Jumat, 04 Oktober 2013

Organisasi Internasional WIPO (WORLD INTELLECTUAL PROPERTY ORGANIZATION)

World Intellectual Property Organization (WIPO) merupakan organisasi dibawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang khusus menangani bidang hak kekayaan intelektual (HAKI). Sampai sekarang organisasi ini beranggotakan 184 negara yang berpartisipasi dalam WIPO untuk menegosiasikan perjanjian-perjanjian internasional serta aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan HAKI seperti patent, copyrights dan trademarks. Sekretariat WIPO berkedudukan di Genewa, Swiss dan merekalah yang melakukan fungsi koordinasi terhadap aktivitas WIPO, mengimplentasikan 24 perjanjian internasional yang telah disepakati, dan memfasilitasi negosiasi atas perjanjian-perjanjian baru yang diajukan berkaitan dengan copyrights, patent, dan trademarks.  Pada tahun 2000 negara-negara anggota WIPO (World Intellectual Property Organization) membentuk Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC), dan pada 2009 mereka sepakat untuk mengembangkan instrumen hukum internasional yang dapat memberikan perlindungan efektif bagi Traditional Knowledge, Genetic Resources and Traditional Cultural Expressions (Folklore). Sebuah instrumen yang bisa direkomendasikan kepada anggota-anggota WIPO sebagai sebuah perjanjian formal yang akan mengikat negara-negara yang melakukan ratifikasi

SEJARAH WIPO
Awal mula dari WIPO telah terbentuk sejak tahun 1883 dengan nama Bureaux Internationaux Réunis pour la Protection de la Propriété Intellectuelle (BIRPI) yang berlaku setahun kemudian yaitu pada tahun 1884 dengan melibatkan 14 negara anggota, berdasarkan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works dan Paris Convention for the Protection of Industrial Property pada tahun 1893, BIRPI berubah menjadi WIPO pada tahun 1967 berdasarkan the Convention Establishing the World Intellectual Property Organization. Dalam konvensi WIPO tersebut disebutkan bahwa tujuan dari organisasi ini adalah mempromosikan perlindungan terhadap kekayaan intelektual di seluruh dunia. Pada tahun 1974 WIPO diadopsi untuk masuk sebagai bagian dari organisasi internasional di bawah PBB. Setelah masuk ke dalam bagian PBB, WIPO menjadi intergovernmental organization yang anggotanya merupakan negara-negara anggota PBB.


Secara kronologis, perjalanan WIPO dapat dijelaskan sebagai berikut:

TAHUN dan EVENT

1883 Pariis Convention
1886 Berne Convention
1891 Madrid Agreement
1893 BIRPI didirikan
1925 Hague Agreement
1960 BIRPI pindah ke Jenewa
1967 WIPO Convention
1970 WIPO didirikan
1970 Patent Cooperation Treaty
1989 Protocol to Madrid Agreement
1996 WIPO Copyright Treaty
2000 Patent law treaty

B. ORGAN ORGAN WIPO

WIPO memiliki empat organ utama yang terdiri dari Majelis Umum, Konferensi, Komite Koordinasi, Sekretariat atau yang disebut dengan Biro Internasional.

1. Sekretariat WIPO

Sekretariat WIPO dipimpin oleh Direktur Jenderal. terdiri dari staf yang berasal dari 90 negara yang termasuk ahli dari berbagai macam bidang tentang hukum dan praktek atas kekayaan intelektual, spesialis dalam kebijakan publik, ekonomi, administrasi, dan teknologi informasi. Menurut pasal 9 ayat 3 Akta Konstitutif, Direktur Jenderal diangkat untuk jangka waktu tertentu, yang harus tidak kurang dari enam tahun. Dia akan memenuhi syarat untuk pengangkatan kembali untuk fixed term. Jangka waktu penunjukan awal dan kemungkinan janji berikutnya, serta semua persyaratan lain penunjukan tersebut, harus ditetapkan oleh Majelis Umum.

Sekretariat WIPO dalam Akta konstitutif disebut sebagai Internasional Bereau. Sekretariat WIPO-lah yang menjalankan implementasi dari 24 perjanjian yang telah disepakati oleh negara-negara anggotanya. Mereka jugalah yang melakukan prosedur, mencatat registrasi dan proses administrasi yang berkaitan dengan kekayaan intelektual, misalnya pendaftaran atas hak paten, merk dagang, atau hak atas desain industri. Dengan demikian Sekretariat WIPO yang terdiri atas staf yang ditunjuk dan mewakili (juga merupakan hired staff) adalah agen atau third parties yang menjalankan kewenangan atau authority yang telah diberikan kepada WIPO dari negara-negara anggotanya.

2. Konferensi

Konferensi merupakan organ yang berupa pertemuan para anggota Majelis Umum terdiri dari semua negara anggota WIPO. Konferensi ini bersidang dua tahun sekali dan memiliki otoritas tertinggi dari semua organ.[3] untuk membahas hal-hal kepentingan umum di bidang kekayaan intelektual, serta untuk mendirikan Program WIPO bantuan hukum teknis dan anggaran untuk program tersebut.

Organ Konferensi ini diatur dalam Pasal 7 Akta Konstitutif WIPO yang memiliki tugas:



a. mendiskusikan hal-hal kepentingan umum di bidang kekayaan intelektual dan mungkin mengadopsi rekomendasi yang berkaitan dengan hal tersebut, dengan memperhatikan untuk kompetensi dan otonomi Serikat;
b. menerapkan anggaran dua tahunan Konferensi;

c. dalam batas anggaran Konferensi, menetapkan program dua tahunan bantuan hukum-teknis;
d. mengadopsi amandemen Konvensi ini sebagaimana diatur dalam Pasal 17;

e. menentukan Negara-negara bukan Anggota Organisasi dan yang antar pemerintah dan organisasi internasional non-pemerintah harus mengakui pertemuan sebagai pengamat;

f. latihan fungsi lain seperti sesuai berdasarkan Konvensi ini


Kode Etik Jaksa

PERJA NOMOR : PER-067/A/JA/07/2007 TTG KODE PERILAKU JAKSA (C.O.C)

P E R A T U R A N JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : PER-067/A/JA/07/2007

TENTANG KODE PERILAKU JAKSA

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang

: a. bahwa dalam rangka mewujudkan Jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan tugas penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran, maka disusun Kode Perilaku Jaksa;

b. bahwa sebagai perwujudannya perlu diterbitkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia.

Selasa, 17 September 2013

Ketahanan Pangan dalam Ancaman Global

Disadur dari Opini pakar yang berjudul Ketahanan Pangan dalam Ancaman Global
Ditulis oleh Fadel Muhammad ; Ketua Umum Masyarakat Agribisnis & Agroindustri Indonesia
dimuat dalam KORAN TEMPO, 16 Oktober 2012

Semakin kuatnya peran dan posisi industri pangan global dalam sistem tata kelola pangan dunia berpotensi melemahkan kemampuan negara dalam menentukan kebijakan kemandirian pangan, terutama di negara-negara yang sedang berkembang.

Hari Pangan Dunia adalah momen penting kebangkitan pangan nasional untuk mengawal Visi Indonesia 2025. Telah lama kita abai terhadap gejala kecenderungan perusahaan pangan global menguasai dan mempengaruhi kebijakan pertanian nasional. Melalui jejaring yang dimiliki, mereka mencoba mempengaruhi proses legislasi yang menyangkut kebijakan pangan. Lobi-lobi tingkat tinggi terus mereka lakukan agar kepentingannya diakomodasi. Sebaliknya, kepentingan produsen dan konsumen domestik kurang mendapat perhatian dari para politikus lokal.

Industri pengolahan makanan berusaha menggunakan kekuatan politik untuk melawan kelompok-kelompok tani yang akan mengganggu bisnis mereka. Kecenderungan meningkatnya impor pangan dan produk hortikultura Indonesia, dan sudah mengarah ke kecanduan, adalah suatu bukti keberhasilan lobi industri pangan global. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menghitung, nilai impor sejumlah kebutuhan pangan di Tanah Air mulai Januari hingga September 2012 sudah mencapai US$ 12 miliar.

Industri pangan telah dan menjadi bisnis berskala raksasa. Rantai bisnis industri pangan, mulai pemasokan input ke pasar retail pangan melalui pasar tradisional, restoran, hingga toko-toko makanan, di negara maju menyumbang sekitar 25 persen pendapatan sektor swasta, dan di negara sedang berkembang lebih besar lagi. Struktur rantai industri pangan global sekarang tengah mengalami perubahan yang sangat cepat. Industri pangan global terkonsentrasi dan teraglomerasi pada perusahaan-perusahaan raksasa, terutama di sektor biji-bijian. Perusahaan industri pangan global telah mengadopsi benih dan tanaman transgenik yang sebagian besar dihasilkan oleh Monsanto dan Novartis, terutama di Amerika Serikat dan Argentina.

Dampaknya, pasar pangan dunia menjadi oligopolistik. Produksi biji-bijian dunia pada 2010 mencapai 2.182 juta metrik ton. Sebesar 227 juta metrik ton diperdagangkan di pasar internasional. Sekitar 80 persen dari komoditas pangan tersebut dikuasai oleh kartel pangan. Mereka adalah Cargill Inc, ADM, Bunge, dan Louis Dreyfus. Mereka secara ekstrem mengontrol pangan dunia melalui paten bioteknologi. Sekarang, petani di mana pun di dunia ini tidak bisa lepas dari cengkeraman benih yang dihasilkan oleh Cargill, Monsanto, Bayer Crops Science, dan Syngenta. Di Eropa, 10 besar perusahaan industri makanan memiliki omzet sekitar US$ 248 miliar dan di Amerika US$ 140 miliar. Mereka mempunyai pengaruh politik yang besar, terutama dalam mempengaruhi kebijakan pangan dunia. Perusahaan industri pangan negara-negara maju akan terus-menerus berusaha memasuki pasar dunia dan menjadi perusahaan global lintas negara.

Kedaulatan dan Otoritas Pangan

Disadur dari opini pakr yang berjudul : Kedaulatan dan Otoritas Pangan
Ditulis oleh :Mochammad Maksum Machfoedz ; Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri Universitas Gadjah Mada
Dimuat dalam MEDIA INDONESIA, 22 Oktober 2012


AHAD 21 Oktober menjadi puncak peringatan nasional sekaligus penutup Hari Pangan Sedunia (HPS) XXXII yang kegiatannya dikonsentrasikan di Temanggung Tilung, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Tema HPS, yang dari tahun ke tahun senantiasa menggigit, kali ini mengedepankan pentingnya kerja sama menyongsong makin terbatasnya pangan global.

Tema tahun ini ialah Agricultural cooperatives: key to feeding the world. Itu menekankan pentingnya koperasi, kooperasi, kerja sama, kemitraan, dan makna lain cooperatives untuk menjamin pangan jagat raya ketika kondisinya diramalkan makin mencemaskan.

HPS menjadi begitu istimewa bagi Indonesia karena diwarnai pula dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pangan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR 18 Oktober 2012. UU itu pantas disyukuri karena mengamanatkan reformasi pemikiran sangat mendasar terkait dengan urusan pangan, yang antara lain berwujud reorientasi paradigmatis dari prinsip ketahanan, menuju kedaulatan pangan, dan perlunya pembentukan kelembagaan pangan yang berwibawa bagi pembenahan sistem pangan nasional.

Ketahanan ke Kedaulatan

Sejenak, perbedaan mendasar antara ketahanan dan kedaulatan sebagai terminologi politis bisa disimak. Ketahanan secara umum bisa dimaknai sebagai security yang menyiratkan the condition of being protected, terlindunginya sesuatu, misalnya dari rasa takut, bahaya, sakit, dan lapar. Subjek pelindungnya menjadi tidak penting.

Adapun kedaulatan atau sovereignty bermakna exclusive power and right, hak dan kekuatan untuk mengambil keputusan, menentukan dirinya. Subjek pemilik hak dan kekuatan amat jelas: diri pribadi perorangan, keluarga, kelompok komunitas, masyarakat luas, dan negara.

Menata Kembali Kemandirian Pangan

Disadur dari opini pakar yang berjudul : Menata Kembali Kemandirian Pangan
Ditulis oleh : Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap pada Departemen Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU Medan
Dimuat dalam SINAR HARAPAN, 17 Oktober 2012

Penguasaan teknologi pangan yang lambat dan nyaris stagnan belakangan ini telah mengakibatkan perlambatan pembangunan kemandirian pangan.

Meski mayoritas penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, makin banyak penduduk di daerah perdesaan terlibat dalam kegiatan nonpertanian sebagai sumber penghasilan utama.

Proses pemiskinan petani berlangsung dengan cepat. Inilah salah satu permasalahan mendasar di tengah proses menyimpitnya penguasaan lahan pemilikan petani, baik karena proses fragmentasi lahan melalui pewarisan tanah dan pengalihan fungsi lahan pertanian guna berbagai keperluan hidup manusia.

Ini yang menyebabkan jumlah petani gurem meningkat. Dalam banyak hal, Indonesia mengalami kemunduran justru di bidang yang seharusnya ia unggul karena bias pengelolan (mismanajemen) pertanian. Ketidaksiapan Indonesia menyongsong era baru kebangkitan petanian adalah buah kesalahan di masa lalu.

Padahal untuk produk-produk pangan olahan berbasis sumber daya lokal (pertanian tropis), Indonesia bukan hanya berpotensi berswasembada, tetapi juga dapat meraih kedaulatan pangan.

Kedaulatan pangan terkait dengan politik formal yang berbeda dengan pembangunan ketahanan pangan. Kedaulatan pangan menekankan model produksi pertanian agro-ekologis yang berlawanan dengan pertanian industri yang dikelola secara kapitalistik yang pro WTO.

Definisi ketahanan pangan yang paling banyak dianut adalah hasil kesepakatan Pertemuan Puncak Pangan Dunia (World Food Summit) 1996, yang menekankan akses semua orang terhadap pangan pada setiap waktu, tidak memandang di mana pangan itu diproduksi dan dengan cara bagaimana proses produksi dilakukan. Ketahanan pangan lalu bias ke kemampuan untuk menyediakan pangan pada level global, nasional, maupun regional yang menjadikan perdagangan internasional menjadi suatu keniscayaan.

Seiring dengan itu, pangan (baca: beras) pun sarat dengan kepentingan politik. Fenomena ini sudah berlangsung sejak abad ke-16. Para raja yang berkuasa menyadari beras merupakan simbol stabilitas ekonomi dan politik.

Optimalisasi Peran Penyangga Ketahanan Pangan

Disadur dari opini pakar yang berjudl : Optimalisasi Peran Penyangga Ketahanan Pangan
Ditulis Oleh Aviliani ; Pengamat Ekonomi Indef
Dimuat di MEDIA INDONESIA, 13 November 2012

BADAN Urusan Logistik (Bulog) sudah ada lebih dari 40 tahun. Pada saat itu pendirian Bulog lebih dilandasi oleh tujuan politis, yaitu mendukung eksistensi pemerintah melalui program ketahanan pangan, khususnya stabilisasi hanya harga beras. Namun, kemudian fungsinya berkembang menjadi stabilisasi harga untuk beberapa komoditas yang dianggap berkaitan dengan kebutuhan pangan pokok masyarakat yang mampu meningkatkan mutu gizi.

Di dalam pelaksanaannya Bulog mengelola persediaan beras, gula, gandum, terigu, kedelai, pakan, dan bahan pangan lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam rangka menjaga kestabilan harga bahan pangan bagi produsen dan konsumen serta memenuhi kebutuhan pangan sesuai kebijaksanaan umum pemerintah. Ketika itu, masyarakat merasakan harga beli pangan lebih terjangkau dan tidak mengalami gejolak harga yang tinggi sehingga mereka merasa lebih nyaman hidup di zaman itu.


Di sisi petani, mereka juga merasakan bahwa kehidupan yang lebih baik karena punya jaminan harga, ketersediaan bibit, pupuk, dan kebutuhan sarana pertanian lain, serta keberadaan penyuluh yang mampu membantu petani menjaga kualitas.
Namun pada saat krisis ekonomi 1997/1998, peran dan fungsi Bulog terus mengalami perubahan dan menjadi sangat terbatas jika dibandingkan dengan sebelumnya. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 19 Tahun 1998, komoditaskomoditas pangan penting yang ditangani Bulog kembali dipersempit seiring dengan kesepakatan yang diambil pemerintah dengan pihak International Monetary Fund (IMF) yang tertuang dalam letter of intent (LoI).


Dalam keppres tersebut, tugas pokok Bulog dibatasi hanya untuk menangani komoditas beras. Komoditas lain yang dikelola selama ini dilepaskan ke mekanisme pasar. Sebagai perusahaan yang tetap mengemban tugas publik dari pemerintah, Bulog tetap melakukan kegiatan menjaga harga dasar pembelian (HPP) untuk gabah, stabilisasi harga khususnya harga pokok, menyalurkan beras untuk orang miskin (raskin), dan pengelolaan stok pangan.

Indikasi Oligopoli

Dalam implementasinya di lapangan, peran Bulog menjadi kurang optimal dalam pengendalian harga pangan beras. HPP yang ditetapkan pemerintah tidak sepenuhnya terealisasi di lapangan. Ada juga pihak yang berani membeli gabah di atas HPP yang ditetapkan pemerintah, walaupun masih tetap terl lalu rendah jika dibandingkan d dengan harga jual di tingkat eceran yang sering kali kenaikannya kurang wajar. Belum lagi adanya distorsi-distorsi lain yang mengakibatkan harga di tingkat petani jatuh, tetapi di tingkat konsumen justru mengalami kenaikan. Apalagi sejak 2005 kenaikan harga-harga komoditas cukup tinggi dan sulit dikendalikan.
Kalaupun mengalami penurunan, prosesnya sangat lamban bahkan tidak kembali ke harga semula.


Selain itu, adanya indikasi oligopoli di beberapa produk pangan juga menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah dalam mengendalikan harga. Kenyataan lain juga sering terjadi salah mengambil keputusan kebijakan, akibat ketidakakuratan data yang dimiliki. Misalnya ketika para petani mengalami masa panen justru terjadi impor sehingga menyebabkan harga di tingkat petani justru jatuh, khususnya bahan pangan di luar beras.

Setelah melihat harga yang terus bergejolak dan ketahanan pangan sulit diramalkan, berbagai pihak mengusulkan untuk merevitalisasi fungsi Bulog agar kembali seperti masa lalu. Bulog diberi peran yang lebih untuk menjaga stabilisasi dan stok pangan nasional, tetapi perlu ada perbaikan dari sisi pengawasan dan keterbukaan. Ada pula yang mengusulkan untuk membentuk lembaga baru nondepartemen karena yang berbentuk perum tidak cocok untuk fungsi stabilisasi, bahkan pemerintah mulai menyiapkan perpres untuk memperbaiki fungsi Bulog agar mampu menstabilkan harga beberapa komoditas antara lain beras, gula, kedelai, jagung, dan minyak goreng.

Bagaimana kesiapan Bulog untuk menjalankan fungsi tersebut? Bertambahnya peran dan fungsi tentu memerlukan infrastruktur baru seperti pengadaan gudang untuk manajemen stok dan strategi tata niaga yang matang untuk memahami dinamika pasar. Peran baru Bulog lebih dibutuhkan untuk mengelola tata niaga bagi komoditas pangan lokal agar mampu bersaing dengan komoditas impor.

UU Pangan


Di tengah usulan revitalisasi Bulog, DPR telah mengesahkan UU Pangan yang tujuannya memecahkan persoalan pangan melalui penye lenggaraan pangan nasional yang adil, merata, dan mandiri dengan meningkatkan produksi nasional dengan harga yang wajar dan terjangkau. Semangat UU tersebut melindungi masyarakat dan para petani pangan.


Akan tetapi bila melihat kebutuhan pangan masyarakat, sebagian sukat, sebagian sulit diproduksi di dalam negeri sehingga harus terus impor. Bila dipertahankan juga, pertahankan juga, itu akan berdam pak pada ketahanan pangan nasional karena harga tidak mampu dikendalikan, stoknya pun akan sulit, sehingga perlu juga dipikirkan bahan pangan pengganti terutama terkait dengan potensi pangan lokal.

Tentu hal ini perlu dipikirkan dari sisi kebiasaan masyarakat yang terkadang sulit untuk mengalihkan pola makan. Demikian halnya para petani perlu juga diarahkan untuk mengembangkan pangan lokal dengan skim insentif dan jaminan pasar. Dalam UU tersebut juga dikatakan bahwa perlu adanya lembaga nondepartemen yang menangani pangan. Dari pada harus membentuk lembaga baru, akan lebih baik Bulog menjadi bagian dari institusi pangan, apalagi pengalaman dan sarananya sudah sangat menunjang.

Dalam rangka mengimplementasikan UU Pangan baru serta menyelesaikan berbagai persoalan tentang pangan nasional, pemerintah perlu membuat kebijakan strategis dalam pangan, bukan sekadar mengembalikan atau merevitalisasi fungsi Bulog.

Pekerjaan Besar Bidang Pangan

Disadur dari opini tokoh yang berjudul : Pekerjaan Besar Bidang Pangan
Ditulis oleh : Sapuan Gafar ; Sekretaris Menteri Pangan 1993-1999
Dimuat dalam KOMPAS, 19 November 2012

Setelah mengalami penantian cukup panjang, RUU Pangan akhirnya disahkan menjadi UU. Mencermati naskah UU Pangan terbaru ini, ternyata kita masih dihadang pekerjaan rumah yang besar dan berat.
UU Pangan versi baru cakupannya sangat luas. Agar lebih jelas ruang lingkupnya, maka diuraikan terlebih dahulu perbedaan antara pangan dan pertanian.

Pangan merupakan hasil dan atau produk olahan dari hasil pertanian. Sementara cakupan pertanian itu meliputi pertanian pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan serta air. Pengaturan yang berkaitan dengan pertanian lebih menyangkut budidayanya (on farm), sedangkan untuk pangan lebih menyangkut penyediaan, pengolahan, distribusi, keamanan, kesehatan, dan konsumsinya (off farm).

Bagi negara yang menganut paham pasar bebas, UU Pangan lebih banyak mengatur keamanan pangan saja. Urusan lain diatur oleh pasar. Berbeda dengan UU Pangan yang lama (UU No 7/1996). Selain mengatur keamanan pangan, juga mengatur tentang ketahanan pangan, stabilisasi harga pangan, label dan iklan pangan, dan lain-lain. Jadi sudah lebih komprehensif.

Dulu dan Kini

Dari pemahaman di atas, maka tidak mudah membuat peraturan pemerintah (PP) dari UU Pangan yang baru disahkan ini mengingat ruang lingkupnya sangat luas dan banyak yang sudah diatur berbagai UU dan PP sebelumnya secara sektoral. Pertanyaannya, UU Pangan baru ini akan jadi ”komandan” dalam arti UU lain harus menyesuaikan atau jadi koordinator saja.

UU Pangan yang lama hanya bersifat mengoordinasikan dan mengisi pengaturan pangan yang belum ada atau belum diatur secara jelas. Untuk UU Pangan baru, landasannya adalah kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, berkelanjutan dan keadilan. Dengan demikian, logikanya, UU lain harus menyesuaikan UU ini. Maka, hal ini mungkin akan menjadi persoalan tersendiri.

Dalam mengajukan RUU Pangan tahun 1976 diperlukan persetujuan tertulis dari Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kesehatan, Menteri Kehakiman, serta Menteri Sekretaris Negara yang mengoordinasikan semua legislasi saat itu. Adapun RUU-nya disiapkan selama tiga tahun, konsepnya dibahas dengan tim antardepartemen dan sudah disosialisasikan bersama Badan Pembinaan Hukum Nasional. Selain itu, untuk menyusun rancangan PP tentang pangan, kita masih harus melibatkan instansi terkait sehingga diperlukan waktu yang cukup lama. Sekarang ini ego sektoral tampak lebih menonjol sehingga penyelesaian RPP-nya diperkirakan akan lebih alot.

Pada saat ini GBHN sudah tidak ada lagi dan sebagian besar kewenangan mengenai pangan sudah diserahkana kepada daerah. Dahulu, untuk membuat PP tentang label dan iklan pangan perlu tiga tahun dan terjadi perdebatan publik yang keras tentang label halal. Untuk menyelesaikan PP tentang keamanan dan mutu gizi pangan butuh tiga tahun lebih, bolak-balik masuk Sekretariat Negara. Namun, sebelum disetujui oleh Sekretariat Negara terjadi kecelakaan. Kantor Menteri Pangan dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Alhasil, PP tentang Keamanan, Mutu. dan Gizi Pangan diselesaikan oleh Departemen Kesehatan (Badan Pengawas Obat dan Makanan) pada 2004. Pada 2002, PP tentang Ketahanan Pangan diselesaikan oleh Departemen Pertanian (Badan Ketahanan Pangan).

Hal yang akan menjadi ganjalan dalam penyelesaian RPP UU Pangan yang baru adalah faktor kelembagaannya. Pertama, lembaga tersebut diharapkan yang akan menjadi inisiator dan atau koordinator penyusunan RPP.

Kedua, bentuk lembaga dalam UU Pangan tak diatur eksplisit, hanya memerintahkan kepada Presiden membentuk ”lembaga pemerintah” untuk mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional.

Apabila tugasnya seperti ini, lembaganya akan jadi ”lembaga super”, harus adi komandan lembaga di bawah urusan pangan. Tidak mungkin hanya berbentuk lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK). Bentuk Kementerian Pangan sekalipun tidak cukup. Apalagi sekarang tak ada GBHN lagi dan kewenangan urusan pangan sudah diserahkan kepada daerah.
Ketiga, masalah anggaran akan menjadi kendala karena untuk lembaga yang baru belum dapat berbuat apa-apa lantaran belum ada anggarannya. Selain itu, masalah pengisian staf dengan kualifikasi seperti yang diinginkan juga tak mudah.

Keempat, untuk lembaga baru akan ada kendala kantor, membangun kantor yang baru perlu waktu dan biaya, untuk persetujuan anggaran perluasan kantor KPK saja menjadi persoalan. Kelima, apabila tugas perencanaan dari lembaga ini tidak disertai anggaran untuk pelaksanaannya di daerah, nasibnya akan sama dengan yang sekarang ini alias tidak jalan.

Jalan Keluar


Pekerjaan rumah yang diberikan UU Pangan kepada pemerintah cukup pelik dan sulit. Dibentuk kementerian pangan baru, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkendala jumlah kementerian yang sudah dibatasi. Apalagi bentuk yang diinginkan super kementerian, hal ini tidak ada kamusnya di negeri ini. Dibentuk ”Badan Otoritas Pangan” yang memiliki kewenangan luas, seperti dikemukakan penggagas RUU Pangan, SBY menghadapi aturan bahwa LPNK itu hanya lembaga pusat, tidak punya tangan di daerah. Dalam praktiknya nanti, LPNK Pangan akan kesulitan mengoordinasikan para direktur jenderal di kementerian, apalagi pejabat tingkat menteri.

Dari semua urusan pangan, sebenarnya yang belum ada pengaturan yang jelas tentang cadangan pangan nasional. Untuk itu, disarankan dibentuk Badan Koordinasi Cadangan Pangan Nasional (BKCPN). Badan ini bertugas melaksanakan urusan cadangan pangan pemerintah (pusat), mengoordinasikan dan membina cadangan pangan pemerintah daerah, monitoring cadangan pangan masyarakat, serta secara berkala melakukan stok opname posisi persediaan yang ada di masyarakat.

Karena merupakan lembaga pusat dan menggunakan anggaran APBN, BKCPN dapat memberikan tugas kepada BUMN (Perum Bulog) untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, dan distribusi cadangan pangan sebagaimana diatur dalam UU Pangan. BKCPN nantinya tinggal mengeluarkan perintah logistik kepada Perum Bulog untuk mengeluarkan cadangan pangan untuk keperluan tertentu di seluruh Indonesia. Untuk memudahkan koordinasi, sebaiknya BKCPN berkantor di Perum Bulog. Sebagian staf dari BKCPN juga dapat menggunakan staf Perum Bulog karena sudah terbiasa dengan tugas-tugas seperti ini.

Namun, saya khawatir UU ini tak segera ditandatangani karena konsekuensinya berat. Sasaran UU ini, pemerintah wajib mencukupi pangan sampai tingkat perorangan, sedangkan UU Pangan lama hanya sampai tingkat rumah tangga. Ini akan menjadi persoalan karena data yang ada hanya berbasis rumah tangga. Pertanyaan sederhana, sudah siapkah penyaluran raskin berbasis perorangan? Tampaknya hanya Indonesia yang bunyi UU Pangan-nya begitu ideal seperti Indonesia. Sebenarnya, bila revitalisasi Perum Bulog segera direalisasikan, kebutuhan lembaga seperti disebut di atas tak mendesak walaupun terasa ada yang hilang setelah Bulog yang LPND/LPNK dibubarkan. Namun, tugas-tugas pemerintahan di bidang stabilisasi harga pangan dapat terpenuhi dengan kelembagaan yang ada saat ini. Membentuk lembaga baru juga belum tentu efektif, malah dapat menimbulkan birokrasi baru. Hanya perlu diingat, operasi stabilisasi harga itu ada biayanya, pasti mengalami kerugian, di mana pun di dunia ini yang menjalankan kebijakan stabilisasi harga. Oleh karena itu, segala risiko harus ditanggung pemerintah.

Ketahanan Pangan dan Kemerdekaan

Disadur dari Opini pakar yang berjudul : Ketahanan Pangan dan Kemerdekaan
Ditulis oleh: Agus Pakpahan ; Pengamat Ekonomi Pangan
dimuat dalam  KORAN TEMPO, 15 Agustus 2012

Kita akan merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ke-67. Hari ulang tahun NKRI tersebut juga jatuh beberapa hari saja sebelum tibanya hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1433H, hari yang menjadi simbol kemenangan umat Islam kembali ke fitrahnya setelah menjalankan puasa Ramadan sebulan lamanya. Jadi, kedua hari besar tersebut--ulang tahun kemerdekaan NKRI dan hari raya Idul Fitri--adalah simbol kemenangan.

Kenyataan yang dihadapi dewasa ini adalah sebagian besar rakyat Indonesia, setelah 67 tahun merdeka, masih berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, yaitu pangan. Hampir setiap rumah tangga Indonesia membelanjakan pengeluarannya 50 persen atau lebih untuk membeli kebutuhan pangannya, lima kali lebih besar dari jumlah yang dibelanjakan oleh rumah tangga di negara maju. Yang menambah rasa khawatir kita semua juga adalah, fenomena ketergantungan pada pangan yang sedemikian besar itu juga terjadi pada masyarakat pedesaan atau rumah tangga pertanian.


Dengan meningkatnya harga-harga komoditas pangan selama dekade pertama abad ke-21 ini, khususnya yang terjadi akhir-akhir ini, dengan tingkat peningkatan harga bisa lebih dari 50 persen atau ketergantungan pada pangan impor seperti kedelai, dapat diperkirakan bahwa kondisi sosial-ekonomi masyarakat kita masuk ke situasi yang sangat sulit. Jumlah penduduk miskin di pertanian dan pedesaan akan lebih besar lagi daripada yang telah diberitakan selama ini, yaitu sekitar 71 persen penduduk miskin berada di sektor pertanian dan pedesaan.


Perlu menjadi perhatian kita bersama bahwa pergerakan dunia, termasuk Indonesia di dalamnya, selama 67 tahun terakhir ini adalah pergerakan yang didorong oleh dua gelombang besar dunia, yaitu industrialisasi dan urbanisasi di satu sisi dan Revolusi Hijau di sisi lainnya. Industrialisasi dan urbanisasi tidak akan terwujud tanpa dukungan produksi pangan yang memadai bagi kepentingan penduduk urban dan sektor industri.
Revolusi Hijau rupanya telah memungkinkan terbentuknya surplus pangan yang mengalir dari desa-desa ke kota. Surplus pangan ini juga membuat harga pangan murah, yang membuat upah buruh di pertanian dan pedesaan juga murah. Perbedaan upah di pedesaan dan perkotaan yang meningkat telah menciptakan daya tarik bagi para pemuda-pemudi desa untuk berpindah dari desa ke kota mengikuti arus yang disebut urbanisasi. Pergerakan ini terus terjadi dan diperkirakan pada 2015 penduduk kota lebih banyak jumlahnya daripada penduduk desa. Jadi, bukan hanya telah terjadi perubahan struktur ekonomi dengan menurunnya pangsa produk domestik bruto (PDB) pertanian dan penurunan pangsa tenaga kerja pertanian, transformasi ekonomi melalui industrialisasi juga telah mengubah distribusi penduduk dan sistem atau pola kehidupan masyarakat secara geografis (spasial) secara radikal.

Penghargaan FAO dan Ketahanan Pangan

Disadur dari Opini Pakar yang berjudul : Penghargaan FAO dan Ketahanan Pangan
Ditulis Oleh : Fajar B Hirawan ; PhD Student at School of Economics, The University of Sydney, Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta
Dimuat di KOMPAS, 05 September 2013


Juni lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia Hatta Rajasa menerima penghargaan di bidang pangan dari FAO, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB. Mendapatkan penghargaan tentu menjadi kebanggaan tersendiri. Namun, sebagai warga negara Indonesia yang berusaha kritis melihat situasi di Tanah Air, penghargaan atas pencapaian Indonesia dan 37 negara lain memenuhi salah satu poin dari Millennium Development Goal (MDG) memang mengundang keingintahuan lebih lanjut.

Poin itu adalah mengurangi tingkat kemiskinan dan kelaparan, selain mencapai amanat World Food Summit (WFS): mengurangi setengah dari populasi penduduk yang kekurangan gizi. Indonesia bersama tiga negara ASEAN lainnya, yaitu Kamboja, Thailand, dan Vietnam, berhak menyandang penghargaan FAO tersebut. Betulkah ketahanan pangan di negeri ini sudah tercapai?
Tahun 1996, WFS menghasilkan definisi bahwa ketahanan pangan tercapai ketika seluruh populasi penduduk dapat mengakses makanan yang cukup, aman, dan bernutrisi guna menunjang kehidupan yang sehat dan aktif.
Sejak itulah FAO juga memperkenalkan tiga pilar yang sering digunakan untuk mengevaluasi ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan (availability), akses pangan (accessibility), dan kegunaan pangan (use/utility).
Semenjak munculnya fenomena fluktuasi harga pangan, beberapa pihak yang memfokuskan riset di bidang pangan memasukkan satu pilar tambahan yang tidak kalah penting, yaitu stabilitas pangan (stability). Keempat pilar inilah yang paling tidak menjadi ukuran penting pasca-diterimanya penghargaan FAO oleh Indonesia.

Ketersediaan pangan pada periode 2010-2012─ setelah krisis pangan tahun 2008─ sebenarnya cukup mengkhawatirkan khususnya lima komoditas pertanian, yaitu beras, gula, kacang kedelai, jagung, dan daging sapi. Padahal, Kementerian Pertanian mencanangkan swasembada pangan pada lima komoditas tersebut tahun 2014.

Berdasarkan data dari United Nations Commodity Trade Statistics Database (UN Comtrade), selama 2010-2012 Indonesia bergantung pada impor untuk kelima komoditas tersebut. Indonesia bergantung impor dari negara-negara ASEAN untuk beras, kacang kedelai, dan daging sapi.
Kondisi ini diperparah dengan kebijakan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian yang melarang impor hortikultura sejak awal tahun 2013 dengan penerbitan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Hortikultura dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura.
Dari segi akses, kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dan tidak meratanya pembangunan mempersulit distribusi pangan.

Ketahanan Pangan APEC

Disadur dari tulisan pakar yang berjudul : Ketahanan Pangan APEC
Ditulis oleh : Achmad Suryana ; Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian
Dimuat di REPUBLIKA, 08 September 2012

Penguatan ketahanan pangan global menjadi salah satu dari empat topik prioritas yang dibahas para pemimpin ekonomi Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) pada pertemuan awal September 2012 di Vladivostok, Rusia. Para pemimpin APEC memahami besarnya tantangan untuk menyediakan pangan yang cukup, bergizi, aman, terjangkau, serta merata secara berkelanjutan.

Bila tantangan tersebut tidak dapat diatasi, dunia akan menghadapi masalah besar, yaitu kerawanan pangan yang meluas, yang dapat berujung pada krisis pangan. Risiko tersebut ingin dihindari dengan mengidentifikasi langkah-lang kah untuk mengatasinya dan membangun komitmen.

Mendahului pertemuan para pemimpin APEC, pada akhir Mei 2012, para menteri pertanian atau yang menangani ketahanan pangan bertemu di Kazan, Rusia, dan menyepakati Deklarasi Kazan tentang Ketahanan Pangan APEC. Dalam deklarasi ini, dikemukakan fakta kuantitatif besarnya permasalahan ketahanan pangan global.

Pertama, adanya kecenderungan har ga-harga pangan yang terus naik dengan volatilitas yang tinggi. Kondisi ini diperkirakan akan berlanjut sampai 2020. Kedua, jumlah penduduk miskin dunia meningkat dari 780 juta jiwa pada akhir 1990-an menjadi 925 juta orang pada 2010 dan dikhawatirkan peningkatan ini akan terus berlanjut. Ketiga, pendu duk dunia meningkat terus dan diperkirakan mencapai 9,3 miliar jiwa pada 2050. Hal ini membawa konsekuensi pada 2050 produksi pangan harus dapat ditingkatkan menjadi 70-100 persen dari produksi yang dicapai saat ini.

Di sisi lain, peningkatan produksi pangan global sering kali terganggu bencana alam dengan frekuensi yang semakin tinggi dan dampak kerusakan yang semakin besar. Kejadian ini tidak terlepas dari dampak pemanasan global dan kondisi cuaca ekstrem.

Ekonomi Global dan Ketahanan Pangan

Disadur dari opini pakar yang berjudul : Ekonomi Global dan Ketahanan Pangan
Ditulis Oleh :Eddy Suntoro ; Bekerja di Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian
Dimuat di : SUARA KARYA, 20 Mei 2013

Menurut Direktur Pengelola Bank Dunia, Caroline Anstey, ada lima tantangan yang akan dihadapi perekonomian global setelah terjadi beberapa kali krisis finansial pada awal abad ke-21. Pertama, di bidang pekerjaan. Saat ini terdapat lebih dari 620 juta orang muda tidak bekerja dan sulit kuliah. Mereka ini kebanyakan berada di kawasan Asia dan Afrika Sub Sahara. Kedua, ketidakmerataan pendapatan yang dapat meningkatkan instabilitas dan ketegangan sosial. Saat ini lebih dari satu miliar orang di seluruh dunia berpenghasilan kurang dari 1,25 dolar AS/hari. Akibatnya, kesenjangan dalam banyak kasus meningkat.
Ketiga, masalah infrastruktur. Di mana lebih dari 1,3 miliar orang tidak memiliki akses kepada listrik. Untuk itu, dibutuhkan dana sekitar 48 miliar dolar AS per tahun agar setiap orang dapat mengakses listrik pada 2030. Keempat, perubahan iklim yang meliputi gelombang panas ekstrem dan anjloknya stok pangan global, sehingga semua kawasan dunia akan terkena dampaknya, dan kelima, adanya efek destabilitas dari kemajuan teknologi.

Jika pertumbuhan ekonomi sekarang tidak ingin terganggu, dan konflik sosial tidak ingin terjadi, apa yang diprediksi dan dikatakan Bank Dunia harus direspon dengan baik oleh eksekutif, legislatif, dan dunia usaha dan pemangku kepentingan lainnya. Jika tidak, dikhawatirkan tantangan tersebut akan benar-benar terjadi, dan dapat berimplikasi negatif terhadap sendi-sendi pembangunan ekonomi, sosial, politik bahkan ketahanan nasional.

Dari kelima tantangan yang dipaparkan Bank Dunia, salah satu upaya yang perlu dilakukan pemerintah adalah melalui peningkatan dan pembangunan ketahanan pangan. Dengan demikian, empat dari lima masalah yang disampaikan Bank Dunia dapat dijawab dan diatasi, meliputi masalah ketenagakerjaan, pemerataan pendapatan, pembangunan infrastruktur dan perubahan iklim.

Pertahanan dan Ketahanan Pangan

Disadur dari opini pakar yang berjudul : Pertahanan atau Ketahanan Pangan
Ditulis oleh :Wasisto Raharjo Jati ; Analis Politik dan Kebijakan Publik, Fisipol UGM
Dimuat di : MEDIA INDONESIA, 20 Oktober 2012


HENRY Kissinger, mantan menteri luar negeri Amerika Serikat, pada 1974 pernah mengeluarkan gagasan food as weapon (pangan sebagai senjata) sebagai cara untuk menekan populasi manusia yang kian melonjak, tetapi tidak diimbangi pertambahan jumlah lahan pertanian yang kian terbatas karena tanah terkonversi menjadi lahan permukiman.

Gagasan tersebut timbul atas ancaman krisis pangan yang akan terjadi di masa depan. Kissinger menilai pembatasan konsumsi pangan berkorelasi dengan penurunan jumlah populasi manusia karena manusia akan berupaya dengan cara apa pun untuk mendapatkan pangan. Timbulnya peperangan yang terjadi di dunia disebabkan gairah kuasa menambah lahan pertanian untuk mencukupi stabilitas pangan domestik. Hal itu yang kemudian coba dipakai Kissinger dengan mereduksi redistribusi pangan dunia dengan tujuan manusia mereduksi pula jumlah konsumsinya. Ide Kissinger yang acap kali disebut juga sebagai genosida pangan (food genocide) tersebut memang mendasarkan pada pemikiran Thomas Robert Malthus tentang pertambahan deret hitung (produksi pangan) dan deret ukur (pertumbuhan penduduk) pada 1798, umat manusia sudah diperingati agar perlu mengantisipasi ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan akan konsumsi pangan. Malthus menilai kelangkaan suplai pangan ialah masalah manusia sehingga manusia memerlukan kearifan untuk mengelolanya.

Ada Perbedaan

Dari situlah kemudian masalah krisis pangan berkembang dalam dua wacana besar, yakni ketahanan pangan (food security) dan pertahanan pangan (food defense). Dari dua wacana tersebut, wacana ketahanan pangan kemudian berkembang menjadi wacana dominan pasca-1980 sampai sekarang ini. Paradigma ketahanan pangan sendiri menitikberatkan pada keadaan ketika semua orang pada setiap saat punya akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap kecukupan pangan, aman, dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya un tuk hidup produktif dan sehat (Mercy Corps, 2007). Premis tersebut cukup berbeda dengan swasembada pangan yang kerap dilontarkan para pejabat kementerian yang lebih pada peningkatan dan kemandirian pangan. Berbicara mengenai ketahanan pangan berarti berbicara mengenai ketersediaan pangan (food availability), akses terhadap sumber pangan (food accessibility), dan penyerapan pangan (food utilization) yang kemudian output yang dihasilkan stabilitas dan peningkatan gizi penduduk.

Dalam konteks politik pangan Indonesia, antara swasembada dan ketahanan pangan kerap kali dicampuradukkan dalam setiap perumusan kebijakan pangan dengan nalar berpikir yang muncul ialah asalkan bahan pangan konsumsi itu ada di pasar dan mampu dibeli penduduk, itulah yang dimaksudkan dengan ketahananswasembada pangan versi pemerintah Indonesia.

Hal itulah yang kemudian memicu terjadinya liberalisasi pangan di Indonesia dengan komoditas impor pertanian dari luar negeri kemudian membanjiri pasar. Indonesia yang konon katanya negeri agraris justru menjadi negara yang memiliki ketergantungan pangan tinggi di kawa san ASEAN, dengan kebergantungan impor pangan penting seperti halnya susu (90%) mengalami peningkatan dari 1 juta liter (2011) menjadi 2,5 juta liter (2012), gula (30%) meningkat dari 27,344 ton (2011) menjadi 45,301 ton (2012), garam (50%) dari 1,5 juta ton (2011) menjadi 2,5 juta ton (2012), gandum (100%) mengalami peningkatan dari sebanyak 6,6 juta ton (2010) menjadi 7,4 juta ton (2012), dan kedelai (80%) mengalami peningkatan 1,90 juta ton (2010) menjadi 1,95 juta ton, daging sapi (30%). Adanya arus peningkatan komoditas pangan impor tersebut disebabkan rendahnya bea masuk impor yang ditetapkan pemerintah pusat sehingga komoditas pangan domestik sendiri kemudian tergusur oleh hadirnya pangan impor tersebut.

Sabtu, 18 Mei 2013

Keadilan Basis Nasionalisme

Disadur dari Opini pakar yang berjudul "Keadilan Basis Nasionalisme"
Ditulis Oleh Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Dimuat di KORAN SINDO, 11 Mei 2013



Ketika memberikan sambutan saat menerima anugerah People of the Year 2010 dari harian Seputar Indonesia (kini KORAN SINDO) saya mengatakan, basis dan strategi nasionalisme kita ke masa depan adalah menegakkan hukum dan keadilan.

Dulu kita membangun strategi nasionalisme melalui gerakan bersenjata, merapikan dan memperkuat tentara, menggalang dukungan rakyat melalui perang sabil dengan senjata seadanya. Lawan kita pada masa lalu adalah negara lain yang ingin menjajah atau ingin merampas kemerdekaan. Tepatnya, dulu kita membangun strategi nasionalisme dengan kesiapan penuh berperang melawan kekuatan negara lain yang ingin menjajah atau menghancurkan kita.

Maka, dulu ada semboyan merdeka atau mati, merebut dan mempertahankan kemerdekaan atau mati tersungkur di hadapan tentara penjajah. Itu dulu. Pada saat ini musuh nyata nasionalisme yang kita hadapi adalah ketidakadilan dan lemahnya penegakan hukum. Tidak ada lagi sekarang ini negara lain yang ingin secara langsung mencaplok kedaulatan negara kita melalui kekuatan bersenjata. Tidak ada negara yang secara nyata akan mengambil kemerdekaan kita.

Sehingga strategi pembangunan nasionalisme tak perlu dilakukan melalui penyiapan gerakan bersenjata untuk berperang secara fisik. Pada saat ini musuh paling nyata atas kelangsungan bangsa dan negara Indonesia adalah mafia hukum dan hilangnya keadilan sebagai sukma hukum. Kita harus katakan bahwa mafia hukum dan tidak tegaknya sukma hukum tersebut, yaitu keadilan, adalah ancaman bagi hancurnya negara yang tak kalah dahsyatnya bila dibandingkan dengan ancaman atau serangan fisik dari negara lain.

Bahwa ketidakadilan mengancam kelangsungan negara bisa dibuktikan bukan hanya oleh ajaran agama yang bisa saja dianggap dogmatik-normatif tetapi dibuktikan oleh fakta. Di dalam agama Islam sangat dikenal hadis Nabi, bahwa hancurnya negara dan bangsabangsa di masa lalu tidak lain karena bila ada orang lemah melanggar hukum langsung dijatuhi hukuman, tetapi jika ada orang kuat, baik secara ekonomi maupun politik, melanggar hukum tidak jua dihukum.

Jika hukum dan keadilan tidak ditegakkan, maka kehancuran suatu negara dan bangsa hanya menunggu waktu. Hadis Nabi ini didukung oleh fakta sejarah tentang timbul dan tenggelamnya bangsa-bangsa di masa lalu, seperti Mesir, Persia, Romawi, berbagai dinasti di Tiongkok, dan lain-lain. Sesudah wafatnya Nabi, berbagai khilafah dalam Islam pun banyak yang bubar karena kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.

Di Nusantara kita mengenal munculnya kerajaan-kerajaan besar yang kemudian tenggelam karena perang saudara yang menimbulkan saling fitnah dan ketidakadilan. Sebutlah hancurnya Kerajaan Singosari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Sriwijaya, dan sebagainya. Kehancuran mereka selalu didahului oleh menguatnya hawa nafsu di kalangan elite yang kemudian menimbulkan konflik dan ketidakadilan.

Hukum di Tangan Penguasa

Disadur dari Opini yang berjudul "Hukum di Tangan Penguasa"
Ditulis oleh W Riawan Tjandra ; Pengajar di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Dimuat di koran REPUBLIKA, tanggal 06 Mei 2013


Karut-marut penegakan hukum di negeri ini memberikan pertanda (sign) bahwa realitas penegakan hukum di negeri ini masih jauh dari amanah konstitusi yang menegaskan republik adalah sebuah neg ara hukum. Kasus perlawanan eksekusi oleh Susno, meski pada akhirnya bersedia menyerahkan diri setelah sempat melakukan tawar-menawar dengan Kejakgung mengenai cara dan tempat eksekusinya, masih samarnya penegakan hukum dalam kasus bail out Century, dan sejenisnya adalah tanda-tanda (signifier) dari sebuah negara hukum yang mengalami kemerosotan.

Tidak adanya keteladanan dari pemimpin/elite penguasa dalam mematuhi hukum merupakan awal terjadinya banalitas keadilan dalam penegakan hukum. Filsuf al-Farabi pernah mengatakan bahwa pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat ialah pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam tubuh manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepalalah, menurut al-Farabi, yang menjadi sumber dari segala peraturan dan keharmonisan dalam masyarakat. Ia mesti bertubuh sehat dan kuat, pintar, serta cinta pada ilmu pengetahuan dan pada keadilan. Al Farabi meyakini bahwa peran pemimpin/elite penguasa merupakan fondasi dari tegak atau ambruknya pilar-pilar hukum dan keadilan di suatu negara.

Al-Farabi membuat klasifikasi negara menjadi beberapa macam, tiga di antaranya adalah negara utama, negara yang bodoh, dan negara yang rusak.
Negara yang utama adalah negara yang masing-masing warganya, baik pemimpin maupun rakyat, sadar akan hak dan kewajiban masing-masing.

Pemidanaan terhadap Pelaku Kejahatan Elitis

Disadur dari Opini pakar yang berjudul "Pemidanaan terhadap Pelaku Kejahatan Elitis"
Ditulis oleh Erlangga Masdiana ; Kriminolog Universitas Indonesia
Dimuat di MEDIA INDONSIA, 13 Mei 2013


BANYAK keistimewaan diperoleh para pelaku kejahatan elitis, terutama pelaku kejahatan korupsi dan narkoba. Dengan kekuatan ekonomi dan akses yang diperoleh, mereka dapat memengaruhi tidak hanya saat berada di luar lembaga pemasyarakatan (LP), tapi juga saat mendekam di dalam hotel prodeo. Vonis hakim yang memasukkan mereka ke LP tidak menyurutkan aktivitas sehari-hari mereka.


Artalyta, contohnya. Ia tampaknya menikmati LP dengan penuh ‘gaya lain’. Ruang pemidanaannya didesain dengan rasa nyaman, penuh dengan aksesori. Begitu juga dengan Gayus Tambunan, yang kedapatan bisa keluar-masuk LP dengan bebas.


Kekayaan dengan hasil korupsi tidak hanya dimanfaatkan untuk menebar uang di luar penjara. Di dalam LP, uang pun disebar dengan leluasa. Kelompok pelaku kejahatan narkoba pun melakukan tindakan yang sama dengan para koruptor. Pelaku mendesain, menggerakkan, dan mengontrol aktivitas peredaran barang haram dari dalam LP.


Berbeda halnya dengan para pelaku kejahatan jalanan yang menjalani hukuman seadanya. Tidak ada uang suap yang dapat diberikan kepada petugas karena rata-rata mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka pasrah dan menyerahkan nasib menunggu kalau ada remisi tahunan. Kalau tidak betah di penjara, paling-paling mereka berkontemplasi atau berbagi pengalaman hidup dan pengalaman tentang perbuatan jahat mereka. Tidak mengherankan bila pelaku ke jahatan konvensional, setelah keluar LP, makin banyak me nyerap pengetahuan kejahatan, ditambah lagi dengan stigmatisasi masyarakat yang sulit menerima mereka.

disadur dari opini pakar yang berjudul "Legislator, Polri, dan Jenderal Polisi"
Ditulis Oleh : Amien Sunaryadi ; Mantan Wakil Ketua KPK; Perancang Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional 1999 BPKP
Dimuat di Koran KOMPAS, tanggal 14 Mei 2013



Beberapa waktu lalu, ada dua berita yang menarik. Pertama, mulai disidangkannya perkara korupsi Djoko Susilo. Kedua, gagalnya pelaksanaan eksekusi putusan perkara korupsi dengan terpidana Susno Duadji. Kedua jenderal itu sebelumnya adalah jenderal hebat di jajaran Polri.


Menyimak dakwaan penuntut umum KPK terhadap Djoko Susilo menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi telah dilakukan oleh level jenderal. Membandingkan penyidikan KPK dan penyidikan Bareskrim (Polri) terhadap kasus yang sama tersebut, simulator SIM, terdapat isu yang menarik. Terlihat bahwa penyidikan yang dilakukan Bareskrim telah diarahkan untuk tidak menemukan pelaku korupsi yang sebenarnya.


Mengingat para penyidik kunci dari Bareskrim yang melakukan penyidikan tersebut adalah para mantan penyidik KPK, besar kemungkinan arahan penyidikan berasal dari pimpinan para penyidik tersebut, yang tentu saja berlevel jenderal. Ini merupakan petunjuk adanya obstruction of justice—tindakan menghalang-halangi proses penegakan hukum—setidaknya diketahui oleh level jenderal.


Pelaksanaan eksekusi terhadap Susno Duadji telah gagal dilaksanakan eksekutor dari kejaksaan. Kita masih ingat bahwa penyidikan terhadap Susno dulu dilakukan Bareskrim. Artinya, kegagalan eksekusi tersebut juga merupakan bentuk kegagalan penuntasan hasil kerja Bareskrim.


Pernyataan Firdaus Dewilmar selaku koordinator tim eksekutor kejaksaan bahwa upaya mengeksekusi Susno bukan gagal, melainkan digagalkan, merupakan petunjuk adanya obstruction of justice yang dilakukan Polri di tingkat Polda Jawa Barat. Ini pun setidaknya diketahui oleh level jenderal.
Kedua isu tersebut, pengarahan penyidikan dan penggagalan eksekusi, adalah dua isu krusial sebagai obstruction of justice.

Membantah Isu

Disadur dari opini pakar/ tokoh yang berjudul "Membantah Isu"
Ditulis oleh Rhenald Kasali ; Ketua Program MM UI
dimuat di JAWA POS, tanggal 14 Mei 2013


ISU, bisa benar, bisa juga isapan jempol. Pokoknya, selama jadi pembicaraan dan sifatnya tidak "resmi" dia adalah isu. Sulitnya memang menafsirkan arti kata "resmi" itu apa. Kalau sistem pengadilan kita bisa dipercaya, ya tentu saja "resmi" itu adalah putusan pengadilan. Kalau dulu, resmi itu miliknya pemerintah. Jadi, selama pemerintah belum bicara, belum diputuskan (misalnya isu devaluasi atau kenaikan BBM), suatu berita tetaplah isu.

Sekarang isu itu bergantung pada siapa yang bisa dipercaya masyarakat. Apakah Anda lebih percaya pada KPK atau PKS? Apakah Anda lebih menganggap korupsi musuh rakyat, atau Anda pikir itu boleh-boleh saja? Demikian juga soal Eyang Subur. Terserah siapa yang Anda percaya: Polisi, MUI, Adi Bing Slamet, atau Eyang Subur sendiri. Semakin banyak pilihan publik, dia adalah sebuah isu.

Diikat atau Dilepas


Dulu pernah ada isu "lemak babi". Mulanya seorang dosen di Malang yang meneliti soal kandungan yang "diduga" mengandung zat-zat yang diharamkan umat Islam. Dia memeriksa label, bukan membawanya ke lab. Setelah dicek, bila ada kata alkohol, gelatin, dan atau lard, dia mengklarifikasikan produk-produk itu sebagai "diragukan".

Karena publik tak paham arti kata-kata itu, isu cepat beredar. Publik takut mengonsumsi produk-produk tersebut. Tetapi, karena daya ingat manusia terbatas, orang-orang yang mau membantu "mengingatkan" kita membuatnya tertulis. Sayangnya, mereka tak punya sumber aslinya. Jadi, mereka membuat list menurut versi mereka. Bisa dibayangkan distorsinya besar sekali.

Satu orang membuat list, yang lain menambahkan, akhirnya produser-produser mi instan, kecap, margarin, es krim, biskuit, sampai sabun mandi - yang tak ada kaitannya sama sekali dengan isu itu ikut disebut. Mereka dihujat habis, diboikot konsumen, penjualannya merosot dan nyaris gulung tikar, bahkan melakukan PHK.

Lalu apa yang dilakukan masing-masing pemilik perusahaan itu?

Ya, seperti halnya PKS yang menurunkan Fahri Hamzah, mereka semua muncul di depan TV dan koran; membantah. Bedanya, Fahri Hamzah terlihat penuh amarah, seperti mau berkelahi.

Tepatkah langkah itu?

Topik ini pernah saya kaji dalam disertasi saya di Amerika Serikat, dan temuannya sungguh menarik. Pertama, setiap orang yang sedang menjadi sasaran berita "negative" (terlepas ia benar atau salah) adalah "tidak kredibel" (dalam menjawab). Kedua, semakin dibantah, ikatan antara objek isu dengan orang/pihak yang membantah akan semakin kuat. Ketiga, untuk melepaskan ikatan itu, sumber berita yang tengah mendapat "serangan", sebaiknya lebih bijak dalam bercakap. Bahkan, diam itu mungkin lebih baik.

Namun, ada temuan lain. Yaitu, kalaupun mau dijawab, jagalah nama baik Anda. Jawablah dengan manis, dengan wisdom. Ingat lho, kita hidup dalam peradaban kamera. Televisi yang Anda lihat bukan sekadar televisi, melainkan social TV. Dalam peradaban kamera-social TV, khalayak bukan cuma menilai apakah Anda pintar atau bodoh, ganteng atau jelek, melainkan juga gesture Anda. Dari situ kelihatan aura seseorang. Dengan demikian, bila Anda menurunkan "si mulut besar" yang meledak-ledak sebagai juru bicara, dia justru bisa "back fired" dan organisasi kehilangan kepercayaan besar yang sudah dimiliki.

Ayo, berhati-hatilah dalam berbicara. Genit di depan kamera sih bagus. Kalau terlalu "genit", ya susah juga. Ini namanya camera branding, bukan sekadar branding. Dan, strategi auragenic jauh lebih bagus daripada sekadar cameragenic.

Miskinkan Koruptor

Disadur dari opini pakar hukum yang berjudul "Miskinkan Koruptor"
Ditulis Oleh Yenti Garnasih ; Pakar Hukum Universitas Trisakti
dimuat di SUARA KARYA, tanggal 14 Mei 2013


Minimnya upaya penegak hukum untuk mengembalikan uang hasil korupsi, akibat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) "enggan" atau belum sepenuhnya menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Padahal, melalui undang-undang itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menelusuri uang hasil kejahatan, merampasnya, dan memiskinkan koruptor. KPK juga bisa memenjarakan siapa pun yang ikut menikmati atau menguasai hasil korupsi sebagai pelaku pencucian uang, meski mereka tidak terlibat korupsi.


Yang penting lagi, seharusnya KPK selalu menggunakan UU TPPU sejak awal penyidikan bersamaan dengan UU Anti Korupsi. Sayang bahwa perspektif KPK belum ke arah itu. Padahal, polisi justru selalu menerapkan UU TPPU dalam penanganan korupsi. Penerapan UU TPPU dalam penanganan korupsi mutlak harus dilakukan kalau serius mau memenjarakan dan merampas kembali uang negara yang dikorupsi.


Dari buruknya penanganan korupsi di negara kita, bukan lagi waktunya untuk berlambat-lambat dalam bertindak. Bukan lagi harus memikirkan pembuatan undang-undang, tetapi optimalkan dulu aturan hukum yang sudah ada. Profesionalisme dan integrasi penegak hukum harus diperbaiki. Pandangan masyarakat pun perlu dibangun untuk menolak secara keras tindak pidana korupsi serta mengucilkan mereka dengan menghidupkan "budaya malu" apabila terlibat korupsi.

HAL IHWAL PENYITAAN

Disadur dari opini pakar hukum yang berjudul "Hal Ihwal Penyitaan"
ditulis oleh : Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
dimuat di koran KOMPAS, tanggak 15 Mei 2013



Ketegangan antara Partai Keadilan Sejahtera dan Komisi Pemberantasan Korupsi semakin meruncing menyusul tindakan pimpinan PKS yang melaporkan sejumlah oknum KPK ke Mabes Polri.
Laporan tersebut terkait penyitaan oleh KPK terhadap sejumlah mobil yang diduga berhubungan dengan tersangka korupsi impor daging sapi, Luthfi Hasan Ishak, di kantor PKS beberapa waktu lalu. Bagaimana sebenarnya hukum pidana mengatur hal ihwal penyitaan?


Hakikat penyitaan


Penyitaan adalah salah satu upaya paksa—selain penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan surat—yang dapat dilakukan terhadap barang atau benda yang diduga terkait suatu tindak pidana. Penyitaan ini pada hakikatnya dibutuhkan untuk kepentingan pembuktian dalam perkara pidana berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Untuk melakukan penyitaan diperlukan beberapa prosedur, antara lain surat izin ketua pengadilan negeri.


Kecuali dalam hal tertangkap tangan atau keadaan yang sangat perlu dan mendesak, bilamana penyidik harus bertindak dan tak mungkin mendapatkan surat izin terlebih dulu, penyidik dapat menyita sebatas benda bergerak dan wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri untuk memperoleh persetujuan.
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak mengatur khusus persoalan penyitaan. Artinya, jika Polri atau Kejaksaan yang melakukan penyidikan terhadap kasus korupsi, maka yang berlaku adalah prosedur penyitaan sebagaimana dimaksud KUHAP.


Hal ini berbeda dengan penyidikan yang dilakukan KPK. Berdasarkan Pasal 47 UU KPK, penyitaan dapat dilakukan hanya berdasarkan bukti permulaan yang cukup, tanpa izin ketua pengadilan negeri. Bahkan, secara tegas, Pasal 47 Ayat (2) undang-undang a quo menyebutkan bahwa ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mengatur tindakan penyitaan tidak berlaku berdasarkan undang-undang a quo. Konsekuensinya, KPK dapat melakukan penyitaan di luar prosedur yang diatur oleh KUHAP ataupun UU lain.


Lalu, apa saja yang boleh disita terkait tindak pidana korupsi? Dalam konteks teori, benda atau barang yang dapat disita dikualifikasikan ke dalam tiga jenis. Pertama, instrumentum sceleris, yaitu perampasan dalam pengertian penyitaan terhadap benda atau barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, objectum sceleris, yakni perampasan dalam pengertian penyitaan terhadap obyek yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Ketiga, fructum sceleris, yaitu penyitaan terhadap hasil tindak pidana korupsi.


Terkait fructum sceleris, seharusnya harta benda atau barang yang disita punya nilai yang sama jumlahnya dengan uang yang diduga dikorup. Tegasnya, penyitaan tidak boleh melebihi nilai uang yang diduga dikorup. Akan tetapi, sering kali KPK melakukan penyitaan terhadap harta benda atau barang melampaui nilai uang yang diduga dikorup oleh tersangka. Apakah hal ini dibolehkan? Secara teoretis tentunya tindakan KPK tidak dibenarkan, tetapi UU Pemberantasan Tipikor berkata lain.


Merujuk Pasal 38 B berikut penjelasannya dalam undang-undang a quo, secara implisit dimungkinkan penyitaan terhadap harta benda melebihi nilai yang diduga dikorup. Berdasarkan pasal tersebut, tersangka diwajibkan membuktikan harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Dengan demikian, secara hukum, tindakan KPK yang menyita harta benda melebihi nilai yang diduga dikorup adalah sah.


Upaya hukum atas penyitaan


Selanjutnya, apakah ada upaya hukum terhadap penyitaan yang salah prosedur atau penyitaan yang dilakukan terhadap barang atau benda yang sama sekali tak ada kaitan dengan perkara pidana yang sedang diproses? Salah satu kelemahan KUHAP adalah tidak adanya upaya hukum terhadap upaya paksa berupa penggeledahan, penyitaan, ataupun pemeriksaan surat. Upaya hukum terhadap upaya paksa berdasarkan KUHAP hanya dimungkinkan terkait sah-tidaknya penangkapan atau sah-tidaknya penahanan yang merupakan kompetensi praperadilan, selain penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dan gugatan ganti rugi serta rehabilitasi.


Kembali pada ketegangan antara PKS dan KPK, ada beberapa catatan penulis. Pertama, tindakan pimpinan PKS yang melaporkan oknum KPK ke Mabes Polri terkait penyitaan dapat dibenarkan secara hukum dengan mengingat KUHAP tak menyediakan upaya hukum terhadap tindakan penyitaan yang tak sesuai prosedur atau penyitaan yang dilakukan terhadap barang atau benda yang sama sekali tak ada kaitan dengan perkara pidana yang sedang diproses. Lazimnya, pasal yang akan disangkakan Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.


Kedua, pasal yang disangkakan (Pasal 335 KUHP) sebenarnya pasal keranjang sampah yang menurut memorie van toelichting (sejarah pembentukan KUHP di Twee de Kammer Belanda) hanya diperuntukkan bagi daerah jajahan. Dalam KUHP aslinya di Belanda (Wetbook van Strafrecht) pasal tersebut telah dihapus setelah Belanda memperoleh kemerdekaan dari Perancis. Ironisnya, hampir 68 tahun Indonesia merdeka, pasal tersebut masih diberlakukan.

Ketiga, jika KPK merasa penyitaan yang dilakukan sudah sesuai prosedur, untuk menghindari polemik ini KPK dapat melaporkan oknum PKS yang menghalang-halangi penyitaan dengan pasal yang berkaitan dengan obtruction of justice atau tindakan menghalang-halangi proses hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor.

KPK: Antara Hukum dan Politik

disadur dari opini pakar/ tokoh yang berjudul KPK : Antara Hukum dan Politik
Ditulis oleh Ichsanuddin Noorsy ; Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
dimuat di Koran SUARA KARYA, tanggal 16 Mei 2013



Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu menegaskan lembaganya tidak mau diseret-seret ke politik. Bahkan, dengan percaya diri, KPK menyatakan keputusan politik berbeda dengan keputusan hukum.


Argumen KPK seperti itu mengundang pertanyaan mendalam sekaligus memberi pesan kepada publik tentang sikap KPK. Apa yang dimaksud KPK tidak mau diseret-seret ke kancah politik, tidak dimengerti. Semua kasus korupsi berhubungan dengan penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di AS dan Singapura sekalipun, korupsi yang menyogok pihak penguasa selalu menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan pihak yang disuap.


Pertanyaannya sekarang apakah pihak yang berkuasa itu berani menghadapi kenyataan bahwa ada unsur yang mencederai nama baik partai dan merusak kepercayaan publik akibat tindakan korupsi? Tentu tidak! Apalagi, kalau partai itu menggunakan slogan cerdas, bersih, dan santun. Apakah dengan alasan tidak mau diseret ke kancah politik, lantas KPK menjadi independen terhadap kekuasaan? Itu tidak juga.


Dalam debat di sebuah radio swasta yang disebarluaskan secara nasional, saya mengatakan ketidakinginan diseret ke kancah politik itu justru menunjukkan KPK masuk ke ranah politik melalui politik penyelidikan dan penyidikan. Maksudnya, dengan mengajukan pertanyaan tertentu disebabkan tujuan tertentu, maka jawaban terperiksa bisa menunjukkan empat hal.


Pertama, diajukan pertanyaan yang memenuhi kepentingan politik sehingga jawaban tidak menemukan unsur tindak pidana korupsi atau pencucian uang. Kedua, diajukan pertanyaan tertentu yang bermaksud tidak menyinggung penguasa. Jawabannya, ditemukan bukti tapi tidak memadai atau dikenal dengan bukti yang sumir. Ketiga, pertanyaan terfokus pada tindak pidana korupsi, tapi ada mata rantai yang hilang antara subjek hukum dan objek hukum. Keempat, penyelidikan sejak awal memang dimaksudkan sebagai konsumsi politik sehingga sangat tergantung pada subjektivitas penguasa.


Oleh sebab itu, penegak hukum diminta untuk tidak memakai kacamata kuda yuridis formal. Benar bahwa persoalan pidana hanya berpijak pada hukum positif. Tetapi, saat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta vonis tidak menggunakan hati nurani yang tidak bisa membohongi setiap pribadi, kecuali memang sengaja diabaikan, maka hukum gagal mencerminkan dan menumbuhkembangkan rasa keadilan. Di sana hukum ditransaksikan, baik secara material (uang dan kekayaan) maupun jabatan.


Sekadar mengingatkan, perilaku kekuasaan dan penegak hukum seperti itu akan berakhir secara tidak menyenangkan, apalagi menenteramkan. Penguasa dan penegak hukum sepantasnya berupaya agar jabatannya memberi martabat dan pangkatnya mampu membangun rasa hormat. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka begitu mendalamnya kerusakan moral kekuasaan.


Karena, saya menyerahkan banyak dokumen ke penegak hukum pada berbagai kasus terindikasi korupsi sejak 2000 hingga 21 November 2008, baik ke Kejaksaan Agung maupun ke KPK. Maka politik penyelidikan sangat menentukan tinggi rendahnya muatan rasa keadilan masyarakat yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.


Begitu proses penyidikan dan proses di pengadilan hingga vonis, sangat tergantung pada kedalaman dan atau kedangkalan adopsi dan adaptasi rasa keadilan masyarakat. Makin dalam muatan kepentingan politik penguasa dan subjektivitas pemeriksa, makin dangkal rasa keadilan masyarakat diadopsi dan diadaptasi.

Apalagi, jika penegak hukum berkilah-kilah pada istilah-istilah hukum yang muatannya justru mengaburkan yuridis filosofis dan menenggelamkan yuridis sosiologis. Masyarakat akan merasakan bahwa rekayasa hukum sedang dilakukan demi kredibilitas penguasa.

Asas Kemanusiaan dan Asas Pengayoman

disadur dari opini pakar/ tokoh yang berjudul "Asas Kemanusiaan dan Asas Pengayoman"
Ditulis oleh Taufiequrahman Ruki ; Inspektur Jenderal Polisi (Purn);
Anggota Komisi III Hukum DPR dan Ketua KPK 2003-2007
dimuat di koran KOMPAS, tanggal 17 Mei 2013



Pembentukan suatu UU pada hakikatnya harus mampu memenuhi tujuan hukum, yaitu terciptanya kepastian, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat.


Materi muatan UU harus mengatur obyek yang diatur di dalamnya secara jelas sehingga menjadi suatu panduan, yang tidak multi-interpretasi: UU juga harus menjadi media masyarakat untuk memperoleh rasa keadilan. Pembentukan UU harus mempertimbangkan kebutuhan di masyarakat sehingga—pada saat lahirnya—masyarakat merasakan manfaat UU tersebut.


Karena itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mensyaratkan, pembentukan suatu UU harus mencerminkan sejumlah asas, di antaranya asas-asas yang dipersyaratkan, yakni asas kemanusiaan dan asas pengayoman.


Hal baru yang dituangkan dalam RUU Hukum Acara Pidana (HAP) yang tak ada dalam KUHAP (UU No 8/1981) adalah perlindungan hak korban. Ini ditegaskan dalam Pasal 5. Selanjutnya hak-hak korban diatur khusus dalam Pasal 133 dan 134 (Bab XI Bagian Ketiga Putusan Pengadilan tentang Ganti Kerugian terhadap Korban).


Di sini hakim diharuskan memutuskan terpidana untuk membayar ganti kerugian materiil kepada korban. Namun, RUU HAP tidak mengatur bagaimana cara hakim menentukan besarnya ganti kerugian. Apakah pihak (keluarga) korban dapat mengintervensi peradilan pidana atas perkara yang terkait, atau pihak (keluarga) korban mengajukan perhitungan nilai kerugian kepada jaksa penuntut umum, selanjutnya diajukan sekaligus dalam surat dakwaan. RUU HAP belum mengatur secara jelas.


Bertolak belakang dengan pengaturan hak korban yang hanya diatur dalam tiga pasal, hak tersangka dan terdakwa dapat porsi pengaturan yang jauh lebih besar, diatur dalam tiga bab: Bab V (Pasal 88-102); Bab VI (Pasal 103-108); Bab XII (Pasal 128-132). Perbandingan secara kuantitas jumlah pasal ini menunjukkan betapa RUU HAP lebih memerhatikan hak tersangka/terdakwa dibanding hak korban. Akan lebih baik bagi tim perumus RUU HAP merumuskan hak-hak tersangka/terdakwa dengan korban tersebut secara proporsional.

Perdangan Bebas dan Derita Buruh

Disadur dari opini pakar yang berjudul "Perdagangan Bebas dan Derita Buruh"
ditulis oleh:  Rachmi Hertanti ; Manager Riset & Monitoring Indonesia for Global Justice; Peneliti di ‘Tim Garuda Gugat WTO’
yang dimuat di IndoPROGRESS, tanggal16 Mei 2013


RIBUAN buruh kembali turun ke jalan. Aksi massa buruh ini tampaknya akan terus menjadi pemandangan rutin. Masih lekat dalam ingatan, ketika Januari 2012, para buruh dari kawasan-kawasan industri Kabupaten Bekasi, menyeruak memasuki jalan tol Cikampek di kawasan Cikarang. Mereka memblokir jalan tol, dan sanggup melumpuhkan aktivitas ekonomi di Jabodetabek. Aksi ini merupakan wujud luapan kemarahan para buruh ketika Penetapan Upah Minimum Kabupaten Bekasi, digugat ke meja hijau oleh pihak pengusaha. Para kapitalis itu enggan melaksanakan kenaikan upah yang telah ditentukan.

Cerita serupa kembali berulang awal 2013. Kali lokasi sedikit bergeser ke wilayah Jakarta Raya. Saat disepakati kenaikan upah minimum hingga 40 persen, kelompok pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menolak menaikan upah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Gubernur DKI Jakarta. Padahal keputusan gubernur itu sudah melalui proses Dewan Pengupahan, dimana Apindo juga terlibat di dalamnya. Akibatnya, ribuan buruh turun kembali turun ke jalan melawan kebijakan upah murah.

Tetapi aksi buruh tak hanya berlangung di pusat-pusat kekuasaan di ibukota negara. Rangkaian aksi itu terus menjalar ke pusat-pusat pemerintahan daerah kota dan kabupaten yang memberlakukan kebijakan upah murah. Ini berarti masalah perburuhan masih terus jauh dari selesai. Celakanya, pemerintah sepertinya belum melihat persoalan buruh sebagai prioritas. Baru setelah buruh marah-marah, lalu pemerintah membuka mata dan kupingnya. Belakangan, memang Presiden menegur para menterinya segera menyelesaikan persoalan buruh. Namun, teguran tanpa realisasi kebijakan yang berpihak pada kepentingan buruh itu tak lebih dari pencitraan semata. Persis kebiasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama ini.

Yang juga lucu dari respon pemerintah selama ini, persoalan upah selalu dijawab dengan mengakomodir kepentingan pengusaha. Misalnya, ketika buruh menuntut kenaikan upah, jawaban pemerintah justru menunda kenaikan upah minimum. Awal april 2013, Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, mengeluarkan usul mengejutkan. Ketua Partai Amanat Nasional (PAN), yang akan mencalonkan diri menjadi Presiden tahun depan ini, menyarankan upah buruh ditentukan Perusahaan. Hatta menilai itu lebih adil bagi pengusaha sesuai skala usahanya. Jika usulan gila Hatta Rajasa ini dijadikan kebijakan negara, itu artinya negara lepas tanggung jawab atas persoalan kesejahteraan buruh. Amanat konstitusi agar negara melindungi warga negara, dicabut melalui usulan ini. Nasib buruh diserahkan kepada mekanisme pasar yang impersonal, yang tujuan utamanya adalah meraih keuntungan setinggi-tingginya tanpa batas.

Selasa, 07 Mei 2013

Terpuruknya Kesadaran Hukum dalam Masyarakat

Disadur dari Opini yang berjudul Terpuruknya Kesadaran Hukum dalam Masyarakat
ditulis oleh James Marihot Panggabean ; Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Anggota Satjipto Rahardjo Institute
Dimuat di Koran MEDIA INDONESIA, 07 Mei 2013


HARI demi hari masyarakat Indonesia selalu diberikan suatu pertunjukan yang sangat merusak pengetahuan. Selain itu, juga merusak kehidupan generasi muda dan masyarakat Indonesia dengan begitu banyaknya warga negara Indonesia baik warga sipil maupun aparat penegak hukum yang terjerat kasus hukum. Ada kasus korupsi yang dilakukan anggota legislatif, bentrokan oknum polisi dan TNI, seorang perwira TNI dan polisi menggunakan narkoba, dan sebagainya.


Suatu hal yang sangat aneh terjadi di negara hukum seperti Indonesia ini. Padahal sudah seharusnya aparat itu menegakkan dan menjalankan hukum dengan baik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Apa yang salah sehingga hal demikian dapat terjadi?


Jika contoh-contoh yang disebutkan di atas, yang telah terjadi di negeri ini secara terus-menerus, bukankah hal itu akan memberikan pelajaran atau pengetahuan yang buruk kepada generasi muda? Dalam pandangan penulis, hal itu pula yang merupakan salah satu permasalahan mengapa tujuan dari hukum sampai saat ini tidak pernah tercapai di negeri ini. Penulis berpendapat permasalahan tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran hukum dalam menaati aturan hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis untuk mencapai tujuan bersama dalam perlindungan dan kesejahteraan.

Konsekuensi Negara Hukum pada Kekuasaan Kehakiman

Dalam UUD 1945 pasal 3 secara jelas disebutkan bila Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Konsekuensinya untuk menegakkan hukum tersebut diperlukan organ organ yang bekerja secara profesional di bidang hukum. Profesi yang paling menonjol dalam penegakan hukum adalah Hakim. Hal ini dikuatkan dalam Undang Undang no. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 1 yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia.”

Namun sangat ironis, tulang punggung penegakan hukum yaitu Hakim di Indonesia seringkali terjerat permasalahan kode etik dan pidana. Padahal sikap dan perilaku Hakim Indonesia didasarkan pada prinsip prinsip yang apabila direnungi sangat Indah. prinsip prinsip tersebut dijabarkan dalam  KEPUTUSAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL NO. 047/KMA/SKB/IV/2009 atau 02/SKB/P.KY/IV/2009. Tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim adalah

a. berperilaku adil; berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.

b. berperilaku jujur; bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan.

c. berperilaku arif dan bijaksana; bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasan-kebiasan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun

d. bersikap mandiri; bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku.


e. berintegritas tinggi; bermakna memiliki sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan.

f. bertanggung jawab;bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.

g. menjunjung tinggi harga diri; bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang.

h. berdisiplin tinggi; bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan.

i. berperilaku rendah hati; bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan.

j. bersikap profesional.bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.

Menciptakan seorang hakim memang tidak mudah, seperti kata Nabi yang menyatakan 1 Hakim masuk Surga dan 2 lainnya masuk Neraka.
Namun, semoga kedepannya SUpremasi Hukum di Indonesia yang ditandai dan dipelopori dengan bagusnya kualitas Hakim terwujud di esok hari.

Kamis, 02 Mei 2013

Ekseskusi Putusan Pengadilan yang Batal demi Hukum

  Disadur dari opini pakar yang berjudul "Eksekusi Putusan Pengadilan yang Batal demi Hukum"
Ditulis oleh Andi Hamzah ; Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti
dimuat di MEDIA INDONESIA, 29 April 2013


Dalam rangka eksekusi mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen (Purn) Susno Duadji, kalangan akademisi dan masyarakat menjadi ramai mempersoalkan antara keadilan dan kepastian hukum. Dengan penolakan permohonan kasasi oleh Mahkamah Agung (MA), berarti putusan menjadi tetap (in kracht van gewijsde). Tidak ada lagi upaya hukum biasa yang dapat ditempuh. Eksekusi harus dilaksanakan.


Upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali dapat dilakukan, tetapi ada persyaratan berat untuk itu. Harus ada novum atau keadaan baru yang tidak diketahui pada waktu putusan dulu. Andai kata diketahui, putusan tidak akan serupa dengan pu tusan yang sekarang. An dai kata hal itu diketahui, putusan akan lain menjadi salah satu: bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau pidana yang lebih ringan dari semula.


Putusan bebas jika perbuatan yang didakwakan penuntut umum tidak terbukti dan meyakinkan hakim. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (on slag van alle rechtsvervolging) jika perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi ada dasar pembenar (tidak melawan hukum) atau dasar pemaaf (tidak ada kesalahan).


Tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika pada waktu persidangan dulu perkara sudah lewat waktu (verjaard), ne bis in idem, delik aduan tidak ada pengaduan, anak di bawah umur, dan hukum pidana Indonesia tidak berlaku untuk delik itu. Dipidana lebih ringan dari semula jika putusan salah kualifikasi.
Misalnya, dipidana 20 tahun penjara karena melanggar Pasal 340 KUHP (pembunuhan yang telah dipikirkan lebih dulu/met voorbedachten rade), ternyata pembunuhan biasa ex Pasal 338 KUHP (pembunuhan spontan) yang maksimumnya 15 tahun penjara sehingga pidana semula 20 tahun penjara harus diturunkan menjadi 15 tahun ke bawah.


Alasan lain untuk memohon peninjauan kembali ialah putusan saling bertentangan. Misalnya dalam hal turut serta (medeplegen) yang satu dipidana dan yang lain bebas, yang dalam pertimbangan hakim terbukti keduanya bekerja sama. Alasan yang ketiga jika putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Alasan ketiga itu tidak ada dalam KUHAP Belanda, yang ditambahkan penyusun RUU KUHAP dulu. Dengan demikian, dalam RUU KUHAP yang sudah di tangan DPR, alasan ketiga itu tidak dicantumkan.

Kematian Profesionalisme

disadur dari Opini pakar yang berjudul "Kematian Profesionalisme"
ditulis oleh Bambang Satriya ; Guru Besar Ilmu Hukum di Stiekma, Dosen Luar Biasa Universitas Ma-Chung, Malang
dimuat di MEDIA INDONESIA, 30 April 2013


Menurut Von Savigny hukum yang adil hanya ada dan bisa ditegakkan di negara yang demokratis. Dalam negara yang demokratis, hukum dibuat atau diangkat dan diberlakukan sebagai respons atas aspirasi rakyat atau wajah kesejatian rakyat. Masalahnya, apakah memang masih ada hukum di negara ini yang benar-benar mencerminkan kesejatian suara rakyat?


Kasus Susno Duadji, yang menolak ditangkap atau dipenjarakan, dan bahkan mendapatkan perlindungan Polri, merupakan sampel kasus yang menunjukkan bahwa wajah hukum menjadi ambigu, multitafsir, dan bahkan tak menyuarakan aspirasi rakyat secara egaliter akibat perilaku komponen penegak hukum.
Mereka itu tak menempatkan hukum sebagai supremasi normatif yang harus digunakan sebagai pijakan bernegara dan bermasyarakat, melainkan sebagai instrumen yang membenarkan asumsi dan kepentingannya. Hukum bahkan sebatas diperlakukan sebagai logika dan teori-teori untuk melicinkan jalan dalam membela atau melindungi siapa pun yang dinilai menguntungkan mereka.


Mereka itu termasuk orangorang yang sudah didiklat, dilatih, atau dimasukkan dalam kawah candradimuka proses pembelajaran ilmu hukum, yang mesti paham dan terlatih tentang bagaimana seharusnya mewujudkan ketaatan atau kepatuhan pada norma yuridis.


Hukum haruslah mencerminkan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hukum yang gagal ditunjukkan secara empiris dan memanusiakan oleh lembaga peradilan merupakan hukum yang menyakiti atau mendehumanisasi rakyat. Hukum yang demikian memang ada dan bahkan dilestarikan oleh suatu rezim tertentu, meskipun eksistensinya menyakiti rakyat.


Idealisme itu menunjukkan bahwa peradilan mempunyai tugas mulia dalam memenuhi dan mewujudkan keinginan masyarakat. Keinginan masyarakat bukan hanya sebatas bagaimana perkara bisa ditangani secara cermat dan efektif oleh lembaga peradilan, tetapi juga ditangani lembaga peradilan yang kredibilitas moral dan profesionalismenya terjamin.

Menindas Esensi Keadilan dalam Kasus Susno

disadur dari opini yang berjudul "Menindas Esensi Keadilan dalam Kasus Susno"
ditulis oleh : Subagyo ; Advokat dan Pekerja Sosial di Bidang Hukum
di muat di JAWA POS, 01 Mei 2013

Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) memutuskan bahwa Komjen Pol (pur) Susno Duadji terbukti bersalah dalam kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan pilkada Jawa Barat. Mantan pembesar Polri itu divonis 3,5 tahun penjara. Kini Susno dinyatakan sebagai buron oleh kejaksaan setelah membangkang dari eksekusi.

Prof Yusril Ihza Mahendra dan "pasukan" Hizbullah dari Partai Bulan Bintang membantu pasukan polisi dalam "mengamankan" Susno dari jaksa eksekutor. Susno memasang dua dalih: Pertama, putusan pengadilan tidak mencantumkan perintah untuk tetap menahan Susno, sebagaimana ditentukan pasal 197 ayat (1) huruf 'k' KUHAP, berakibat putusan batal demi hukum. Kedua, pengadilan keliru dalam menulis nomor putusan kasus Susno.

Upaya penggagalan eksekusi kasus korupsi itu semestinya membuat lebih malu dunia hukum. Apalagi, alasan yang dikemukakan terhadap kelalaian mencantumkan pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP tersebut. Ketentuan itu telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya nomor 69/PUU-X/2012.

MK memutuskan: "Pasal 197 ayat (2) huruf 'k' Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum." Artinya, tidak dicantumkannya perintah untuk tetap menahan terdakwa dalam suatu putusan hakim tidak menyebabkan putusan tersebut batal demi hukum.

Latar belakang putusan MK tersebut adalah adanya Putusan MA No 1444K/Pid.Sus/2010 tanggal 8 Oktober 2010 dalam kasus eksploitasi kawasan hutan di Kalsel dengan terpidana Parlin Riduansyah, yang putusannya juga tidak mencantumkan perintah agar Parlin tetap ditahan. Prof Yusril dan kawan-kawan selaku kuasa hukum Parlin mengajukan uji materiil ketentuan pasal 197 KUHAP tersebut ke MK. Namun, MK menolak permohonan tersebut dan MK membuat tafsir konstitusional terhadap pasal tersebut. Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP justru dieliminasi oleh MK selama ketentuan itu diartikan sebagai penyebab batalnya putusan pengadilan.

Mengapa Prof Yusril yang pernah berproses dalam terbitnya putusan MK tersebut seolah-olah tutup mata? Sebagai praktisi hukum, bolehlah saya mengemukakan pertanyaan mendasar: "Apakah untuk menyatakan batalnya suatu putusan pengadilan, boleh dilakukan dengan cara penghakiman sendiri, tanpa memerlukan suatu putusan pengadilan yang berwenang membatalkan putusan pengadilan yang dianggap batal tersebut?"

Jika setiap orang bisa membatalkan putusan pengadilan yang dianggapnya batal, kacaulah hukum di negara ini. Mereka lalu membangkang dari eksekusi dengan mengerahkan orang banyak. Perbuatan pelanggaran hukum semacam itu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Termasuk aparat kepolisian yang membekinginya.

Dalam kajian-kajian ilmu hukum di kampus-kampus selalu diajarkan tentang kenyataan ketidaksempurnaan hukum yang tertulis, sehingga membutuhkan para penegak hukum yang baik guna menyempurnakan hukum. Jika praktiknya ternyata sebaliknya: siapa profesor yang mengajarkan untuk menjadikan ketidaksempurnaan hukum tertulis itu sebagai dalih untuk melindungi para penjahat negara?

Orang mungkin boleh curiga terhadap kekeliruan penulisan nomor putusan dalam kasus Susno, dalam korelasinya dengan praktik jahat mafioso hukum di negara ini. Namun, kekeliruan dalam menuliskan nomor putusan itu, disengaja atau tidak sengaja, bukanlah hal yang substansial untuk menggugurkan materi perkara yang penting, yakni kasus korupsi dalam kasus Susno dan kasus lain.

Jika Anda hendak menelepon seseorang, ternyata keliru memencet nomor teleponnya, Anda bisa meminta maaf kepada orang yang keliru itu, lalu mengulanginya dengan memencet nomor yang benar. Urusan selesai. Semua orang bisa memahami bahwa keliru dalam menuliskan nomor itu dapat dikoreksi menjadi lebih benar. Kami yang biasa praktik di pengadilan biasa mengalami kekeliruan begitu, dan dapat dikoreksi. Itu disebut clerical error yang tidak mengubah substansi perkaranya.

Jika cara pikir mazhab formalis sempit diikuti, siap-siap ada banyak penjahat yang tidak dapat dihukum hanya dengan alasan "salah ketik". Ini sebuah alasan yang sama sekali tidak keren.

Prof Satjipto Rahardjo almarhum, pakar hukum yang dikenal berintegritas, bahkan memandang perlunya "menabrak" formalitas-formalitas yang bersifat menghalang-halangi dalam upaya menegakkan keadilan substansial. Dari perspektif praktik hukum, M. Yahya Harahap, mantan hakim agung, yang buku-bukunya dijadikan pedoman para mahasiswa dan praktisi hukum itu, juga menekankan agar soal "salah ketik" tidak dijadikan alasan untuk meruntuhkan substansi perkara.

Mazhab pemikiran formalis yang mencari celah kekhilafan tidak esensial adalah musuh keadilan itu sendiri. Coba tanya ke siapa pun, apakah para penjahat negara boleh dibebaskan hanya dengan alasan "salah ketik" dan karena alasan-alasan formal? MK sebagai lembaga penafsir konstitusi sudah menjawab "tidak"!

Bermain main dengan Keadilan

Disadur dari opini pakar yang berjudul "Bermain-main dengan Keadilan"
Ditulis oleh : Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
dimuat di KORAN SINDO, 01 Mei 2013


Eksekusi Susno Duadji membuat penegakan hukum menjadi cibiran masyarakat, terutama masyarakat kalangan bawah, apalagi mereka yang tuna apalagi yang tidak paham hukum di mana tanpa resistensi menurut saja digiring ke dalam penjara.

Eksekusi bergantung pada bunyi putusan pengadilan dengan susunan majelis terdiri sekurang- kurangnya tiga orang hakim. Mengapa harus tiga dan untuk tipikor harus lima anggota majelis dan satu ketua, sudah tentu agar putusan ditetapkan secara cermat dan memenuhi kepastian hukum dan keadilan baik bagi terdakwa maupun bagi masyarakat selaku pembayar pajak.

Majelis hakim sejak sidang pertama sampai sidang pembacaan putusan wajib mengikuti ketentuan hukum acara (KUHAP) dan sekali-kali hakim tidak boleh mengabaikan pasal dan ayat suatu undang-undang betapapun sepele dalam pandangan hakim. Begitu juga hakim tidak boleh memberikan tafsir lain selain yang ditulis dan dicantumkan dalam KUHAP.

Tugas majelis hakim agung selaku judex iuris berdasarkan KUHAP antara lain apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan sebagaimana mestinya (Pasal 253 ayat 1 huruf a) dan kepada majelis hakim agung juga diberikan wewenang menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa (Pasal 253 ayat 5 a).

Ada tiga pasal dalam KUHAP yang memerintahkan hakim untuk memutuskan terdakwa ditahan atau tetap ditahan atau dibebaskan (Pasal 190, Pasal 193, dan Pasal 253 ayat (5) a). Namun, perintah yang bersifat opsional dalam ketiga pasal tersebut dikunci dalam Pasal 197 ayat (1) khusus huruf k dan merupakan salah satu persyaratan jika tidak dipenuhi, putusan batal demi hukum sekalipun putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kita semua mengetahui benar apa yang menjadi latar belakang dari eksistensi Pasal 197 ayat (2) KUHAP karena memorie van toelichtingtidak jelas, hanya menjelaskan kekeliruan penulisan atau pengetikan dalam putusan tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum. Putusan MK RI untuk pengajuanujimateri Pasal297ayat (1) huruf k dan ayat (2) mengenai putusan batal demi hukum hanya berlaku prospektif. Lagipula soal tafsir norma undang-undang tidak ada kaitan langsung dengan kerugian konstitusional melainkan merupakan penerapan suatu undang-undang.

Banyak Jalan Menuju Senayan

disadur dari opini pakar/ tokoh yang berjudul "Banyak Jalan Menuju Senayan"
ditulis Oleh: Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
 Dimuat di KORAN SINDO, 01 Mei 2013


Situasi politik Indonesia semakin riuh seiring masa pendaftaran calon anggota legislatif (caleg). Wabah “mendadak nyaleg” pun terjadi di mana-mana. Menjadi anggota DPR maupun DPRD masih memesona banyak pihak sehingga tak sedikit warga yang lari tunggang-langgang mengejar “mobil sewaan” lima tahunan.

Pemilu pun berubah fungsi dari mekanisme konsolidasi demokrasi menjadi “pasar lelang” suara yang kerap menegasikan kualitas bahkan rasionalitas. Dengan mudah kita menemukan sejumlah nama caleg “karbitan” yang diusung partai bukan karena prosedur kaderisasi melainkan karena pertimbangan dinasti, struktur sosial tradisional, politik patron-client, dan beragam modus transaksional.

DPR untuk Siapa?

Dari pemilu ke pemilu, pemilih kerap terjerembab pada kubangan yang sama saat ritus demokrasi lima tahunan menyodorkan sejumlah nama untuk menjadi wakil mereka. Pemilih dihadapkan pada pengulanganpengulangan cara kerja lama yakni model kerja serabutan dari partai saat mendistribusikan dan mengalokasikan sejumlah nama untuk menjadi caleg.

Ruh DPR sebagai wakil rakyat sudah lama menguap dari harapan karena sejak pencalegan partai kerap abai dengan historisitas sejumlah orang yang akan ditahbiskan sebagai wakil rakyat itu. Dalam ranah akademis terdapat perbedaan mendasar berkenaan dengan konsep perwakilan versi John Locke (1632- 1704) dan Montesquieu (1689- 1755).

Locke dalam karyanya, Two Treatises of Government, melihat betapa pentingnya pemisahan kekuasaan dan dia membaginya menjadi legislatif, eksekutif, dan federatif. Legislatif merupakan lembaga perwakilan masyarakat. Kendati demikian, masyarakat yang dimaksud bukan masyarakat umum, melainkan kaum bangsawan.

Selasa, 30 April 2013

Kealpaan Kognitif dalam Putusan Kasasi Susno Duadji

Disadur dari Opini pakar yang berjudul Kealpaan Kognitif dalam Putusan Kasasi Susno Duadji
ditulis oleh Reza Indragiri Amriel ; Pakar Psikologi Forensik, Konsultan UNODC dan
Indonesia Legal Round Table, Penerima Asian Public Intellectual Fellowship
dimuat di KORAN SINDO, 29 April 2013


Kontroversi seputar amar putusan kasasi pada kasus Susno Duadji berpusat pada Pasal 197 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada butir k di bawah ayat tersebut, tercantum bahwa surat putusan pemidanaan memuat ”perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”.

Dilanjutkan pasal yang sama ayat 2, konsekuensi dari tidak dicantumkannya perintah tersebut adalah ”putusan batal demi hukum”. Dengan merujuk pada Pasal 197 KUHAP, publik hampir bisa dipastikan mempertanyakan integritas atau moralitas majelis hakim yang memberikan putusan kasasi atas kasus Susno. Fenomena atas amar putusan kasasi Susno sebenarnya juga membuka ruang bagi spekulasi tentang psikologi kognitif hakim.

RUU Aparatur Sipil Negara

Disadur dari Opini yang berjudul "RUU Aparatur Sipil Negara" ditulis Oleh
 Eko Prasojo ; Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi
KOMPAS, 29 April 2013


Sejak dua tahun lalu, DPR RI bersama dengan pemerintah membahas Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara. RUU tersebut merupakan inisiatif komisi II DPR yang diharapkan menjadi salah satu fondasi reformasi birokrasi, khususnya di bidang sumber daya manusia.

Sejak awal pembahasannya hingga kini, RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) menimbulkan berbagai macam pro dan kontra. Sangat dipahami karena substansinya menyangkut perubahan sistem, manajemen, dan budaya pegawai negeri sipil (PNS) yang jumlahnya saat ini 4,45 juta. Apa sebenarnya tujuan dasar RUU ASN dan bagaimana tujuan-tujuan itu akan dicapai?


Melihat Persoalan Dasar


Salah satu pengungkit terbesar dalam reformasi birokrasi adalah perubahan SDM aparatur. Hal itu memang tidak mudah karena perubahannya tidak hanya meliputi sistem, struktur, dan manajemen SDM, tetapi juga perubahan budaya, cetak pikir, dan perilaku birokrasi itu sendiri. Ada beberapa masalah dasar dalam SDM birokrasi Indonesia.

RUU PILKADA DAN PEMDA

disadur dari opini yang berjudul "RUU Pilkada dan Pemda"
ditulis Oleh: Ramlan Surbakti ; Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga
dimuat di Koran KOMPAS, 29 April 2013

DPR dan pemerintah dewasa ini tengah membahas RUU Pilkada, tetapi sama sekali tidak dikaitkan dengan efektivitas pemerintahan daerah. Kalau demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh dan/atau oleh yang mewakili rakyat, dan untuk rakyat, RUU Pilkada yang mengatur sistem pemilihan umum kepala daerah perlu didesain demi efektivitas pemerintahan daerah.


Pemerintahan daerah yang efektif ditandai sekurang-kurangnya oleh dua hal. Pertama, kebijakan publik daerah yang disepakati oleh kepala daerah dan DPRD sesuai aspirasi warga daerah.


Kesesuaian antara kebijakan publik yang ditetapkan dan aspirasi warga daerah terlihat pada dua tataran. Anggota DPRD dan pasangan calon kepala daerah terpilih dalam pemilu berarti alternatif kebijakan publik yang ditawarkan pada masa kampanye sesuai dengan aspirasi sebagian terbesar warga daerah. Pada tataran berikutnya, proses pembahasan rencana kebijakan publik itu melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat.