangan Sistem Kearsipan
DETIKNEWS, 15 Maret 2013


Draf Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) KPK kepada Anas Urbaningrum bocor ke publik. Permasalahan yang kemudian diangkat adalah bocornya draf sprindik hanya merupakan perkara etis.

Padahal jika ditelisik dari kacamata kearsipan, bocornya draf sprindik bisa diajukan sebagai masalah pidana.

Arsip Negara Dalam Bahasa Hukum

Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan (selanjutnya disebut undang-undang kearsipan), arsip didefinisikan sebagai rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Jebakan Kuota Impor

Disadur dari Opini pakar yang berjudul "Jebakan Kuota Impor"
 Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina


SINDO, 06 Februari 2013


Perhatian kita sedang tersita pada temuan KPK akan indikasi suap terhadap Luthfi Hasan Ishaaq yang waktu itu menjabat sebagai presiden Partai Keadilan Sejahtera serta kemungkinan keterlibatan Menteri Pertanian Suswono yang kebetulan berasal dari partai politik yang sama. Luthfi dan Suswono diindikasikan terlibat dalam pusaran impor daging sapi yang sarat kongkalikong. Dugaan modusnya adalah perusahaan yang ingin mendapatkan izin impor sengaja mendekat pada oknum ini agar diberikan jatah kuota impor sekian ton. Sebagai imbalan disediakanlah komisi.

Jika berbagai pihak menyoroti aspek kriminalitas dan penyalahgunaan wewenang dari kasus itu, saya mengajak pembaca untuk melihat aspek pasar perdagangan liberal dari hal itu. Kuota impor sesungguhnya termasuk praktik yang diharamkan oleh organisasi pengatur perdagangan dunia World Trade Organization (WTO). Dalam beragam kerja sama perdagangan internasional, apalagi yang bertajuk “perdagangan bebas” (free trade) mekanisme penerapan kuota impor termasuk yang dihindari. Di antara negara-negara ASEAN pun praktik penetapan kuota impor ini dilarang. Kuota impor adalah mekanisme pembatasan kuantitas barang dari luar negeri yang akan dijual di dalam negeri. Dalam teori mekanisme ini melindungi produsen produk tersebut (misalnya petani atau peternak) di dalam negeri. Dengan membatasi jumlah produk impor yang beredar di dalam negeri, harga beli dari produsen lokal diharapkan bisa dijaga karena jumlah suplai barang tidak mengganggu keseimbangan harga.

Indonesia, WEF, dan WTO

Disadur dari opini pakar yang berjudul "Indonesia, WEF, dan WTO" 
 Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
SINDO, 30 Januari 2013


The Jakarta Post (28/1) memberitakan bahwa sejumlah negara mendukung agenda yang diusulkan Indonesia dalam pertemuan tingkat tinggi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) di Bali pada bulan Oktober 2013 mendatang.

Ini menurut Menteri Perdagangan Gita Wirjawan yang menceritakan hasil dari pertemuan informal atas inisiatif Indonesia di sela-sela pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos. Dalam berita itu dikabarkan juga mantan Menteri Perdagangan yang sekarang menjabat sebagai menteri pariwisata dan ekonomi kreatif, Mari Elka Pangestu, sedang diusung sebagai calon pimpinan World Trade Organization (WTO).

Minggu, 17 Maret 2013

Hikmah Tolong Menolong

Banyak sekali, perintah Allah dalam Al Qur'an yang memerintah manusia untuk berbuat baik dan tolong menolong kepada sesama seperti dalam surat Al Maidah ayat 2. Allah berfirman "....Tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."

Sungguh indah perintah Allah tersebut. Namun kadang kita masih berpikir apa faedah dan apa yang akan kita dapat jika kita memberi pertolongan kepada orang lain. Berikut adalah hikmah dari tolong menolong yang ada dalam beberapa hadist Rasulullah Muhammad S.A.W

"Siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya (Sahih al jami)

"Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya selalu menolong saudara-Nya ( Hadist Riwayat Muslim)

"Sebaik baik amalan adalah mendatangkan kesenangan terhadap saudaramu yang beriman, melunaskan hutangnya dan memberinya makan dengan sepotong roti (Shahih Al Jami)

"Siapa yang memberikan kemudahan bagi orang yang kesulitan, niscaya Allah akan berikan kemudahan baginya di dunia dan akhirat. (Sahih al Jami)

Betapa indah petuah nabi di atas, semoga dapat memotivasi kita untuk selalu berbuat baik dan menolong sesama :)
Karena Allah pun menjanjikan kepada orang orang baik dalam surat Al Ankabuut ayat 7 misalnya
"Dan orang orang yang beriman dan beramal saleh, benar benar akan kami hapuskan dari mereka dosa dosa mereka dan benar benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (Qs. 29 ayat 7)

Surakarta, Malam Senin penuh Tugas. 2013

Belajar Kelautan dari China

Disadur dari opini yang berjudul "Belajar Kelautan dari China"
 Rokhmin Dahuri ; Ketua DPP PDIP Bidang Maritim dan
Perikanan Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia
SINDO, 15 Januari 2013

Awal Juni 2005, penulis diundang memberikan kuliah umum di Shanghai Maritime University dan Shanghai Fisheries University. Kemudian 28 September 2012 tahun lalu, kembali diundang memaparkan strategi kerja sama bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kelautan antara Indonesia dan China di Guangdong Ocean University.

Awal Juni 2005, penulis diundang memberikan kuliah umum di Shanghai Maritime University dan Shanghai Fisheries University. Kemudian 28 September 2012 tahun lalu, kembali diundang memaparkan strategi kerja sama bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kelautan antara Indonesia dan China di Guangdong Ocean University.

Ada tiga hal sangat penting yang bisa menjadi pelajaran bagi kita bangsa Indonesia. Pertama, sejak dua dekade terakhir di setiap provinsi yang memiliki wilayah laut, dibangun sedikitnya satu universitas kelautan, universitas maritim, atau universitas perikanan. Kedua, fakultas pertanian justru berada di bawah naungan universitas kelautan atau universitas perikanan.Ketiga, bahwa sejak awal diberlakukannya sistem ekonomi pasar dan modernisasi China oleh Presiden Deng Xiaoping pada 1979, orientasi pembangunan kelautan menjadi platform pembangunan Negeri Tirai Bambu tersebut.

Pembangunan infrastruktur, industrialisasi, dan kawasan ekonomi khusus secara masif dan kolosal diawali dari wilayah pesisir, mulai pantai selatan seperti Kota Shenzhen dan Guangzhou hingga pantai utara seperti Shanghai dan Dalian. Pelabuhan laut kelas dunia, industri galangan kapal, elektronik, automotif, IT, perikanan tangkap, budi daya laut, bioteknologi kelautan, dan beragam industri lainnya dibangun di sepanjang wilayah pesisir.

Valse Oorzaak dalam Penegakan Hukum

Disadur dari opini yang berjudul "Valse Oorzaak dalam Penegakan Hukum"
 Dian Puji N Simatupang ; Dosen Hukum Anggaran Negara
dan Keuangan Publik FHUI
SINDO, 08 Februari 2013


Dalam penegakan hukum dikenal asas ejus nulla culpa est cui parere necesse sit, yang artinya “tidak ada kesalahan yang melibatkan orang yang taat pada peraturan secara mutlak”.

Asas tersebut diberlakukan untuk mewujudkan kepastian hukum bagi subjek hukum mana pun,baik pribadi hukum maupun badan hukum. Dalam praktiknya, penerapan asas tersebut sangat bergantung pada perilaku aparatur hukum dan pemahamannya yang mendalam mengenai teori dan asas hukum. Dengan demikian, aparatur hukum tidak meninggalkan prinsip-prinsip hukum yang harus dihormati dan terjebak pada alasan yang salah (valse oorzaak) dalam penegakan hukum di Indonesia.

Pelampauan Wewenang

Di Indonesia penerapan asas ejus nulla culpa est cui parere necesse sit menjadi tidak mudah diterapkan karena ketidakpastian hukum yang diciptakan aparatur hukum dalam memahami suatu ketentuan sehingga cenderung menghasilkan alasan yang salah (valse oorzaak). Misalnya, ketentuan yang jelas dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan mala-administrasi menjadi alasan yang salah (valse oorzaak) untuk menetapkannya sebagai pelanggaran pidana.

Suatu perbuatan yang jelas diatur dan dikenakan sanksi administratif bahkan bergeser tanpa logika dan teori hukum menjadi dikenakan sanksi pidana secara mutlak akibat alasan yang salah (valse oorzaak) pada pemahaman aparatur hukum. Dalam asas hukum, pergeseran penyelesaian hukum administrasi negara menjadi hukum pidana hanya dapat terjadi ketika alat negara melalui kewenangan administrasinya tidak dapat bekerja atau tidak mampu mencapai tujuan akhir dari pelaksanaan wewenangnya untuk membatasi dan menegakkan suatu ketentuan.

Sengketa Laut China Selatan

Disadur dari artikel tokoh yang berjudul "Sengketa Laut China Selatan"
 Dion Maulana Prasetya ; Peneliti Center for East Asia Studies
(CEAS) Universitas Muhammadiyah Malang
SUARA KARYA, 21 Februari 2013




Isu sengketa perairan Laut China Selatan menjadi strategis dalam perkembangan Asia Timur. Bahkan, dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN (KTT ASEAN) ke-21 di Phnom Penh, Kamboja beberapa waktu lalu isu itu memanaskan siatusi. Dua negara anggota ASEAN, yakni Filipina dan Vietnam yang bersengketa langsung dengan China, mendesak agar permasalahan tersebut dibahas di dalam forum internasional. Dilaih pihak, China mengingingkan permasalahan ini diselesaikan secara bilateral guna menghindari intervensi negara lain.


China kerap dituduh bersikap arogan dalam kasus Laut China Selatan. Klaimnya yang berbentuk "U" (U-shaped) atas Laut China Selatan dianggap bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Pemaparan ini dalam perspektif berbeda dari pemikir mainstream, yang masih terkungkung oleh paradigma realis dan Amerika Centris. Paradigma ini selalu berhasil menciptakan persepsi ancaman yang ditujukan kepada rising power (biasanya berperan sebagai penantang status quo) dan kemudian memberikan label agresif kepadanya.


Dalam forum ASEAN tersebut Jiang mengungkapkan, China ingin menjadi tetangga, partner dan teman yang baik dari negara-negara anggota ASEAN. Kebijakan "tetangga yang baik" (good neighbor policy) ini pertama kali diutarakan di forum multilateral KTT ASEAN Plus Three 1997 oleh presiden China saat itu, Jiang Zemin.


Langkah China merubah kebijakannya itu bukanlah pemanis bibir belaka, tetapi mengambil langkah-langkah kongkret untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Pada 4 November 2002, China menandatangai Declaration on The Conduct of Parties in The South China Sea, di Phnom Penh, Kamboja. Dengan demikian, para pihak yang bersengketa sepakat untuk menahan diri, menyelesaikan sengketa teritorial secara damai, mengembangkan rasa saling percaya, dan menjalin kerjasama dalam berbagai bidang di Laut China Selatan tanpa mengurangi klaim masing-masing pihak terhadap wilayah yang dipersengketakan.

Memantapkan Ekonomi Konstitusi

Disadur dari opini pakar yang berjudul "Memantapkan Ekonomi Konstitusi"
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef
SINDO, 28 Februari 2013


Pada saat Indonesia memiliki pemimpin baru (presiden) pada 2014 nanti, rasanya itulah momentum yang paling tepat untuk merombak tatanan ekonomi nasional.

Tatanan tersebut bisa berjalan apabila terdapat sistem, kebijakan, dan kelembagaan yang terpadu sehingga koherensi menuju cita-cita konstitusi dapat terwujud. Saat ini memang mendesak bagi DPR dan pemerintah untuk segera mendesain Undang- Undang Sistem Ekonomi Nasional (UU SEN) sebagai payung dari seluruh kegiatan ekonomi seperti UU penanaman modal, pertambangan, koperasi, lembaga keuangan, industri, perdagangan.

Memang konstitusi telah memberi rumusan umum tentang prinsip ekonomi tersebut, tetapi akibat terlalu umum, sebagian prinsip itu harus dijabarkan dalam bentuk UU yang lebih operasional. Ketiadaan UU SEN tersebut menyebabkan banyak sekali UU terkait bidang ekonomi yang dianggap melanggar konstitusi dan sebagian pasal-pasalnya telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

State Never Sleeps dan Birokrat Kita

Disadur dari Opini pakar yang berjudul “State Never Sleeps” dan Birokrat Kita
Supono Soegirman ; Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara,
Penulis dua buku tentang Intelijen
JAWA POS, 31 Desember 2012 

PADA 26 Desember 2012 berlangsung sidang kabinet yang membahas implementasi APBN 2012. Kemudian sidang pleno kabinet 27 Desember mendengarkan paparan serta rekomendasi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan evaluasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Presiden SBY di antaranya menekankan perlunya memahami filosofi bernegara bahwastate never sleeps atau negara tak perah tidur.

Penegasan Presiden SBY kepada para menterinya selama ini sering dikritisi para pengamat sebagai sekadar upaya pencitraan. Sebab, negara sering dianggap absen ketika diperlukan masyarakat. Karena itu, layak ditunggu apakah statement Presiden SBY kali ini juga akan memunculkan penilaian sebagai sekadar upaya pencitraan atau akan segera ditindaklanjuti oleh jajaran kementerian dan badan-badan pemerintah. 

Persoalannya, pada masa libur panjang sebagian besar aparat birokrasi memanfaatkan cuti. Akibatnya, setiap tahun roda pemerintahan mulai menggeliat lamban baru pada akhir Januari dan menggelinding pelan mulai Februari. Dampaknya, serapan dana APBN tersendat dan menumpuk pada Oktober dan November. Cuti panjang pada musim libur tidak salah karena merupakan hak. Ia juga bukan penyebab tunggal tersendatnya kinerja birokrasi. Banyak andil faktor lain, terpisah maupun akumulatif atas situasi yang tidak kondusif.

Hukum Belum Jadi Panglima

Disadur dari Opini pakar yang berjudul "Hukum Belum Jadi Panglim"
Muladi, MANTAN MENTERI KEHAKIMAN
Sumber : SINDO, 19 Desember 2011




Penegakan hukum di Tanah Air tak terelakan masih dikategorikan compangcamping. Hukum yang semestinya menjadi panglima terkalahkan berbagai kepentingan seperti politik dan akumulasi kapital individu penegak hukum.

Yang terjadi sekarang sistem hukum tidak berjalan baik dan sangat lemah. Kunci penegakan hukum, yakni perangkat perundangan dan penegak hukum,gampang bisa disalahgunakan.Kondisi ini semakin parah lantaran degradasi budaya hukum di tataran elite eksekutif, yudikatif, dan legislatif justru berjalan masif.

Lemahnya penegakan hukum di Indonesia,selain dilihat dari ketidakjelasan penyelesaian kasus-kasus besar,juga bisa dilihat dari survei yang dilakukan sejumlah lembaga hukum. Survei Bribe Payer Index (BPI) 2011 yang dilakukan terhadap 28 negara misalnya menempatkan Indonesia menduduki negara keempat terkorup. Survei BPI dilakukan secara kumulatif berperan signifikan terhadap perekonomian dunia,dengan total rasio foreign direct investment(FDI) dan ekspor global sebesar 78%.

Transparansi Internasional (TI) dalam rilis corruption perception index (CPI) yang diluncurkan baru-baru ini menunjukkan skor Indonesia naik 0,2 poin menjadi 3.0. Namun,kenaikan ini dianggap tidak berarti karena faktanya negeri ini masih berkutat di jajaran bawah negara paling koruptor, di posisi ke-100.

Kriteria yang menunjukkan indikasi perubahan persepsi korupsi antara 2010 dan 2011 adalah perubahan skor minimal 0,3 didukung dengan perubahan yang konsisten dari minimal setengah dari sumber data penyusun indeks. Mantan Menteri Kehakiman Muladi menyebutkan, pertimbangan politis menjadi faktor utama penegak hukum,khususnya kepolisian dan kejaksaan, hingga gamang dalam melaksanakan tugasnya secara maksimal.

Sumber daya manusia yang masih bermental korup menjadikan integritas penegakan hukum di Tanah Air semakin anjlok. Selain itu, sistem perundangan juga masih perlu diperbaiki. Misalnya aturan yang menyebutkan bahwa pemeriksaan kepala daerah mesti atas izin presiden harus diubah. Hal itulah yang menghambat pengungkapan kasus korupsi.“Pada intinya, perundang-undangan kita ketinggalan zaman.UU kita warisan kolonial. Padahal banyak negara sudah mengubah aturan dalam penegakan hukumnya, ”lanjut dia.

Takluknya Hukum di Tangan Bandar

Disadur dari Opini pakar yang berjudul "Takluknya Hukum di Tangan Bandar"
Mariyadi Faqih ; Kandidat Doktor Ilmu Hukum di PPS Universitas Brawijaya
MEDIA INDONESIA, 30 Januari 2013 

“JIKA dalam diri seseorang masih memberi tempat liberal bagi hedonisme (pemujaan kesenangan), para penjahat akan terus menjadikannya sebagai lahan empuknya,“ demikian pernyataan Syafik A Hasan (2011) yang sebenarnya mengingatkan setiap elemen sosial supaya tidak gandrung dengan perburuan kesenangan seperti kepuasan instan. 

Sayangnya, tidak sedikit ditemukan elemen sosial di negara ini yang lebih memilih dan menyukai pendewaan kesenangan atau perburuan kepuasan sesaat, meski kepuasan sesaat itu jelas-jelas menyesatkan dan potensial menghancurleburkan diri dan orang lain. 

Itu dapat terbaca dalam kasus keterperangkapan sejumlah artis atau selebritas terhadap penyalahgunaan narkoba. Mereka itu seperti tidak berkutik ketika penjahat menjual dan menyebarkan narkoba sebagai `teror' yang mematikan dirinya. Dirinya seperti sudah menyerah pasrah dilucuti dan dijadikan objek mainan oleh para produsen dan distributor narkoba. 

Para artis yang menyerah di tangan pebisnis narkoba itu tak ubahnya zombi (mayat hidup). Konsekuensi sebagai mayat hidup itu ialah menerima diperintah pihak-pihak yang menguasainya. Mereka kehilangan kecerdasan moral dan intelektualnya, tidak bisa dan tidak terbiasa melakukan penolakan saat para pebinis narkoba menguasai mereka. Konstruksi pikiran dan gerakannya selalu mengikuti rumus-rumus atau doktrindoktrin jagat bisnis sesat yang dikonstruksikan pihak yang mencengkeramnya. 

Para selebritas itu menjadi sangat gampang dicengkeram atau dijadikan lahan empuk oleh pebisnis narkoba lebih karena praktik `korupsi' moral profetik yang dilakukan oknum hakim yang juga menyerah, dan takluk di bawah kekuatan mafioso narkoba. 

Korban yang Dikorbankan Hukum

Korban yang Dikorbankan Hukum
Bambang Widodo Umar ; Guru Besar Sosiologi Hukum,
Pengajar Departemen Kriminologi, FISIP UI
KOMPAS, 31 Januari 2013 

Meskipun Polres Banyumas, Jawa Tengah, telah menghentikan penyidikan kasus Ninik Setyowati, kasus itu menyimpan masalah hukum yang mendasar dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Oleh polisi, Ninik sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka atas kematian putrinya, Kumaratih Sekar Hanifah, yang terjatuh dan terlindas truk hingga tewas. 

Sebagai korban, Ninik Setyowati tidaklah sendiri. Dari kasus-kasus yang lain terdapat juga korban-korban kejahatan yang tidak tertangani secara tuntas. Sebutlah seperti kasus Marsinah di Sidoarjo, Jawa Timur; kasus Udin di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta; kasus H Ohee di Papua; para aktivis 98 yang diculik dan hingga kini belum ditemukan, kasus mahasiswa Trisakti, juga kasus Munir. Sebagai fenomena hukum, masalah itu dianggap telah mengabaikan rasa kemanusiaan dan rasa keadilan dalam kehidupan masyarakat. 

Keputusan Kepala Polres Banyumas AKBP Dwiyono untuk mendamaikan antara korban dan pelaku agar tidak meneruskan perkara—karena tekanan publik—bisa jadi merupakan terobosan hukum yang perlu dipikirkan dalam kaitan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dari gonjang-ganjing peristiwa itu tampak sistem hukum di negeri ini masih ada kelemahan dan kekurangan yang fundamental dalam memberikan perhatian, khususnya perlindungan kepada subyek utamanya, ”korban”. Korban seperti sudah dikorbankan, dinafikan, bahkan disubordinasikan di hadapan subyek-subyek hukum lain, yakni pelaku dan aparat penegak hukum. Situasi semacam ini tentu bukan hanya mengkhianati ideal dasar dibentuknya hukum, tetapi juga sudah melanggar kemanusiaan itu sendiri. 

Solusi Bukan Postulat

Disadur dari Opini pkar yang berjudul "Solusi Bukan Postula"
JE Sahetapy ; Guru Besar (Emiritus) Unair
SUMBER : KOMPAS, 24 Mei 2012

Beberapa hari yang lalu saya diberi fotokopi artikel di Kompas (26 April dan 3 Mei 2012) tentang adanya usaha untuk ”menghukum putusan pengadilan”.

Reaksi dari kedua penulis tersebut—tentang ketidaksetujuan mereka—dapat dimengerti. Namun, argumentasi mereka cuma berkutat pada postulat eksistensi pengadilan yang mandiri dan karena itu tidak bisa diintervensi.

Postulat pengadilan yang mandiri atau independen sudah (cukup) lama sekali diketahui bukan hanya oleh para mahasiswa S-1 fakultas hukum, melainkan juga oleh masyarakat di akar rumput. Namun, postulat itu bukan persoalan kardinal, seperti yang juga dibahas dalam buku Wrongful Conviction. International Perspectives on Miscarriages of Justice yang diedit oleh C Ronald Huff dan Martin Killias (Temple University Press, Philadelphia, 2008).

Masa Depan yang Bagaimana?

Disadur dari Opini Pakar yang berjudul "Masa Depan yang Bagaimana? (2"
JE Sahetapy ; Guru Besar Emiritus Bidang Hukum Pidana
di Universitas Airlangga, Surabaya
SUMBER : SINAR HARAPAN, 30 Mei 2012

Sebelum memasuki paragraf baru tentang demonstrasi akhir-akhir ini bertalian dengan harga minyak yang menyangkut napas kehidupan rakyat kecil, untuk kesekian kali saya mengimbau agar putusan pengadilan dengan “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” diganti dengan “Demi Keadilan berdasarkan Pancasila”, karena putusan itu dengan “de uitzonderingen bevestigen de regel” sebagian besar tidak profesional, meskipun sulit dibuktikan secara yuridis formal, yang menyangkut KKN, pemerasan, dan penyuapan terselubung, “power by remote control” yang berarti menghina dan melaknat Tuhan. 

Selain itu, untuk kesekian kali saya berharap pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah untuk memberikan landasan hukum yang sah, agar dari beberapa terjemahan W.v.S. ada yang ditentukan menjadi KUHP atas dasar yuridis yang absah. 

Pandangan seorang Guru Besar Emeritus bahwa dasarnya adalah Undang-Undang 1946 Nomor 1, jadi sudah sah, maka saya ingin bertanya, dari terjemahan-terjemahan yang ada, yang mana menurut Anda itu yang sah. Apa tidak perlu dibedakan ”elementen” dari ”bestanddelen” (Prof Vrij) secara ”mutatis mutandis” perbuatan pidana dari tindak pidana. 

Pasal V Undang-Undang 1946 No 1 menetapkan: “Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagai sementara tidak berlaku.”
Pasal VI : (1) ”Nama Undang-Undang hukum pidana ’Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie’ diubah menjadi ’Wetboek van Strafrecht’. (2) Undang-undang tersebut dapat disebut ”Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. 

Nah, dari terjemahan-terjemahan itu yang sah yang mana: Moeljatno, Soesilo, BPHN dll. Jangan-jangan seperti kata orang Belanda – maaf – “Daar heeft hij geen kaas van gegeten.” Ibarat seperti orang Jawa tidak pernah makan atau merasakan tempe.

Sabtu, 16 Maret 2013

Keutuhan Hukum dan Bangsa

Disadur dari Opini Pakar yang berjudul Keutuhan Hukum dan Bangsa
Sudjito, KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UGM
Sumber : SINDO, 14 Januari 2012

Dalam artikel berjudul ”2011: Tahun Anti-Polisi?”( SINDO,1/1/2012) Sarlito Wirawan Sarwono antara lain mengemukakan bahwa konflik horizontal maupun vertikal sumbernya selalu sama, yaitu perizinan atau peruntukan lahan.

Di akhir tulisan itu dikatakan bahwa ada kecenderungan sebagian elite politik, tokoh masyarakat, pakarpakar karbitan, media massa TV, radio dan koran, terus-menerus memojokkan polisi karena ini memang eranya nyalahin orang, bukan mencari solusi. Perasaan nelangsa seorang Sarlito tersebut tentu menjadi keprihatinan kita sebagai bangsa secara keseluruhan. Apa yang dikemukakan benar dan sesuai dengan realitas.Cuma, sayang,seluruh materi artikel itu banyak berisi gambaran tentang kekerasan dalam perebutan lahan di negeri ini dan belum sampai pada tawaran solusinya.

Kalau boleh saya urun rembuk, dalam perspektif ilmu hukum, tampaknya kesalahan mendasar polisi sehingga cenderung disalahkan orang lain itu terpulang pada dua hal.Pertama, kesalahan pemahaman polisi terhadap kasus yang dihadapinya, yakni memandangnya sebagai kasus hukum (perundang-undangan) semata tanpa mau melihatnya dari sisi kemanusiaan.Kedua, kesalahan dalam pendekatan penyelesaiannya, yakni bersifat parsialistis, legal-postivistis, dan bukan holistis. Dua kesalahan tersebut akan berakibat tidak tuntasnya penyelesaian atas kasus-kasus sengketa lahan tersebut dan diperkirakan pada 2012 justru akan meningkat.

Dalam perspektif pendekatan holistis, masyarakat melakukan kekerasan dalam memperebutkan lahan bukanlah sekedar persoalan hukum (perundang-undangan) dan bukan pula sesempit soal perizinan. Di dalamnya terkandung masalah kompleks, meliputi persoalan natural, struktural maupun kultural. Secara natural (alamiah) masyarakat menghadapi kesuraman masa depan. Mereka miskin,lapar,dan menderita lahir- batin. Kajian psikologis pasti membenarkan bahwa siapa pun yang berada dalam kondisi seperti itu akan cepat marah apabila hasrat dan harga dirinya dihinakan pihak lain.

Hukum dan Kutukan Sosial

Disadur dari opini pakar yang berjudul "Hukum dan Kutukan Sosial"

Sudjito, GURU BESAR DAN KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UGM

SUMBER : SINDO, 8 Maret 2012

“Cantik kok pembohong”. Cemoohan itu muncul spontan, datar, dan mengalir dalam diskusi informal di warung angkringan di Kota Yogya. Sesekali berkumpul mahasiswa di tempat santai seperti ini sungguh amat menyenangkan.


Diskusinya berkualitas walaupun tanpa awal dan akhir yang jelas. Persoalan akan menjadi lain dan serius apabila guyon parikena itu dicerna dalam-dalam dengan kejernihan hati nurani. Kaum hawa khususnya pasti tersinggung. Cemoohan itu tergolong nylekit dan menusuk perasaan. Tetapi itulah justru pesan moral sesungguhnya, yaitu agar kaum hawa di negeri ini cantik luar-dalam, lahir-batin.


Jangan seperti Angelina Sondakh ketika bersaksi di Pengadilan Tipikor dalam kasus Wisma Atlet belum lama ini. Ada kasus berbeda, tetapi serupa. Di Pengadilan Tipikor Bandung terjadi pembacokan terhadap jaksa Sistoyo oleh Deddy Sugarda. Hal itu diakui oleh pelakunya sebagai pesan kepada para penegak hukum untuk tidak berkhianat pada program pemberantasan korupsi. Cemoohan maupun pembacokan tersebut merupakan bentuk sanksi (kutukan) sosial.


Ini bukan sesuatu hal baru.Jauh sebelum ada sanksi hukum formal, sanksi sosial telah ada,dan sesekali muncul ketika kehidupan berjalan tidak normal. Kebohongan dan pengkhianatan merupakan awal dan sebab ketidaknormalan kehidupan itu. Hukum formal berjalan terseok-seok karena dimainkan oleh kekuatan politik, uang, maupun kekuasaan. Awam sudah muak terhadap kepalsuan, kemunafikan, dan kamuflase proses peradilan yang berlangsung sebagai drama berseri itu.

Teladan Bernegara Hukum

Disadur dari Opini Pakar yang berjudul "Teladan Bernegara Hukum"
Sudjito ; Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UGM
SUARA MERDEKA, 08 September 2012 

MENGAPA banyak politikus korupsi, adakah keteladanan demikian? Mengapa persoalan sepele diselesaikan ala preman (main hakim sendiri)? Mengapa mahasiswa menyontek ketika ujian? Mengapa terjadi suap-menyuap dalam proses peradilan? Dalam bernegara hukum, sederet pertanyaan serupa relevan untuk dikaji seksama. Ikhwal demikian muncul karena bernegara hukum bukan lahir secara alamiah melainkan melalui kesepakatan. Syarat mendasar adalah keteladanan. Mengapa? 

Pertama; tiap manusia lahir senantiasa didoakan kelak menjadi anak saleh atau salihah. Kesalehan itu antara lain tercermin pada sikap dan perilaku, baik dalam kesendirian, bergaul dengan sesama, berinteraksi dengan alam dan lingkungan, maupun beribadah kepada Tuhan. 

Seorang bayi tidak mungkin mampu bersikap dan berperilaku demikian manakala tidak diberi teladan. Dalam konteks ini, kedua orang tua bertanggung jawab memberi keteladanan. Dalam tuntunan agama begitu bayi lahir, langsung dikumandangkan azan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri. Ini kewajiban primer untuk mengukir hati nurani, tabula rasa (lilin putih bersih) menjadi lukisan kehidupan damai dan indah. 

Menurut ilmu kedokteran anak, saraf terpeka adalah saraf pendengaran. Ketika mata belum mampu melihat, suara kedamaian dan keindahan telah dimasukkan ke jiwa bayi. Ketika bayi kelak dewasa dan senantiasa menegakkan shalat maka tidaklah sulit baginya untuk memahami, melaksanakan, dan menegakkan hukum, baik hukum ilahiah, hukum alam, hukum adat, maupun hukum negara. 

Hukum sebagai Kaidah Moral Sosial

Disadur dari Opini Pakar yang berjudul "Hukum sebagai Kaidah Moral Sosial"

Sudjito ; Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UGM

SINDO, 11 September 2012

Elemen-elemen masyarakat kita sedang gerah. Sedikit saja ada perbedaan, “digenjot” menjadi konflik. Simaklah. Agamanya sama, tetapi tafsir ajarannya berbeda, sudah cukup menjadi alasan untuk saling “meniadakan”.


Di antara sesama penegak hukum, hanya beda tafsir kata-kata dalam undang-undang, misalnya, berlanjut gugat-menggugat di pengadilan. Di antara sesama lembaga negara, dengan dalih checks and balances selalu curiga-mengurigai, check, check, check terus, tetapi tak pernah balance. Begitulah, keretakan hubungan sosial, tak kunjung mereda, bahkan semakin panas dan ganas. Adakah situasi buruk itu terkait dengan hukum dan mampukah diselesaikan berdasarkan hukum?


Untuk diingat bahwa pada kehidupan masa lalu, yang oleh August Comte disebut sebagai zaman teologis, hukum dimaknakan sebagai kaidah moral sosial. Kaidah itu merupakan “rumah” bagi nilai-nilai (values). Isinya berupa: petunjuk dan pedoman. Tujuannya: agar manusia bahagia lahir-batin, material-spiritual. Penjelasannya sebagai berikut. Pertama, sebagai petunjuk, hukum menunjukkan arah atau kiblat perjalanan manusia, dari mana asal-usul dan ke mana berkesudahan.


Tidak lain, dari Tuhan Sang Pencipta dan kelak kembali menghadap ke hadirat-Nya. Ketika itu segala amal-perbuatan dipertanggungjawabkan. Pahala dan dosa ditimbang. Masing-masing diberi tempat sesuai kadar amal-perbuatannya.Untuk mencapai tempat mulia (surga), disyaratkan manusia bersih dari segala noda. Karenanya, hukum berisi pentunjuk tentang moralitas (akhlak), baik akhlak terhadap diri sendiri, sesama manusia, terhadap alam-lingkungan dan hubungan vertikal (peribadatan) kepada Tuhan.

Hukum dan Kekuasaan

Disadur dari Opini Pakar yang berjudul "Hukum dan Kekuasaan"
Sudjito ; Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum 
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

SINDO, 26 September 2012
Ada cerita fantasi dari Gede Parma dalam tulisan berjudul “Taman Kedamaian Indah Menawan” (24/07/09). Tikus serakah menjumpai penyihir. Terganggu oleh ulah kucing, ia minta diubah jadi kucing. Baru sehari jadi kucing, ia sudah tidak puas karena terganggu oleh anjing, memohonlah ia diubah jadi anjing. Sehari kemudian karena dikejar serigala, ia minta diubah menjadi serigala. Hari berikutnya karena serigala ini dikejar harimau, ia minta disihir jadi harimau. Ketika menjadi harimau, keserakahannya memuncak, ia mau menerkam penyihir agar hidupnya tidak berubah-ubah lagi. Marahlah penyihir, dikutuklah harimau sehingga menjadi tikus lagi. 


Apabila cerita di atas direfleksikan ke dalam ihwal kekuasaan, tersirat ada sementara orang benar-benar haus kekuasaan. Kekuasaan dipandang sebagai penjamin keamanan, kenyamanan, kemakmuran dan segala kemewahan. Karenanya kekuasaan dicari dengan berbagai cara, tanpa peduli apakah rasional,wajar, ataukah penuh tipu daya. Pendek kata, demi kekuasaan segala cara dihalalkan. Dalam realitas kehidupan, banyak orang percaya bahwa kekuasaan dapat diperoleh dengan merekayasa hukum.


Misal ketika investor ingin mengembangkan usaha pertambangan, sementara izin usaha berbelit-belit, maka investor segera mendatangi pejabat setempat agar mengubah aturan perizinan.Tawar-menawar berlangsung. Seberapa besar ongkos mesti dibayar, secara timbal balik diperhitungkan dengan prospek keuntungan yang akan didapat. Kendala izin pertambangan teratasi dengan perubahan aturan main. Aspek legalitas memberikan kemudahan,kelancaran usaha sekaligus kekuasaan untuk membentengi diri dari siapa pun yang mengganggunya.


Kalau peradaban modern ditandai dengan pembatasan kekuasaan agar tidak digunakan sewenang-wenang, dan pembatasan itu dilakukan dengan rambu-rambu hukum,ternyata dalam perkembangannya justru berbalik, yaitu hukum dikendalikan kekuasaan. Pada kondisi demikian, perlindungan hak-hak warga negara sulit dijalankan efektif karena tirani kekuasaan berlangsung atas nama hukum. Relasi antara hukum dan kekuasaan terjalin erat, walaupun tidak mudah untuk menyatakan mana yang lebih dominan.

Sportivitas Bernegara Hukum

Disadur dari Opini pakar yang berjudul "Sportivitas Bernegara Hukum"
Sudjito ; Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UGM
SINDO, 03 Oktober 2012 

Sportif. Itu kata kunci untuk menggapai tujuan hidup bernegara. Sayang, para pejabat tinggi di negeri ini ada yang gemar melanggar sportivitas itu. Diberi amanat jabatan, eh eh eh.... disalahgunakan untuk korupsi.

Sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, mangkir diperiksa KPK dengan berbagai alasan yang dicari-cari. Tanpa sportivitas, apa jadinya nasib negara dan anak cucu kita ke depan? Sportivitas bukanlah monopoli dunia olahraga. Sebagai pencinta olahraga sepak bola, kita dibuat kecewa berat ketika sportivitas pemain maupun klub-klub Serie A Italia rendah.

Agar mendapatkan ganjaran penalti, sering melakukan trick (muslihat) seolah-olah dikasari lawan, padahal dia sengaja menjatuhkan diri. Pada tingkatan lebih tinggi, klub sebesar Juventus pernah dihukum degradasi ke Serie B karena terlibat pengaturan skor pertandingan. Persepakbolaan menjadi ajang kebohongan ketika sportivitas rendah. Sportivitas sangat diperlukan dalam bernegara hukum.

Pelajaran dari Grasi Kontroversial

Disadur dari Opini pakar yang berjudul "Pelajaran dari Grasi Kontroversial"
Sudjito ; Ketua Program Doktor dan Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM)
SINDO, 13 November 2012


Tiada sesuatu kejadian hampa dari hikmah. Seburuk apa pun kejadian itu, menjadi amat berharga bila kita mampu menangkap makna yang terkandung di dalamnya, dan bukan membiarkan hadir sebagai realitas indrawi yang berlalu begitu saja. Tiada sesuatu kejadian hampa dari hikmah. Seburuk apa pun kejadian itu, menjadi amat berharga bila kita mampu menangkap makna yang terkandung di dalamnya, dan bukan membiarkan hadir sebagai realitas indrawi yang berlalu begitu saja.

Kasus grasi kontroversial tidak akan terjadi tanpa campur tangan dan kehendak Tuhan Maha Agung.Agar kita tidak dianggap bodoh seperti keledai, dan tidak tersandung untuk kedua kalinya maka sebaiknya grasi kontroversial itu betul-betul dikaji secara mendalam dengan menggunakan kejernihan kalbu dan sejauh mungkin terjauhkan dari sikap emosi. Pada hemat saya,atas dasar kejujuran dan sikap sportif, paling tidak ada lima pelajaran berharga dari kasus itu. Pertama, tiada manusia sempurna.

Pertautan Politik dan Hukum

Disadur dari Opini pakar yang berjudul "Pertautan Politik dan Hukum"
Sudjito ; Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Dalam SINDO, 26 Desember 2012 

Partai Demokrat sedang dilanda “puting beliung”, porak-poranda, dan beberapa korban berjatuhan. Silaturahmi nasional (silatnas) yang semestinya diwarnai canda-tawa dalam keakraban dan jalinan kasih sayang justru berbalik dan bertolak belakang. 

Saling mencaci, memaki, bahkan mengusir dari ruang sidang. Dalam kerangka menjaga nasionalisme, realitas politik praktis seperti ini layak dipandang sebagai warning sekaligus sampel yang mewakili watak dan jati diri partai politik pada umumnya di Indonesia. Terkait dengan realitas demikian, para pengamat mencoba membuat prediksi. Dengan bekal pengalaman dan kemampuan akal (rasio) dikemukakan berbagai pandangan. 

Misalnya ini: ”Tantangan ke depan yang harus dihadapi Demokrat lebih besar daripada peluang yang bisa diraihnya. Akan sulit bagi Demokrat untuk bisa mendapatkan kembali momentum emas pada Pemilu 2004 dan 2009 yang membuktikan masa keemasan partai setelah memperoleh dukungan rakyat dengan suara meyakinkan pada pemilu legislatif dan pemilihan presiden” (Tajuk SINDO,17/12). Prediksi masa depan partai besar yang sedang berkuasa memang layak diperhitungkan. 

Bernegara Hukum Tanpa Budaya Malu

Disadur dari Opini pakar yang berjudul "Bernegara Hukum Tanpa Budaya Malu"

Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM

SINDO, 14 Januari 2013

 Kritik Mahfud MD tentang ketidakpahaman para politikus pada dunia perundang-undangan itu benar sebagai realitas empiris. Dikatakan, ketidakbenaran undang-undang (UU) selama ini disebabkan beberapa hal.


Pertama, ada istilah tukar-menukar dengan cara kompromi. Kedua, karena jual beli atau dikendalikan oleh pihak luar dan itu berarti bisa dibeli. Ketiga, karena ketidakprofesionalan anggota DPR (23/11/12). Sebab terakhir terkait dengan latar belakang berupa faktor ketidakpahaman alias kurang ilmu tentang proses legislasi.


Seandainya nilai-nilai Pancasila, khususnya nilai kemanusiaan, mengisi relung rongga dada para politikus,barangkali tanpa kritik pedas seperti itu yang bersangkutan sudah melengserkan diri. Mengapa? Karena malu. Pancasila sebagai dasar filsafat negara yang digali dari adat-istiadat, agama, dan budaya Nusantara sarat dengan budaya malu. Akan tetapi, sayang, budaya malu kini langka ditemukan di lembaga terhormat itu.


Kita paham,DPR memang lembaga politik.Aktivitas politik berupa tarik-ulur pengaturan dan pengendalian kekuasaan dalam pemerintahan berlangsung setiap saat. Semestinya, seluruh aktivitas politik dilakukan dalam bingkai nilai-nilai Pancasila. Benarkah demikian? Mengacu pada pernyataan Mahfud MD di atas, ternyata tidak. Mereka sering terlibat kegiatan transaksional seperti tukar-menukar (barter) kepentingan, jual-beli pasal, bahkan mengorbankan kepentingan bangsa demi kepentingan lain.

Keterbukaan Proses Peradilan

Disadur dari Opini Pakar berjudul "Keterbukaan Proses Peradilan"
Oleh Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum, Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
SINDO, 30 Januari 2013 

Kegalauan para insan pers sedikit terkurangi ketika sinergi antara Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), dan jurnalis bidang hukum dapat didialogkan dalam suasana cair melalui workshop bertajuk “Sinergi Komisi Yudisial bersama Media Massa dalam Mewujudkan Akses Keadilan bagi Masyarakat” yang digelar Rabu, 23 Januari 2013 di Purwokerto.

Saya sungguh merasa terhormat diberi kesempatan untuk berbicara sebagai akademisi. Ada beberapa catatan menarik yang perlu diketahui publik. Pertama, adanya pandangan dan sekaligus dirasakan oleh para jurnalis bahwa persamaan di depan hukum (equality before the law) belum terwujud sebagai kenyataan. Salah satunya karena akses keadilan bagi masyarakat masih terkendala keterbatasan informasi.

Dalam bahasa bernas, ingin disampaikan kritik mengenai “ketertutupan” MA dan KY dalam memberikan informasi proses peradilan. Sebagai contoh, gara-gara proses putusan peradilan tingkat banding dan MA tidak transparan, pengacara Muhamad Zainal Arifin menggugat KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman. Zainal mencontohkan kasus kekalahan Lion Air yang dihukum MA membayar USD25.000 dan permohonan maaf ke media kepada penggugat. 

Putusan wanprestasi Lion Air itu baru diketahui para pihak selang 2 tahun sejak putusan dijatuhkan. Contoh lain, pengunduran diri hakim agung Achmad Yamanie seharusnya menjadi pintu masuk untuk membersihkan MA sebagai institusi peradilan. Karena itu, semestinya MA bekerja sama dengan KY secara transparan. Setelah didesak publik, ternyata ada pemalsuan putusan. 

Jadi,kasusnya seakan ditutupi. Secara kuantitatif, kasuskasus “ketertutupan” proses peradilan itu banyak dan secara kualitatif menodai rasa keadilan sosial. Jurnalis sebagai representasi masyarakat layak mempertanyakan bagaimana distribusi perkara, penunjukan majelis hakim, tarif beperkara,dan sebagainya.

Kedua,berbeda dengan logika sosial para jurnalis,ternyata MA dan KY terbiasa menggunakan logika peraturan.Ketika teksteks peraturan telah diimplementasikan dalam tugas dan wewenangnya, MA maupun KY mengklaim telah bekerja secara prosedural dan benar. Di situlah terlihat ada kesenjangan (jurang perbedaan pemahaman) tentang cara-cara berhukum. Jurnalis minta agar MA dan KY jangan normatif, tetapi permintaan itu tak mudah dipenuhi karena aspek legal mengharuskan demikian. 

Logika peraturan yang dalam ranah ilmu hukum disebut legal-positivistis mengharuskan MA dan KY bertindak secara linier, mekanistis, deterministis, terikat pada teks-teks hukum.Kelemahan logika peraturan akan teratasi bila dilengkapi dengan logika sosial yang senantiasa asosiatif, kontekstual, memperhatikan ruang, waktu, dan kondisi sosial. Konsep law as a tool of social engineering dari Roescoe Pound (1912) merupakan implementasi logika sosial itu. 

Konsep developmental model yang mengaitkan jurisprudence dan social science (Nonet dan Selznick,1979) juga berangkat dari logika sosial itu. Saya kira, sudah saatnya MA dan KY memperbarui logika hukum dengan perkembangan terbaru itu. Ketiga, adanya kesenjangan penggunaan logika hukum di atas semakin meneguhkan kebenaran bahwa analytical jurisprudence masih dominan diajarkan dan dipraktikkan dalam proses peradilan di Indonesia. 

Mengapa begitu? Utamanya karena pengaruh modernisme yang dibawa negara penjajah dan pendidikan hukum model kontinental Eropa serta cravathisme Amerika. Implikasinya, MA dan KY serta para penegak hukum cenderung berpikir, bersikap, dan berlaku normatif, legal-positivistis,dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan materiil. Dalam kondisi demikian, equality before the law dan netralitas pengadilan sulit terwujud karena kekuatan sosial, ekonomi, dan politik berpengaruh kuat terhadap prosesperadilan.

Marc Galanter mengekspresikan kekecewaan terhadap kondisi ini dalam ungkapan the have always come out ahead.Keterbukaan informasi proses peradilan bagi masyarakat pun sangat dipengaruhi dominasi analytical jurisprudence itu. 

Keempat, puncak logika hukum yang mampu mengatasi dan menyinergikan logika peraturan dan logika sosial adalah logika spiritual. Logika spiritual ini bermanfaat pada saat ilmu hukum mengemban kewajiban moral memberi pencerahan terhadap praktik-praktik hukum “bermasalah”, disequilibrium, misal: proses peradilan yang tidak transparan, vonis hakim yang tidak sesuai dengan keadilan sosial, kesenjangan hubungan antara lembaga pengadilandenganmasyarakat. 

Karakteristik logika spiritual antara lain: kreatif, ingin memahami realitas secara utuh, luas dan mendalam. Fenomena dan fakta hukum tidak hanya dilihat dengan mata kepala, melainkan juga mata hati sehingga selain simbol-simbol fisik, dapat ditangkap pula nomena (hakikat, saripati, esensi) realitas tersebut. Lebih jauh, logika spiritual mampu mengantarkan penggunanya sampai pada kebenaran dan keadilan absolut. 

Irah-irah vonis hakim “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tentu bukan simbol kosong, melainkan ajaran penuh makna yang wajib menjadi sumber inspirasi dan motivasi para penegak hukum dalam mengemban amanahnya. Gunakanlah logika spiritual agar amanah itu dapat dijalankan sebaik- baiknya. 

Saya, jurnalis, dan masyarakat setuju bila MA dan KY bekerja berdasarkan peraturan perundangan berlaku. Namun, perlu diingat, sebagai komponen bangsa yang berideologi Pancasila, pilihan terhadap nilai-nilai yang mendasarinya tidak boleh bergeser dari Pancasila itu sendiri. Kehidupan modern yang cenderung logis, pragmatis, materialistis, dan mekanistis tidak boleh menjadikan MA dan KY lupa pada dimensi sosial dan spiritualnya.

Siklus Korupsi dan Koruptor

disadur dari Opini yang berjudul "Siklus Korupsi dan Koruptor".

Romli Atmasasmita, GURU BESAR HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN,
Sumber : SINDO, 22 Desember 2011

Korupsi dalam pandangan masyarakat internasional bukan kejahatan luar biasa, melainkan kejahatan transnasional. Ini berbeda dengan pengakuan masyarakat Indonesia bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga diperlukan cara penanganan yang bersifat luar biasa pula, tetapi terbatas hanya sampai proses peradilan minus perlakuan di lembaga pemasyarakatan. 
Konvensi PBB Antikorupsi 2003 hanya fokus pada masalah suap aktif dan pasif. Bahkan korupsi dalam lingkup aktivitas politik dipandang memiliki dampak signifikan dibandingkan dengan suap dalam lingkup aktivitas birokrasi sehingga muncul subjek hukum baru yang disebut political exposed persons (PEP’s). 

Merujuk pada UU RI No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU RI No 20 Tahun 2001, PEP’s belum secara eksplisit termasuk subjek hukum khusus yang dapat dipidana karena tindak pidana korupsi, sedangkan ketentuan subjek hukum ini menjadi penting untuk mengantisipasi Pemilu 2014 yang akan datang. Korupsi tumbuh dan berkembang dalam aktivitas kehidupan masyarakat baik di negara maju maupun berkembang. Semula korupsi merupakan resultan sistem birokrasi semata-mata, tetapi saat ini merupakan kolaborasi sektor publik yang korup dan sektor swasta yang berplat hitam.

Memutus mata rantai kolaborasi tersebut suatu keniscayaan, tetapi bukan suatu kemustahilan. Hanya diperlukan komitmen, keberanian, keteladanan, dan siap untuk menjadi martir dalam suatu sistem birokrasi khususnya di Indonesia yang terkenal korup. Kenaikan IPK Indonesia tahun 2001 dari 2,8 menjadi 3,00 membuktikan hal tersebut. Kenyataan korupsi di Indonesia sejak era Reformasi 1998 bagai pepatah “hilang satu tumbuh seribu” sehingga Busyro Muqoddas, mantan Ketua KPK, secara dini telah mengklaim ada kaderisasi koruptor di Indonesia walaupun masih perlu pembuktian.

Upaya Meruntuhkan Kekuasaan Kehakiman

disadur dari Opini yang berjudul "Upaya Meruntuhkan Kekuasaan Kehakiman"
oleh: Harifin A Tumpa, Akademisi; Mantan Ketua Mahkamah Agung
SUMBER : KOMPAS, 26 April 2012

Salah satu pilar dari suatu negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Hal ini adalah asas yang berlaku secara universal.

PBB pada 1948 mengamanatkan bahwa ”The independence of the judiciary shall be guaranteed by the state and enshrined in the constitution or the law of the country”. Oleh karena itu, dalam perubahan ketiga UUD 1945, jiwa dari amanat tersebut dituangkan dalam Pasal 24 Ayat (1): bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kekuasaan yang merdeka haruslah diartikan tidak boleh ada campur tangan (intervensi) dari siapa pun, termasuk di dalamnya menimbulkan rasa takut dari para hakim untuk memeriksa dan memutus perkara.

Menakar Bukti Minimum


disadur dari Opini yang berjudul "Menakar Bukti Minimum"

Oleh : Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

KOMPAS, 02 Juli 2012

Adalah M Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat, yang pertama kali mengembuskan adanya skandal megakorupsi proyek Hambalang.

Bahkan tak tanggung-tanggung, Nazar menunjuk hidung sejumlah petinggi Demokrat terlibat dalam skandal tersebut. Klarifikasi atas pernyataan Nazar juga sudah dilakukan KPK dengan mengundang lebih dari 70 orang untuk didengarkan keterangannya terkait kasus ini, kendati sampai kini KPK masih melakukan penyelidikan terhadap proyek Hambalang. Artinya, KPK belum memastikan ada tindak pidana korupsi dalam megaproyek itu. Abraham Samad dalam beberapa kesempatan menyatakan, KPK masih mencari bukti minimum untuk meningkatkan status penyelidikan jadi penyidikan atas proyek ini.

Parameter Pembuktian
Dalam konteks hukum pembuktian, bukti minimum adalah salah satu parameter pembuktian yang diperlukan untuk mengikat kebebasan hakim yang jika merujuk KUHAP, minimum yang diperlukan adalah dua alat bukti. Sementara alat bukti itu sendiri menurut KUHAP terdiri dari (1) keterangan saksi; (2) surat; (3) keterangan ahli; (4) keterangan terdakwa; dan (5) petunjuk.

Selalu jadi perdebatan apakah dua alat bukti dimaksud bersifat kualitatif ataukah kuantitatif. Bersifat kualitatif berarti harus ada dua alat bukti dari lima alat bukti yang ada: apakah satu keterangan saksi dan surat, atau satu keterangan saksi dan satu keterangan ahli, atau satu keterangan ahli dan surat, dan seterusnya. Adapun kuantitatif berarti keterangan dua orang saksi atau dua surat atau dua keterangan ahli sudah dihitung sebagai dua alat bukti.

Dalam tataran praktis, dua alat bukti dimaksud adalah secara kualitatif, kecuali perihal keterangan saksi, dua alat bukti yang dimaksud dapat kualitatif ataupun kuantitatif. Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyatakan, ”Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Ketentuan ini kemudian disusul ketentuan Pasal 185 Ayat (3) KUHAP yang berbunyi, ”Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya”.

Interpretasi gramatikal sistematis terhadap Pasal 185 Ayat (2) juncto Pasal 185 Ayat (3) KUHAP tak hanya berkaitan dengan prinsip unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi), tetapi juga prinsip bukti minimum untuk menyatakan terdakwa bersalah dalam perkara pidana, yakni dua alat bukti. Ini dapat ditafsirkan secara a contrario terhadap ketentuan Pasal 185 Ayat (2).

Jika keterangan seorang saksi saja tak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah terkait perbuatan yang didakwakan, maka keterangan lebih dari seorang saksi sudah cukup membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan, selama menimbulkan keyakinan hakim. Tegasnya, keterangan dua orang saksi dapat memenuhi bukti minimum, yakni dua alat bukti. Rumusnya: jika keterangan dua orang atau lebih saksi sama persis dan bersesuaian, maka dihitung sebagai satu alat bukti, sedangkan jika keterangan dua orang atau lebih saksi berdiri sendiri tetapi bersesuaian, maka dihitung dua alat bukti.

Kembali ke kasus Hambalang, keterangan Nazar yang berulang kali menyatakan keterlibatan para petinggi Demokrat adalah confessions evidence (bukti pengakuan). Agar bukti pengakuan ini memperoleh kekuatan pembuktian yang sempurna, harus ada corroborating evidence. Secara teori, corroborating evidence diartikan sebagai bukti-bukti untuk memperkuat suatu kesaksian termasuk pengakuan atau sebaliknya kesaksian untuk memperkuat bukti-bukti yang ada. Kalau bukti pengakuan Nazar dan Mindo Rosalina dihitung sebagai satu alat bukti, KPK hanya perlu satu keterangan saksi yang berdiri sendiri, tetapi bersesuaian dengan keterangan keduanya untuk menjadi dua alat bukti.

Saya sangat yakin, dari 70 orang lebih yang telah dimintai keterangan oleh KPK, pasti ada yang keterangannya, meski berdiri sendiri, bersesuaian dengan keterangan Nazar dan Mindo. Artinya, untuk meningkatkan status penyelidikan ke penyidikan atas kasus Hambalang sudah melebihi bukti minimum.


Indikasi Keterlibatan

Kendatipun demikian, saya dapat memahami strategi KPK dalam menangani kasus Hambalang yang ekstra hati-hati karena adanya indikasi kuat keterlibatan pelaku, paling tidak dari empat kalangan. Pertama, pihak eksekutif dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga. Kedua, kalangan legislatif, yakni oknum-oknum di Komisi X termasuk Badan Anggaran DPR. Ketiga, dari kalangan dunia usaha yang memenangi tender. Keempat, dari kalangan parpol.

Modus operandi yang digunakan pun tak kalah canggih dengan model anggaran secara multiyears yang nilainya ratusan miliar rupiah, tetapi kemudian membengkak menjadi Rp 2,5 triliun, termasuk dengan menyubkontrakkan pekerjaan kepada perusahaan lainnya. Karena itu, KPK perlu bukti-bukti valid untuk mengklarifikasi setiap fakta yang ada. Saya yakin, sembari status penyelidikan dinaikkan menjadi penyidikan, KPK akan menetapkan tersangka dalam proyek Hambalang.

Sebaiknya untuk menjerat para pelaku, KPK tak hanya menggunakan UU Tipikor, tetapi juga di-concursus-kan dengan UU Pencucian Uang (UU No 8 Tahun 2010). Ada beberapa alasan menggunakan UU ini. Pertama, bukti awal telah diperoleh berdasarkan laporan PPATK bahwa ada 23 transaksi mencurigakan dalam proyek Hambalang. Kedua, dapat dilakukan pembuktian terbalik terhadap mereka yang ditetapkan sebagai tersangka. Ketiga, jika pencucian uang itu melibatkan suatu korporasi atau badan hukum (baca: parpol) secara sistematis, korporasi atau badan hukum itu dapat dibubarkan.

Tembok Biru yang Diam

disarikan dari Opini yang berjudul "Tembok Biru yang Dia"
Oleh: Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
dalam KOMPAS, 16 Oktober 2012

Tembok biru yang diam adalah terjemahan dari the blue of silence. Inilah salah satu kultur polisi yang berlaku universal untuk tidak melaporkan tindakan buruk teman sejawat petugas polisi.
Dalam beberapa literatur, kultur itu sering pula ditulis sebagai the blue wall (tembok biru), the blue curtain (gorden biru), atau the code of silence (kode diam) yang disingkat ”kode”. 

Larry E Sullivan dan Marie Simonetti Rosen dalam Encyclopedia of Law Enforcement menulis bahwa the blue of silence menggambarkan adanya larangan tidak resmi dalam kultur polisi untuk tidak melaporkan tindakan buruk sesama polisi. 

Tindakan buruk tersebut bisa beraneka. Mulai dari tindakan asusila sampai pada tindakan pelanggaran hukum, termasuk kejahatan. Pada awalnya, the blue of silence hanya berlaku bagi tindakan buruk yang relatif ringan, tetapi dalam perkembangannya the blue of silence juga berlaku bahkan bagi tindak kejahatan serius. Hal ini kebanyakan untuk melindungi tindakan buruk atasan atau seniornya, meski pada hakikatnya konsep the blue of silence adalah untuk melindungi nama baik korps kepolisian. 

Infrastruktur Pengadilan Tipikor

disarikan dari opini pakar hukum yang berjudul "Infrastruktur Pengadilan Tipikor"

oleh: Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

KOMPAS, 22 November 2012


Lawrence M Friedman dalam American Law in the 20th Century menyatakan bahwa bekerjanya suatu sistem hukum sangat dipengaruhi tiga hal: legal substance, legal structure, dan legal culture.


Yang dimaksud dengan legal substance atau substansi hukum adalah isi dari suatu aturan hukum, baik hukum materiil maupun hukum formil, haruslah bersifat responsif. Artinya, senantiasa disesuaikan dengan perkembangan zaman. Legal structure atau struktur hukum meliputi kelembagaan, termasuk di dalamnya profesionalisme aparat penegak hukum serta sarana dan prasarana yang memadai. Legal culture atau budaya hukum adalah nilai-nilai atau pandangan masyarakat, termasuk perilaku aparat dalam sistem hukum itu sendiri.


Saya tak akan mengulas substansi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan budaya hukum, tetapi masalah struktur hukum yang dalam hal ini adalah sarana dan prasarana pengadilan tipikor.


Pada Kamis, 4 Oktober 2012, saya dijadwalkan memberikan keterangan ahli di Pengadilan Tipikor Jakarta dalam suatu kasus korupsi. Menurut jadwal, sidang akan dimulai pada pukul 14.00. Saya hadir sekitar pukul 13.30. Kondisi ruang sidang pengadilan cukup memadai, tetapi pengadilan tak dilengkapi dengan ruang tunggu jaksa penuntut umum ataupun advokat. Demikian pula tak terdapat ruang tunggu khusus untuk terdakwa.

Menakar Ketidaktahuan

disadur dari opini yang berjudul "Menakar Ketidaktahuan"
Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
KOMPAS, 18 Januari 2013

Ignorantia legis excusat neminem. Demikian salah satu postulat dalam ilmu hukum yang dapat diartikan bahwa ketidaktahuan akan undang-undang (hukum) bukan merupakan alasan pemaaf. Mengapa demikian? Postulat tersebut merupakan rangkaian dari postulat sebelumnya, nemo ius ignorare censetur atau iedereen wordt geacht de wet te kennen, yang berarti setiap orang dianggap tahu akan undang-undang (hukum).

Dalam beberapa literatur, postulat ini sering disebut sebagai fiksi hukum. Dirujuk kepada kedua postulat itu, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat memperingati Hari Antikorupsi Sedunia dan Hari Hak Asasi Manusia di Istana Negara, Jakarta, Senin, 10 Desember 2012, menimbulkan kontroversi. Lebih kurang SBY menyatakan bahwa pejabat yang tidak begitu memahami korupsi kemudian terjerat kasus itu perlu ”diselamatkan”

Kasus Sisminbakum dan Kasasi Romli

Disadur dari Opini pakar yang berjudul
Kasus Sisminbakum dan Kasasi Romli
Sumber: Rimanews 12 01 2011
Oleh : Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM 

Dugaan korupsi dalam pengadaan sistem administrasi badan hukum (sisminbakum) memasuki babak baru. Paling tidak ada dua hal dalam tiga minggu terakhir ini terkait perkembangan kasus sisminbakum.

Pertama, putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap Romli Atmasasmita berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung akhir Desember 2010. Kedua, kesaksian mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan mantan Menteri Perekonomian Kwik Kian Gie di depan jaksa penyidik sebagai saksi yang meringankan bagi Yusril Izha Mahendra dalam kasus tersebut. Bila dirunut sejak awal, sisminbakum lahir karena lambannya permohonan perizinan secara manual dan ada indikasi praktik tidak wajar antara petugas dan notaris dalam penyelesaian permohonan izin.

Sehingga Departemen Kehakiman dan HAM (Depkeh dan HAM) diminta untuk mempercepat proses penyelesaian izin guna menarik minat investor asing dalam rangka mengatasi ekonomi Indonesia yang lesu. Saat itu (tahun 2000) karena Indonesia dilanda krisis ekonomi, pemerintah tidak mampu menyediakan dana melalui APBN untuk membangun sisminbakum sehingga meminta kepada Koperasi Pengayoman Pegawai Depkeh dan HAM (KPPDK) mencari mitra guna membiayai Sisminbakum.

Kejahatan Korporasi

Diambil dari opini yang berjudul 
Kejahatan Korporasi
Romli Atmasasmita ;  Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
KOMPAS, 21 Januari 2013
Korporasi pada masa kejayaan mafioso di Italia dan Amerika Serikat abad ke-18 telah menjadi tulang punggung kehidupan organisasi kejahatan yang kebal tuntutan hukum.
Belajar dari kenyataan tersebut, di Amerika Serikat telah dibentuk undang-undang yang mengkriminalisasi kejahatan perjudian, pelacuran, dan minuman keras (RICO), sekaligus mengkriminalisasi korporasi yang terlibat dalam kejahatan. Korporasi adalah subyek hukum yang dapat dipidanakan.

Kekuatan Moral di Balik Putusan Bebas

Disarikan dari Opini berjudul

Kekuatan Moral di Balik Putusan Bebas

Romli Atmasasmita, GURU BESAR UNIVERSITAS PADJADJARAN (UNPAD)

Sumber : SINDO, 12 Desember 2011
Putusan bebas dalam perkara pidana bukan hal yang terlarang karena ada pijakan hukum dalam KUHAP.Semua sarjana hukum pasti harus sudah mengetahui. Tetapi,mengapa putusan bebas dalam perkara korupsi menjadi heboh luar biasa?

Hal ini disebabkan masyarakat telah memandang korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa dan membawa akibat kerugian negara yang sangat signifikan sehingga dianggap tidak pantas/ tidak layak terdakwa korupsi dapat dibebaskan. Pandangan ini keliru karena hukum tidak membedabedakan orang dan harus diperlakukan sama di muka hukum sekalipun terdakwa korupsi ketika dibandingkan dengan perkara maling ayam atau terorisme.

Pandangan ini benar jika putusan bebas terdakwa korupsi adalah hasil rekayasa seperti penyuapan terhadap hakim atau jaksa penuntut umum. Apakah makna kedua pandangan tersebut? Kedua pandangan tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa pemeriksaan perkara pidana termasuk perkara korupsi harus didasarkan pada ketentuan UU Hukum Acara Pidana yang berlaku.

Gerbong Korupsi di DPR RI

Disarikan dari Opini yang berjudul :
Gerbong Korupsi di DPR RI
Ikrar Nusa Bhakti ;   Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MEDIA INDONESIA, 04 Februari 2013
DALAM ilmu politik, khususnya terkait dengan pembentukan koalisi pemerintahan, kita sering mendengar istilah `melompat ke gerbong kereta' (jump on the bandwagon) untuk menggambarkan politisi atau partai politik (parpol) yang bergabung ke dalam koalisi saat koalisi sudah berjalan. Contoh paling konkret ialah bagaimana Partai Golkar pada Pemilu Presiden 2004 dan 2009 bergabung ke dalam koalisi pemerintahan SBY-JK dan SBY-Boediono tanpa kerja keras politik setelah koalisi politik itu memenangi pemilu presiden/ wakil presiden langsung.