Selasa, 17 September 2013

Ketahanan Pangan dan Kemerdekaan

Disadur dari Opini pakar yang berjudul : Ketahanan Pangan dan Kemerdekaan
Ditulis oleh: Agus Pakpahan ; Pengamat Ekonomi Pangan
dimuat dalam  KORAN TEMPO, 15 Agustus 2012

Kita akan merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ke-67. Hari ulang tahun NKRI tersebut juga jatuh beberapa hari saja sebelum tibanya hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1433H, hari yang menjadi simbol kemenangan umat Islam kembali ke fitrahnya setelah menjalankan puasa Ramadan sebulan lamanya. Jadi, kedua hari besar tersebut--ulang tahun kemerdekaan NKRI dan hari raya Idul Fitri--adalah simbol kemenangan.

Kenyataan yang dihadapi dewasa ini adalah sebagian besar rakyat Indonesia, setelah 67 tahun merdeka, masih berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, yaitu pangan. Hampir setiap rumah tangga Indonesia membelanjakan pengeluarannya 50 persen atau lebih untuk membeli kebutuhan pangannya, lima kali lebih besar dari jumlah yang dibelanjakan oleh rumah tangga di negara maju. Yang menambah rasa khawatir kita semua juga adalah, fenomena ketergantungan pada pangan yang sedemikian besar itu juga terjadi pada masyarakat pedesaan atau rumah tangga pertanian.


Dengan meningkatnya harga-harga komoditas pangan selama dekade pertama abad ke-21 ini, khususnya yang terjadi akhir-akhir ini, dengan tingkat peningkatan harga bisa lebih dari 50 persen atau ketergantungan pada pangan impor seperti kedelai, dapat diperkirakan bahwa kondisi sosial-ekonomi masyarakat kita masuk ke situasi yang sangat sulit. Jumlah penduduk miskin di pertanian dan pedesaan akan lebih besar lagi daripada yang telah diberitakan selama ini, yaitu sekitar 71 persen penduduk miskin berada di sektor pertanian dan pedesaan.


Perlu menjadi perhatian kita bersama bahwa pergerakan dunia, termasuk Indonesia di dalamnya, selama 67 tahun terakhir ini adalah pergerakan yang didorong oleh dua gelombang besar dunia, yaitu industrialisasi dan urbanisasi di satu sisi dan Revolusi Hijau di sisi lainnya. Industrialisasi dan urbanisasi tidak akan terwujud tanpa dukungan produksi pangan yang memadai bagi kepentingan penduduk urban dan sektor industri.
Revolusi Hijau rupanya telah memungkinkan terbentuknya surplus pangan yang mengalir dari desa-desa ke kota. Surplus pangan ini juga membuat harga pangan murah, yang membuat upah buruh di pertanian dan pedesaan juga murah. Perbedaan upah di pedesaan dan perkotaan yang meningkat telah menciptakan daya tarik bagi para pemuda-pemudi desa untuk berpindah dari desa ke kota mengikuti arus yang disebut urbanisasi. Pergerakan ini terus terjadi dan diperkirakan pada 2015 penduduk kota lebih banyak jumlahnya daripada penduduk desa. Jadi, bukan hanya telah terjadi perubahan struktur ekonomi dengan menurunnya pangsa produk domestik bruto (PDB) pertanian dan penurunan pangsa tenaga kerja pertanian, transformasi ekonomi melalui industrialisasi juga telah mengubah distribusi penduduk dan sistem atau pola kehidupan masyarakat secara geografis (spasial) secara radikal.


Apa hubungan ketahanan pangan dan kemerdekaan sebagaimana yang tersurat pada judul tulisan ini? Ketahanan suatu negara tidak terlepas dari ketahanan pangan dari negara tersebut. Jatuhnya Uni Soviet atau kekaisaran Romawi juga tidak terlepas dari melemahnya ketahanan pangan di negara tersebut. Adapun kelebihan Amerika Serikat atau Uni Eropa terletak pada ketahanan pangan di kedua negara ini. Penciri utama dari kedua negara adidaya tersebut adalah tingkat kesejahteraan petaninya yang dijamin oleh negara dan sistem pertaniannya yang terus berkembang sebagaimana diperlihatkan oleh tingkat produktivitas per tenaga kerjanya serta oleh skala usaha lahannya yang semakin meluas. Bahkan Jim Chen dalam Vanderbilt Law Review Vol. 48, No. 4, Mei 1995, menyebutkan bahwa, bagi Amerika Serikat, pertanian adalah The American Ideology.


Kecenderungan sifat tersebut rupanya telah menjadi jalan pergerakan pertanian dan rumah tangga petani di Jepang dan Korea Selatan. Kemerdekaan dari kelaparan atau kekurangan pangan, kemerdekaan dari kesulitan hidup atau kemungkinan terjadinya kekacauan tahap pertama dalam negara yang diakibatkan oleh kekurangan pangan, telah terhindarkan sebagai akibat dari kesuksesan negara dalam mengatur dan mengelola keseluruhan sumber daya yang menentukan ketahanan pangan.


Apabila kita menengok ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai cermin kebangkitan suatu negara besar di Asia, kita menemukan juga kemajuan pertaniannya, sebagai sumber ketahanan pangan, yang luar biasa. Bahkan, sebagaimana yang diberitakan China Daily Asia Weekly, Juli 13-19, 2012, antara lain, RRT telah menyiapkan lumbung pangannya di Australia. Dari sumber lain, kita juga membaca bahwa RRT telah menyiapkan lumbung pangan yang besar di Afrika.

Indonesia dinilai dunia telah mencapai keberhasilan dalam membangun perekonomiannya, khususnya dalam bidang pertanian, dengan pertanda dicapainya swasembada beras pada 1984, 28 tahun yang lalu. Dewasa ini ternyata Indonesia masih memerlukan pasokan impor untuk banyak jenis kebutuhan pangannya. Dengan perubahan situasional akibat dampak dari industrialisasi dan urbanisasi sebagaimana disebutkan di atas, diperlukan kebijakan dan strategi yang tepat dalam bidang ketahanan pangan ini, khususnya dalam pembangunan pertanian. Apabila yang dipertaruhkan adalah NKRI yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945, dan ini berkorelasi sangat kuat dengan ketahanan pangan negara, tentu saja segala hal yang menghalangi tercapainya ketahanan pangan yang bersumber dari kemajuan pertanian nasional haruslah disingkirkan. Dirgahayu, NKRI.

0 komentar: