Selasa, 17 September 2013

Penghargaan FAO dan Ketahanan Pangan

Disadur dari Opini Pakar yang berjudul : Penghargaan FAO dan Ketahanan Pangan
Ditulis Oleh : Fajar B Hirawan ; PhD Student at School of Economics, The University of Sydney, Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta
Dimuat di KOMPAS, 05 September 2013


Juni lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia Hatta Rajasa menerima penghargaan di bidang pangan dari FAO, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB. Mendapatkan penghargaan tentu menjadi kebanggaan tersendiri. Namun, sebagai warga negara Indonesia yang berusaha kritis melihat situasi di Tanah Air, penghargaan atas pencapaian Indonesia dan 37 negara lain memenuhi salah satu poin dari Millennium Development Goal (MDG) memang mengundang keingintahuan lebih lanjut.

Poin itu adalah mengurangi tingkat kemiskinan dan kelaparan, selain mencapai amanat World Food Summit (WFS): mengurangi setengah dari populasi penduduk yang kekurangan gizi. Indonesia bersama tiga negara ASEAN lainnya, yaitu Kamboja, Thailand, dan Vietnam, berhak menyandang penghargaan FAO tersebut. Betulkah ketahanan pangan di negeri ini sudah tercapai?
Tahun 1996, WFS menghasilkan definisi bahwa ketahanan pangan tercapai ketika seluruh populasi penduduk dapat mengakses makanan yang cukup, aman, dan bernutrisi guna menunjang kehidupan yang sehat dan aktif.
Sejak itulah FAO juga memperkenalkan tiga pilar yang sering digunakan untuk mengevaluasi ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan (availability), akses pangan (accessibility), dan kegunaan pangan (use/utility).
Semenjak munculnya fenomena fluktuasi harga pangan, beberapa pihak yang memfokuskan riset di bidang pangan memasukkan satu pilar tambahan yang tidak kalah penting, yaitu stabilitas pangan (stability). Keempat pilar inilah yang paling tidak menjadi ukuran penting pasca-diterimanya penghargaan FAO oleh Indonesia.

Ketersediaan pangan pada periode 2010-2012─ setelah krisis pangan tahun 2008─ sebenarnya cukup mengkhawatirkan khususnya lima komoditas pertanian, yaitu beras, gula, kacang kedelai, jagung, dan daging sapi. Padahal, Kementerian Pertanian mencanangkan swasembada pangan pada lima komoditas tersebut tahun 2014.

Berdasarkan data dari United Nations Commodity Trade Statistics Database (UN Comtrade), selama 2010-2012 Indonesia bergantung pada impor untuk kelima komoditas tersebut. Indonesia bergantung impor dari negara-negara ASEAN untuk beras, kacang kedelai, dan daging sapi.
Kondisi ini diperparah dengan kebijakan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian yang melarang impor hortikultura sejak awal tahun 2013 dengan penerbitan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Hortikultura dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura.
Dari segi akses, kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dan tidak meratanya pembangunan mempersulit distribusi pangan.

Kualitas jalan dan jembatan yang buruk, kemacetan, tidak terintegrasinya rel kereta api, serta minim dan mahalnya sarana transportasi yang menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya masih menjadi permasalahan klasik di Indonesia. Meskipun Sistem Logistik Nasional (Sislognas) dan konsep MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) telah diluncurkan untuk meningkatkan akses distribusi dan pembangunan, hasilnya belum signifikan.

Dari segi kegunaan pangan, adanya konsep diversifikasi pangan yang terus-menerus dipublikasikan dengan dana yang tidak sedikit oleh kementerian yang terkait memang ada beberapa perubahan. Namun, pangan bukan hanya komoditas ekonomi, melainkan terkait unsur budaya atau sosial ekonomi yang memengaruhi perilaku masyarakat dalam mengonsumsi makanan.

Peter Atkins dan Ian Bowler (2005) dalam bukunya, Food in Society: Economy, Culture, and Geography, yang juga dikembangkan dari pemikiran John McKenzie (1979), menegaskan bahwa ada tiga faktor penting yang memengaruhi pilihan masyarakat dalam mengonsumsi makanan, yaitu lingkungan (geo-environmental), sosial ekonomi, dan psikologi.
Dari segi stabilitas, Indonesia masih cenderung lemah menjaga stabilitas harga pangan. Beberapa kali terjadi kelangkaan dan meroketnya harga komoditas pangan seperti daging sapi, kacang kedelai, cabai, dan bawang putih yang marak diberitakan media. Karena ketersediaan pangan dan stabilitas harga pangan berhubungan sangat erat, larangan impor hortikultura yang diterapkan oleh pemerintah memperburuk stabilitas harga pangan.

Distorsi yang terjadi pada keempat pilar ketahanan pangan berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan dan kelaparan di Indonesia. Maka, kita dapat bertanya kepada diri kita masing-masing apakah penghargaan FAO di bidang pangan tersebut sudah layak diterima oleh Pemerintah Indonesia?
Apakah dengan penghargaan tersebut otomatis ketahanan pangan di Indonesia telah tercapai? Sungguh suatu pertanyaan yang sulit dijawab mengingat masih banyak hal yang perlu diperbaiki di negeri ini.

Christian Anton Smedshaug (2010) dalam bukunya, Feeding the World in the 21st Century: A Historical Analysis of Agriculture and Society, menggarisbawahi bahwa perlu adanya perbaikan di tiga elemen dasar guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas kebijakan dalam bidang pangan, yaitu structural reform, developmental reform, dan social reform.

Kesimpulannya, Indonesia layak mendapat penghargaan semacam itu jika pemerintah sudah memiliki konsep ketahanan pangan seperti famine early warning system yang telah terlembaga dengan baik. Selain itu, ketahanan pangan harus dijauhkan dari campur tangan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang hanya ingin mengambil keuntungan demi kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu.

0 komentar: