Selasa, 17 September 2013

Optimalisasi Peran Penyangga Ketahanan Pangan

Disadur dari opini pakar yang berjudl : Optimalisasi Peran Penyangga Ketahanan Pangan
Ditulis Oleh Aviliani ; Pengamat Ekonomi Indef
Dimuat di MEDIA INDONESIA, 13 November 2012

BADAN Urusan Logistik (Bulog) sudah ada lebih dari 40 tahun. Pada saat itu pendirian Bulog lebih dilandasi oleh tujuan politis, yaitu mendukung eksistensi pemerintah melalui program ketahanan pangan, khususnya stabilisasi hanya harga beras. Namun, kemudian fungsinya berkembang menjadi stabilisasi harga untuk beberapa komoditas yang dianggap berkaitan dengan kebutuhan pangan pokok masyarakat yang mampu meningkatkan mutu gizi.

Di dalam pelaksanaannya Bulog mengelola persediaan beras, gula, gandum, terigu, kedelai, pakan, dan bahan pangan lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam rangka menjaga kestabilan harga bahan pangan bagi produsen dan konsumen serta memenuhi kebutuhan pangan sesuai kebijaksanaan umum pemerintah. Ketika itu, masyarakat merasakan harga beli pangan lebih terjangkau dan tidak mengalami gejolak harga yang tinggi sehingga mereka merasa lebih nyaman hidup di zaman itu.


Di sisi petani, mereka juga merasakan bahwa kehidupan yang lebih baik karena punya jaminan harga, ketersediaan bibit, pupuk, dan kebutuhan sarana pertanian lain, serta keberadaan penyuluh yang mampu membantu petani menjaga kualitas.
Namun pada saat krisis ekonomi 1997/1998, peran dan fungsi Bulog terus mengalami perubahan dan menjadi sangat terbatas jika dibandingkan dengan sebelumnya. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 19 Tahun 1998, komoditaskomoditas pangan penting yang ditangani Bulog kembali dipersempit seiring dengan kesepakatan yang diambil pemerintah dengan pihak International Monetary Fund (IMF) yang tertuang dalam letter of intent (LoI).


Dalam keppres tersebut, tugas pokok Bulog dibatasi hanya untuk menangani komoditas beras. Komoditas lain yang dikelola selama ini dilepaskan ke mekanisme pasar. Sebagai perusahaan yang tetap mengemban tugas publik dari pemerintah, Bulog tetap melakukan kegiatan menjaga harga dasar pembelian (HPP) untuk gabah, stabilisasi harga khususnya harga pokok, menyalurkan beras untuk orang miskin (raskin), dan pengelolaan stok pangan.

Indikasi Oligopoli

Dalam implementasinya di lapangan, peran Bulog menjadi kurang optimal dalam pengendalian harga pangan beras. HPP yang ditetapkan pemerintah tidak sepenuhnya terealisasi di lapangan. Ada juga pihak yang berani membeli gabah di atas HPP yang ditetapkan pemerintah, walaupun masih tetap terl lalu rendah jika dibandingkan d dengan harga jual di tingkat eceran yang sering kali kenaikannya kurang wajar. Belum lagi adanya distorsi-distorsi lain yang mengakibatkan harga di tingkat petani jatuh, tetapi di tingkat konsumen justru mengalami kenaikan. Apalagi sejak 2005 kenaikan harga-harga komoditas cukup tinggi dan sulit dikendalikan.
Kalaupun mengalami penurunan, prosesnya sangat lamban bahkan tidak kembali ke harga semula.


Selain itu, adanya indikasi oligopoli di beberapa produk pangan juga menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah dalam mengendalikan harga. Kenyataan lain juga sering terjadi salah mengambil keputusan kebijakan, akibat ketidakakuratan data yang dimiliki. Misalnya ketika para petani mengalami masa panen justru terjadi impor sehingga menyebabkan harga di tingkat petani justru jatuh, khususnya bahan pangan di luar beras.

Setelah melihat harga yang terus bergejolak dan ketahanan pangan sulit diramalkan, berbagai pihak mengusulkan untuk merevitalisasi fungsi Bulog agar kembali seperti masa lalu. Bulog diberi peran yang lebih untuk menjaga stabilisasi dan stok pangan nasional, tetapi perlu ada perbaikan dari sisi pengawasan dan keterbukaan. Ada pula yang mengusulkan untuk membentuk lembaga baru nondepartemen karena yang berbentuk perum tidak cocok untuk fungsi stabilisasi, bahkan pemerintah mulai menyiapkan perpres untuk memperbaiki fungsi Bulog agar mampu menstabilkan harga beberapa komoditas antara lain beras, gula, kedelai, jagung, dan minyak goreng.

Bagaimana kesiapan Bulog untuk menjalankan fungsi tersebut? Bertambahnya peran dan fungsi tentu memerlukan infrastruktur baru seperti pengadaan gudang untuk manajemen stok dan strategi tata niaga yang matang untuk memahami dinamika pasar. Peran baru Bulog lebih dibutuhkan untuk mengelola tata niaga bagi komoditas pangan lokal agar mampu bersaing dengan komoditas impor.

UU Pangan


Di tengah usulan revitalisasi Bulog, DPR telah mengesahkan UU Pangan yang tujuannya memecahkan persoalan pangan melalui penye lenggaraan pangan nasional yang adil, merata, dan mandiri dengan meningkatkan produksi nasional dengan harga yang wajar dan terjangkau. Semangat UU tersebut melindungi masyarakat dan para petani pangan.


Akan tetapi bila melihat kebutuhan pangan masyarakat, sebagian sukat, sebagian sulit diproduksi di dalam negeri sehingga harus terus impor. Bila dipertahankan juga, pertahankan juga, itu akan berdam pak pada ketahanan pangan nasional karena harga tidak mampu dikendalikan, stoknya pun akan sulit, sehingga perlu juga dipikirkan bahan pangan pengganti terutama terkait dengan potensi pangan lokal.

Tentu hal ini perlu dipikirkan dari sisi kebiasaan masyarakat yang terkadang sulit untuk mengalihkan pola makan. Demikian halnya para petani perlu juga diarahkan untuk mengembangkan pangan lokal dengan skim insentif dan jaminan pasar. Dalam UU tersebut juga dikatakan bahwa perlu adanya lembaga nondepartemen yang menangani pangan. Dari pada harus membentuk lembaga baru, akan lebih baik Bulog menjadi bagian dari institusi pangan, apalagi pengalaman dan sarananya sudah sangat menunjang.

Dalam rangka mengimplementasikan UU Pangan baru serta menyelesaikan berbagai persoalan tentang pangan nasional, pemerintah perlu membuat kebijakan strategis dalam pangan, bukan sekadar mengembalikan atau merevitalisasi fungsi Bulog.


Pertama, pemerintah perlu menetapkan atau menentukan jenis pangan pokok bagi masyarakat. Tidak semua harus distabilisasi pemerintah. Sebagai contoh akibat tidak adanya pembatasan komoditas pangan yang distabilkan, ketika harga cabai naik, pemerintah yang menjadi sasaran. Demikian pula ketika harga kedelai naik para pengusaha tempe melakukan aksi protes kepada pemerintah.

Itu terjadi karena belum ada definisi yang jelas stok dan harga yang pemerintah wajib jaga. Dari berbagai diskusi tampaknya ada enam bahan pokok yang perlu distabilkan, yaitu beras, kedelai, jagung, minyak, gula, dan daging sapi. Untuk itu, Bulog diwajibkan menjaga stabilisasi harga bahan pokok tersebut baik dari sisi petani maupun konsumen.


Kedua, agar fungsi Bulog lebih optimal perlu dikembalikan menjadi lembaga negara nondepartemen agar dapat menjalankan tugasnya, tetapi disertai pengawasan dan lebih transparan.

Ketiga, Bulog perlu diberi dana yang cukup untuk menjaga stok pangan nasional. Jangan dibiarkan menggunakan dana bank yang relatif cukup tinggi untuk membayar bunganya.

Keempat, untuk mengurangi ketergantungan impor pangan (selama ini masih cukup tinggi), pemerintah perlu mengatur lokasi dan jenis tanaman serta masa tanam dan panennya, dengan catatan pemerintah perlu menyediakan lahan yang cukup. Dalam hal ini Bulog bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, Perindustrian, dan Perdagangan terkait dengan penyediaan pupuk dan bibit, serta aturan impor pangan.

Kelima, hal lain yang tidak kalah penting ialah kerja sama dengan pemerintah daerah. Sejak otonomi daerah, kepala daerah memegang peran penting dalam menjaga stabilitas pangan.

Menyelesaikan masalah pangan bukan sekadar revitalisasi fungsi Bulog. Kebijakan penggunaan lahan untuk pangan, kebijakan di sektor pertanian, dan kebijakan pemberian subsidi di sektor pertanian dan pangan juga perlu mendapat perhatian pemerintah dengan lebih serius. UU Pangan akan sia-sia bila tidak disertai keberanian dalam menyelesaikan berbagai persoalan di tingkat teknis. Dalam hal ini, perlu juga dukungan DPR dalam mengoptimalkan fungsi Bulog menjalankan kebijakan pangan terutama tambahan anggaran baik dalam bentuk subsidi maupun ketersediaan dana sebagai stabilisasi.

0 komentar: