Rabu, 13 Oktober 2010

Prioritas Ilmu atas Amal Sebuah Tinjauan Fiqih

DI ANTARA pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama ialah prioritas ilmu atas amal. Ilmu itu harus didahulukan atasamal, karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal yang akan dilakukan. Dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu, itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya."

Oleh sebab itu, Imam Bukhari meletakkan satu bab tentang ilmu dalam Jami' Shahih-nya, dengan judul "Ilmu itu Mendahului Perkataan dan Perbuatan." Para pemberi syarah atas buku ini menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksudkan dalam judul itu harus menjadi syarat bagi ke-shahih-an perkataan dan perbuatan seseorang. Kedua hal itu tidak dianggap shahih kecuali dengan ilmu; sehingga ilmu itu didahulukan atas keduanya. Ilmulah yang membenarkan niat dan membetulkan perbuatan yang akan dilakukan. Mereka mengatakan: "Bukhari ingin mengingatkan orang kepada persoalan ini, sehingga mereka tidak salah mengerti dengan pernyataan 'ilmu itu tidak bermanfaat kecuali disertai dengan amal yang pada gilirannya mereka meremehkan ilmu pengetahuan dan enggan mencarinya."

Bukhari mengemukakan alasan bagi pernyataannya itu dengan mengemukakan sebagian ayat al-Qur'an dan hadits Nabi saw:

"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas dosa orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan..." (Muhammad: 19)

Oleh karena itu, Rasulullah saw pertama-tama memerintahkan umatnya untuk menguasai ilmu tauhid, baru kemudian memohonkan ampunan yang berupa amal perbuatan. Walaupun perintah di dalam ayat itu ditujukan kepada Nabi saw, tetapi ayat ini juga mencakup umatnya.

Dalil yang lainnya ialah ayat berikut ini:

"... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama..." (Fathir: 28)

Ilmu pengetahuanlah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah, dan mendorong manusia kepada amal perbuatan.

Sementara dalil yang berasal dari hadits ialah sabda Rasulullah saw:

"Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka dia akan diberi-Nya pemahaman tentang agamanya."2

Karena bila dia memahami ajaran agamanya, dia akan beramal, dan melakukan amalan itu dengan baik.

Dalil lain yang menunjukkan kebenaran tindakan kita mendahulukan ilmu atas amal ialah bahwa ayat yang pertama kali diturunkan ialah "Bacalah." Dan membaca ialah kunci ilmu pengetahuan; dan setelah itu baru diturunkan ayat yang berkaitan dengan kerja; sebagai berikut:

"Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah." (al-Muddatstsir: 1-4)

Sesungguhnya ilmu pengetahuan mesti didahulukan atas amal perbuatan, karena ilmu pengetahuanlah yang mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat manusia; antara yang benar dan yang salah di dalam perkataan mereka;antara perbuatan-perbuatan yang disunatkan dan yang bid'ah dalam ibadah; antara yang benar dan yang tidak benar di dalam melakukan muamalah; antara tindakan yang halal dan tindakan yang haram; antara yang terpuji dan yang hina di dalam akhlak manusia; antara ukuran yang diterima dan ukuran yang ditolak; antara perbuatan dan perkataan yang bisa diterima dan yang tidak dapat diterima.

Oleh sebab itu, kita seringkali menemukan ulama pendahulu kita yang memulai karangan mereka dengan bab tentang ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali ketika menulis buku Ihya' 'Ulum al-Din; dan Minhaj al-'Abidin. Begitu pula yang dilakukan oleh al-Hafizh al-Mundziri dengan bukunya at-Targhib wat-Tarhib. Setelah dia menyebutkan hadits-hadits tentang niat, keikhlasan, mengikuti petunjuk al-Qur'an dan sunnah Nabi saw; baru dia menulis bab tentang ilmu pengetahuan.

Fiqh prioritas yang sedang kita perbincangkan ini dasar dan porosnya ialah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan kita dapat mengetahui apa yang mesti didahulukan dan apa yang harus diakhirkan. Tanpa ilmu pengetahuan kita akan kehilangan arah, dan melakukan tindakan yang tidak karuan.

Benarlah apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin Abd al-Aziz, "Barangsiapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki."3

Keadaan seperti ini tampak dengan jelas pada sebagian kelompok kaum Muslimin, yang tidak kurang kadar ketaqwaan, keikhlasan, dan semangatnya; tetapi mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan, pemahaman terhadap tujuan ajaran agama, dan hakikat agama itu sendiri.

Seperti itulah sifat kaum Khawarij yang memerangi Ali bin Abu Thalib r.a. yang banyak memiliki keutamaan dan sumbangan kepada Islam, serta memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Rasulullah saw dari segi nasab, sekaligus menantu beliau yang sangat dicintai oleh beliau. Kaum Khawarij menghalalkan darahnya dan darah kaum Muslimin yang mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT.

Mereka, kaum Khawarij ini, merupakan kelanjutan dari orang-orang yang pernah menentang pembagian harta yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, yang berkata kepada beliau dengan kasar dan penuh kebodohan: "Berbuat adillah engkau ini!" Maka beliau bersabda, "Celaka engkau! Siapa lagi yang adil, apabila aku tidak bertindak adil. Kalau aku tidak adil, maka engkau akan sia-sia dan merugi. "

Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Sesungguhnya perkataan kasar yang disampaikan kepada Rasulullah saw ialah 'Wahai Rasulullah, bertaqwalah engkau kepada Allah." Maka Rasulullah saw menyergah ucapan itu sambil berkat, "Bukankah aku penghuni bumi yang paling bertaqwa kepada Allah?"

Orang yang mengucapkan perkataan itu sama sekali tidak memahami siasat Rasulullah saw untuk menundukkan hati orang-orang yang baru masuk Islam, dan pengambilan berbagai kemaslahatan besar bagi umatnya, sebagaimana yang telahdisyari'ahkan oleh Allah SWT dalam kitab suci-Nya. Rasulullah saw diberi hak untuk melakukan tindakan terhadap shadaqah yang diberikan oleh kaum Muslimin. Lalu bagaimana halnya dengan harta pampasan perang?

Ketika sebagian sahabat memohon izin kepada Rasulullah saw untuk membunuh para pembangkang itu, beliau yang mulia melarangnya; kemudian memperingatkan mereka tentang munculnya kelompok orang seperti itu dengan bersabda:

"Kalian akan meremehkan (kuantitas) shalat kalian dibandinglan dengan shalat yang mereka lakukan, meremehkan (kuantitas ) puasa kalian dibandingkan dengan puasa yang mereka lakukan; dan kalian akan meremehkan (kuantitas) amal kalian dibandingkan dengan amal mereka. Mereka membaca al-Qur'an tetapi tidak lebih dari kerongkongan mereka. Mereka menyimpang dari agama (ad-Din) bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya."

Makna ungkapan "fidak lebih dari kerongkongan mereka" ialah bahwa hati mereka tidak memahami apa yang mereka baca, dan akal mereka tidak diterangi dengan bacaan ayat-ayat itu. Mereka sama sekali tidak memanfaatkan apa yang mereka baca itu, walaupun mereka banyak mendirikan shalat dan melakukan puasa.

Di antara sifat yang ditunjukkan oleh Nabi tentang kelompok itu ialah bahwa,

"Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala."4

Kesalahan fatal yang dilakukan oleh mereka bukanlah terletak pada perasaan dan niat mereka, tetapi lebih berada pada akal pikiran dan pemahaman mereka. Oleh karena itu, mereka dikatakan dalam hadits yang lain sebagai:

"Orang-orang muda yang memilih impian yang bodoh." 5

Mereka baru diberi sedikit ilmu pengetahuan, dengan pemahaman yang tidak sempurna, tetapi mereka tidak mau memanfaatkan kitab Allah padahal mereka membacanya dengan sangat baik, tetapi bacaan yang tidak disertai dengan pemahaman. Mungkin mereka memahaminya dengan cara yang tidak benar, sehingga bertentangan dengan maksud ayat yang diturunkan oleh Allah SWT.

Oleh karena itu, Imam Hasan al-Bashri memperingatkan orang yang tekun beribadah dan beramal, tetapi tidak membentenginya dengan ilmu pengetahuan dan pemahaman. Dia mengucapkan perkataan yang sangat dalam artinya,

"Orang yang beramal tetapi tidak disertai dengan ilmu pengetahuan tentang itu, bagaikan orang yang melangkahkan kaki tetapi tidak meniti jalan yang benar. Orang yang melakukan sesuatu tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu, maka dia akan membuat kerusakan yang lebih banyak daripada perbaikan yang dilakukan. Carilah ilmu selama ia tidak mengganggu ibadah yang engkau lakukan. Dan beribadahlah selama ibadah itu tidak mengganggu pencarian ilmu pengetahuan. Karena ada sebagian kaum Muslimin yang melakukan ibadah, tetapi mereka meninggalkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka keluar dengan pedang mereka untuk membunuh umat Muhammad saw. Kalau mereka mau mencari ilmu pengetahuan, niscaya mereka tidak akan melakukan seperti apa yang mereka lakukan itu."6

ILMU MERUPAKAN SYARAT BAGI PROFESI KEPEMIMPINAN (POLITIK, MILITER, DAN KEHAKIMAN)

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan syarat bagi semua profesi kepemimpinan, baik dalam bidang politik maupun administrasi. Sebagaimana yang dilakukan oleh Yusuf as ketika berkata kepada Raja Mesir:

" ... sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami." Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." (Yusuf: 54-55)

Yusuf as menunjukkan keahliannya dalam pekerjaan besar yang ditawarkan kepadanya, yang mencakup pengurusan keuangan, ekonomi, perancangan, pertanian, dan logistik pada waktu itu. Yang terkandung di dalam keahlian itu ada dua hal; yakni penjagaan (yang lebih tepat dikatakan "kejujuran") dan ilmu pengetahuan (yang dimaksudkan di sini ialah pengalaman dan kemampuan). Kenyataan itu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh salah seorang anak perempuan Nabi besar dalam surah al-Qashash:

"... karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (al-Qashash: 26)

Ia juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam dunia militer; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT ketika memberikan alasan bagi pemilihan Thalut sebagai raja atas bani Israil:

"... Nabi (mereka) berkata, "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu pengetahuan yang luas dan tubuh yang perkasa..." (al-Baqarah, 247)

Pedoman itu juga sepatutnya diberlakukan dalam dunia kehakiman, sehingga orang-orang yang hendak diangkat menjadi hakim diharuskan memenuhi syarat seperti syarat yang diberlakukan bagi orang yang hendak menjadi khalifah. Untuk menjadi hakim itu tidak cukup hanya dengan menyandang sebagai ulama yang bertaqlid kepada ulama lainnya. Karena pada dasarnya, ilmu pengetahuan merupakan kebenaran itu sendiri dengan berbagai dalilnya, dan bukan ilmu pengetahuan yang diberitahukan oleh Zaid atau Amr. Orang-orang yang bertaqlid kepada manusia yang lainnya tanpa ada alasan yang membenarkan tindakannya, atau ada alasannya tetapi sangat lemah, maka orang itu dianggap tidak mempunyai ilmu pengetahuan.

Keputusan hukum yang diterima dari orang yang melakukan taqlid, adalah sama dengan kekuasaan yang dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan, yang sangat penting. Akan tetapi ada batasan-batasan tertentu dan minimal bagi ilmu pengetahuan yang mesti dikuasai oleh hakim itu. Jika tidak, maka dia akan membuat keputusan hukum berdasarkan kebodohan dan akan menjadikannya sebagai penghuni neraka.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah dari Rasulullah saw bersabda,

"Ada tiga golongan hakim. Dua golongan berada di neraka, dan satu golongan lagi berada di surga. Yaitu seorang yang mengetahui kebenaran kemudian dia membuat keputusan hukum dengan kebenaran itu, maka dia berada di surga. Seorang yang memberikan keputusan hukum yang didasarkan atas kebodohannya, maka dia berada dineraka. Kemudian seorang yang mengetahui kebenaran tetapi dia melakukan kezaliman dalam membuat keputusan hukum, maka dia berada di neraka."7

PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN BAGI MUFTI (PEMBERI FATWA)

Persoalan yang serupa dengan kehakiman ialah pemberian fatwa. Seseorang tidak boleh memberikan fatwa kepada manusia kecuali dia seorang yang betul-betul ahli dalam bidangnya, dan memahami ajaran agamanya. Jika tidak, maka dia akan mengharamkan yang halal dan menghalalkan hal-hal yang haram; menggugurkan kewajiban, mewajibkan sesuatu yang tidak wajib, menetapkan hal-hal yang bid'ah dan membid'ahkan hal-hal yang disyariahkan; mengkafirkan orang-orang yang beriman dan membenarkan orang-orang kafir. Semua persoalan itu, atau sebagiannya, terjadi karena ketiadaan ilmu dan fiqh. Apalagi bila hal itu disertai dengan keberanian yang sangat berlebihan dalam memberikan fatwa, serta melanggar larangan bagi siapa yang mau melakukannya. Hal ini dapat kita lihat pada zaman kita sekarang ini, di mana urusan agama telah menjadi barang santapan yang empuk bagi siapa saja yang mau menyantapnya; asal memiliki kemahiran dalam berpidato, keterampilan menulis; padahal al-Qur'an, sunnah Nabi saw, dan generasi terdahulu umat ini sangat berhati-hati dalam menjaga hal ini. Tidak ada orang yang berani melakukan hal itu kecuali orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian di dalam bidangnya, serta memenuhi syarat untuk persoalan tersebut. Betapa sulit sebenarnya untuk memenuhi syarat-syarat itu.

Sebenarnya Nabi saw sangat tidak suka kepada orang yang tergesa-gesa memberikan fatwa pada zamannya. Ada sebagian orang yang memberikan fatwa kepada salah seorang di antara mereka yang terluka ketika mereka berjinabat untuk mandi, tanpa mempedulikan luka yang dideritanya. Sehingga hal itu menyebabkan kematiannya. Maka Rasulullah saw bersabda,

"Karena mereka telah membunuhnya, maka semoga Allah akan membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak tahu. Sebenarnya kalau mereka mau bertanya, maka orang itu bisa sembuh. Sebenarnya bagi orang seperti itu hanya cukup bertayammum saja..." 8

Lihatlah bagaimana Rasulullah saw menganggap bahwa fatwa yang diberikan oleh mereka sama dengan pembunuhan terhadap orang tersebut, sehingga beliau mendoakan mereka, "Semoga Allah juga membunuh mereka." Oleh karena itu, fatwa yang keluar dari kebodohan dapat membunuh jiwa dan membawa kerusakan. Dan pada akhirnya, Ibn al-Qayyim dan ulama yang lainnya sepakat untuk mengharamkan pemberian fatwa dalam urusan agama tanpa disertai dengan ilmu pengetahuan; berdasarkan firman Allah SWT:

"... dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (al-A'raf: 33)

Banyak sekali hadits, qaul sahabat, dan generasi terdahulu umat ini yang melarang pemberian fatwa bagi orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan.

Ibn Sirin berkata, "Seorang lelaki yang mati dalam keadaan bodoh itu lebih baik daripada dia mati dalam keadaan berkata tentang sesuatu yang dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan tentang itu."

Abu Hushain al-Asy'ari berkata, "Sesungguhnya salah seorang di antara mereka ada yang memberi fatwa dalam suatu masalah. Jika hal ini berlaku pada zaman Umar, maka dia akan mengumpulkan para pejuang Perang Badar."

Lalu, bagaimana bila Umar melihat keberanian orang pada zaman
kita sekarang ini?

Ibn Mas'ud dan Ibn 'Abbas berkata, "Barangsiapa memberi fatwa kepada orang ramai tentang apa saja yang mereka tanyakan kepadanya, maka dia termasuk orang gila."

Abu Bakar berkata, "kangit mana yang melindungi diriku dan bumi mana yang akan menjadi tempat pijakanku, kalau aku mengatakan sesuatu yang tidak kuketahui."

Ali berkata, "Hatiku menjadi sangat tenang --dia mengucapkannya sebanyak tiga kali-- bila ada seorang lelaki yang ditanya tentang sesuatu yang dia ketahui, tetapi dia tetap mengatakan, 'Allah yang Maha Tahu.'"

Ibn al-Musayyab, tokoh senior tabi'in, apabila dia hendak memberikan fatwa dia berkata, "Ya Allah, selamatkan aku, dan benarkan apa yang keluar dari diriku."

Semua ini menunjukkan bahwa kita perlu sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa. Selain itu, fatwa harus diberikan oleh orang-orang yang betul-betul memiliki ilmu pengetahuan, wawasan yang luas, wara', yang menjaga diri dari setiap kemaksiatan, tidak menuruti hawa nafsunya sendiri atau hawa nafsu orang lain.

Atas dasar uraian tersebut, sangatlah mengherankan bila para pelajar ilmu syariah --kebanyakan pelajar yang baru masuk pada fakultas ini-- tergesa gesa memberikan fatwa dalam berbagai persoalan yang sangat pelik, problema yang sangat penting, mendahului para ulama besar, dan bahkan berani menentang para imam mazhab besar, para sahabat yang mulia, dengan menyombongkan diri seraya mengatakan, "Mereka orang lelaki, dan kamipun orang lelaki."

Pertama-tama yang diperlukan oleh seseorang yang hendak memberikan fatwa ialah mengukur kemampuan dirinya sendiri, kemudian memahami berbagai tujuan syari'ah, memahami hakikat dan kenyataan hidup. Akan tetapi,sangat disayangkan bahwa mereka tertutup oleh penghalang yang sangat besar, yaitu ketertipuan dengan diri mereka sendiri. Sesungguhnya tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah SWT.

PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN BAGI DA'I DAN GURU (MUROBI)

Jika ilmu pengetahuan harus dimiliki oleh orang yang bergelut dalam dunia kehakiman dan fatwa, maka dia juga diperlukan oleh dunia da'wah dan pendidikan. Allah SWT berfirman:

"Katakanlah: "Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata..." (Yusuf: 108)

Setiap juru da'wah --dari pengikut Nabi saw-- harus melandasi da'wahnya dengan hujjah yang nyata. Artinya, da'wah yang dilakukan olehnya mesti jelas, berdasarkan kepada hujjah-hujjah yang jelas pula. Dia harus mengetahui akan dibawa ke mana orang yang dida'wahi olehnya? Siapa yang dia ajak? Dan bagaimana cara dia berda'wah?

Oleh karena itu, mereka berkata tentang orang rabbani: yaitu orang yang berilmu, beramal, dan mengajarkan ilmunya; sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT:

"... akan tetapi (dia) berkata, 'Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu telah mempelajarinya." (Ali 'Imran: 79)

Ibn Abbas memberikan penafsiran atas kata "rabbani" sebagai para ahli hikmah sekaligus fuqaha.9

Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan rabbani ialah orang yang mengajar manusia dengan ilmu kecilnya sebelum ilmu itu menjadi besar.

Yang dimaksud dengan ilmu kecil ialah ilmu yang sederhana dan persoalannya jelas. Sedangkan ilmu besar ialah ilmu yang pelik-pelik. Ada pula yang mengatakan bahwa rabbani ialah orang yang mengajarkan ilmu-ilmu yang parsial sebelum ilmu-ilmu yang universal, atau ilmu-ilmu cabang sebelum ilmu-ilmu yang pokok, ilmu-ilmu pengantar sebelum ilmu-ilmu yang inti.10

Yang dimaksudkan dengan pernyataan itu ialah bahwa pengajaran itu dilakukan secara bertahap, dengan memperhatikan kondisi dan kemampuan orang yang diajarnya, sehingga dapat ditingkatkan sedikit demi sedikit.

Persoalan yang perlu diperhatikan oleh orang yang bergerak dalam bidang da'wah dan pendidikan ialah bahwa juru da'wah dan pendidik itu mesti mengambil jalan yang paling mudah dan bukan jalan yang susah; memberikan kabar gembira dan tidak menakut-nakuti mereka; sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang disepakati ke-shahih-annya oleh Bukhari dan Muslim,

"Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari."11

Al-Hafizh ketika memberikan penjelasan terhadap hadits ini mengatakan,

"Yang dimaksudkan dengan hal ini ialah menarik simpati hati orang yang hampir dekat dengan Islam, dan tidak melakukan da'wah dengan cara yang keras dan kasar pada awal mula kegiatan da'wah itu. Begitu pula hendaknya kecaman terhadap orang yang suka melakukan kemaksiatan. Kecaman itu hendaknya dilakukan secara bertahap. Karena sesungguhnya sesuatu yang pada tahap awalnya dapat dilakukan dengan mudah, maka orang akan bertambah senang untuk memasukinya dengan hati yang lapang. Pada akhirnya, dia akan bertambah baik sedikit demi sedikit. Berbeda dengan cara berda'wah yang dilakukan dengan keras dan kasar." 12

Yang dimaksudkan dengan perkataan ,mempermudah, di situ bukanlah terbatas pada orang-orang yang hampir dekat hatinya dengan Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafizh, tetapi ia berlaku lebih umum dan permanen. Misalnya mempermudah jalan bagi orang yang hendak melakukan taubat, atau kepada setiap orang yang memerlukan keringanan; seperti orang yang sakit atau sudah tua usianya, atau orang yang berada di dalam keadaan yang mendesak.

Di antara keharusan yang berlaku di dalam ilmu pengetahuan ialah upaya untuk mencari ilmu-ilmu agama sejauh kemampuan yang dimiliki oleh seseorang, sesuai dengan kadar kemampuan otaknya untuk menerima ilmu pengetahuan tersebut. Dia tidak boleh mengucapkan sesuatu yang tidak cocok dengan akal pikirannya, sehingga hal itu malah berbalik menjadi fitnah bagi dirinya dan juga kepada orang lain. Sehubungan dengan hal ini Ali r.a. berkata, "Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar pengetahuan mereka. Tinggalkan apa yang tidak cocok dengan akal pikiran mereka. Apakah engkau menghendaki mereka mengatakan sesuatu yang bohong terhadap Allah dan rasul-Nya?" 13

Ibn Mas'ud r.a. berkata, "Engkau tidak layak menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kadar kemampuan otak mereka. Jika tidak, maka engkau akan menimbulkan fitnah pada sebagian orang itu."14.

Catatan Kaki:

1 Diriwayatkan oleh Ibn 'Abd al-Barr dan lainnya dari Mu'adz, sebagai hadits marfu' dan mauquf, tetapi hadits ini lebih benar digolongkan kepada hadits mauquf. ^
2 Baca, Shahih al-Bukhari dan Fath al-Bari, 1:158-162, cet. Dar al-Fikr yang disalin dari naskah lama.^
3 Baca Jami' Bayan al-'Ilm wa Fadhlih, karangan Ibn 'Abd al-Barr, 1:27, cet. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah^
4 Lihatlah sifat-sifat mereka dalam buku al-Lu'lu' wa al-Marjan fima Ittafaqa 'alaih al-Syaikhani, khususnya hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, Abu Sa'id, Ali, dan Sahal bin Hunaif (638-644).^
5 Hadits Ali, Ibid.^
6 Ucapan ini dikutip oleh Ibn Hazm dalam bukunya, Miftah Dar al-Sa'adah, h. 82^
7 Diriwayatkan oleh para penulis Sunan Arba'ah dan al-Hakim; sebagai mana diriwayatkan oleh Thabrani dan Abu Ya'la, dan Baihaqi dari Ibn Umar; seperti yang dimuat di dalam al-Jami' as-Shaghir. (4446) dan (4447).^
8 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir, dan diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dari Ibn 'Abbas. Lihat Shahih al-Jami' as-Shaghir (4362) dan (4363).^
9 Hal ini disebutkan oleh Bukhari ketika memberikan komentar pada bab "Ilmu" dalam Shahih-nya. Al-Hafizh berkata dalam Fath-nya, "Hadits ini sampai Ibn Abi 'Ashim dengan isnad hasan. Dan juga diriwayatkan oleh al-Khathib dengan isnad hasan yang berbeda." 1: 161^
10 al-Fath, 1: 162`^
11 Diriwayatkan oleh al-Syaikhani dari Anas, sebagaimana disebutkan di dalam al-Lu'lu' wa al-Marjan^
12 al-Fath, 1: 163^
13 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-'Ilm, secara mauquf atas Ali r.a. (Lihar al-Fath. 1 225)^
14 Diriwayatkan oleh Muslim dalam mukadimah as-Shahih secara mauquf atas Ibn Mas'ud. Ibid.^

disarikan dari Fiqih Prioritas Yusuf Qordowi

Negara dan Konstitusi

NEGARA DAN KONSTITUSI
A. Pengertian Negara
Pengertian lain tentang Negara dikembangkan oleh Agustinus yang merupakan tokoh Katolik. Ia membagi Negara dalam dua pengertian yaitu Civitas Dei yang artinya Negara Tuhan, dan Civitas Terrena atau Civitas Diaboli, yang artinya Negara duniawi. Civitas Terrena ini ditolak oleh Agustinus, sedangkan yang dianggap baik adalah Negara Tuhan atau Civias Dei. Negara Tuhan bukanlah Negara dari dunia ini, melainkan jiwanya yang dimiliki oleh sebagian atau beberapa dari dunia ini, dunia ini untuk mencapainya.
Bahkan yang lebih terkenal lagi ajaran Machiavelli tentang tujuan yang dapat menghalalkan segala cara. Akibat ajaran ini muncullah berbagai praktek pelaksanaan kekuasaan Negara yang otoriter, yang jauh dari nilai-nilai moral.
Teori Negara menurut Machiavelli tersebut mendapat tantangan dan reaksi yang kuat dari filsuf lain seperti Thomas Hobbes (1855-1679), John Locke (1632-1704) dan Rousseau (1712-1778). Menurut mereka, manusia sejak dilahirkann telah membawa hak-hak asasinya seperti hak untuk hidup, hak milik serta hak kemerdekaan.. Menurut Hobbes akan terjadi homohomini lupus, yaitu manusia menjadi serigala bagi manusia lain, dan akan timbul suatu perang semesta yang disebut sebagai belumomnium contre omnes dan hukum yang berlaku adalah hukum rimba.
Berikut ini konsep pengertian Negara modern yang dikemukakan oleh para tokoh antara lain : Roger H. Solatu, mengemukakan bahwa Negara adalah sebagai alat agency atau wewenang lauthority yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat (Soltau, 1961). Sementara itu menurut Harold J. Lasky bahwa Negara adalah merupakan suatu masyarakat yang diinegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara salh lebih agung dari pada individu atau kelompok, yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Max Weber mengemukan pemikirannya bahwa Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (Weber, 1958:78). Miriam Bidardjo Guru Besar Ilmu Politik Indonesia mengemukakan, bahwa Negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (control) monopolistis dari kekuasaan yang sah (Budiardjo, 1985:40-41).
Disimpulkan bahwa semua Negara memiliki unsur-unsur yang mutlak harus ada. Unsur-unsur Negara adalah meliputi : Wilayah atau daerah territorial yang sah, rakyat yaitu suatu bangsa sebagai pendukung pokok Negara dan tidak terbatas hanya pada salah satu etnis saja, serta pemerintahan yang sah diakui dan berdaulat.

Negara Indonesia
Meskipun ditinjau berdasarkan unsur-unsur yang membentuk Negara, hampir semua Negara memiliki kesamaan, namun ditinjau dari segi tumbuh dan terbentuknya Negara serta susunan Negara, setiap Negara di dunia ini memiliki spesifikasi serta cirri khas masing-masing.
Prinsip-prinsip negara Indonesia dapat dikaji melalui makna yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 Alinea I, menjelaskan tentang latar belakang terbentuknya negara dan bangsa Indonesia, yaitu tentang kemerdekaan adalah hak kodrat segala bangsa di dunia. Alinea ke II menjelaskan tentang perjalanan perjuangan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Alinea ke III menjelaskan tentang kedudukan kodrat manusia Indonesia yang religious. Alinea ke IV, menjelaskan tentang terbentuknya bangsa dan negara Indonesia, yaitu adanya rakyat Indonesia, pemerintahan negara Indonesia yang berdasarkan UUD Negara, wilayah negara serta dasar filosofis negara yaitu pancasila. (Notonagoro:1975)

B. Konstitusinalisme
Konstitusionalisme mengacu kepada pengertian system institusionalisme secara efektif dan teratur terhadap suatu pelaksanaan pemerintahan. Dengan kata lain perkataan untuk menciptakan suatu tertib pemerintahan diperlukan pengaturan sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan.
Basis pokok konstitusinalisme adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) diantara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkaitan dengan Negara.
Konsesus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern dewasa ini pada umumnya dipahami berdasar pada tiga elemen kesepakatan atau konsesus, sebagai berikut :
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan Negara (the basis of government).
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institusions and procedures). (Andrew 1968:12).
Kesepakatan pertama yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama yang sangat menentukan tegaknya konstitusionalisme dan konstitusi dalam suatu Negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan bahkan melahirkan kesamaan-kesamaan kepentingan diantara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah-tengah pluralism atau kemajemukan.
Lima prinsip dasar yang merupakan dasar filosofis bangsa Indonesia tersebut adalah : (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesepakatan kedua, adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hokum dan konstitusi. Kesepakatan kedua ini juga sangat principal, karena dalam setiap Negara harus ada keyakinan bersama bahwa dalam segala hal dalam penyelenggaraan Negara harus didasarkan atas rule of law.
Istilah (The Rule of law) harus dibedakan dengan istilah “The Rule by Law”. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digambarkan bahwa bersifat instrumentalis atau hanya sebagai alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada ditangan orang atau manusia, yaitu “The Rule of Man by Law”.
Kesepakatan ketiga, adalah berkenaan dengan (a) bangunan organ Negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaan, (b) hubungan-hubungan antar organ Negara itu satu sama lain, serta (c) hubungan antara organ-organ Negara itu dengan warga Negara. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama, berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan Negara berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah.
Keseluruhan kesepakatan itu pada intinya menyangkut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan. Atas dasar pengertian tersebut maka sebenarnya prinsip kontitusionalisme modern adalah menyangkut pembatasan kekuasaan atau limited government. Dalam pengertian inilah maka konstitusionalisme mengatur dua hubungan yaitu pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara, dan kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lainnya.


C. Konstitusi Indonesia
1. Pengantar
Ide untuk melakukan amandemen UUD 1945 dimaksudkan untuk menyempurnakan UUD 1945 tanpa harus langsung mengubah UUD itu sendiri, amandemen lebih merupakan perlengkapan dan rincian yang dijadikan lampiran otentik bagi UUD tersebut. (Mafhud:1999).
Suatu hal yang mendasaar bagi pentingnya amandemen adalah tidak adanya cheks and balances terutama terhadap kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu bagi bangsa Indonesia proses reformasi terhadap UUD 1945 adalah merupakan suatu keharusan, karena hal itu akan mengantarkan bangsa Indonesia kea rah tahapan baru melakukan penataan terhadap ketatanegaraan.
Amandemen UUD 1945 dilakukan dilakukan empat kali yaitu pada tahun 1999, 2000,2001,dan 2002.
2. Hukum Dasar Tertulis (Undang-Undang Dasar)
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa pengertian hukum dasar meliputi dua macam yaitu, hukum dasar tertulis (Undang-Undang Dasar) dan hukum tidak tertulis (convensi). Undang-Undang Dasar menurut sifat dan fungsinya adalah suatu naskah yang memaparkan kerangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu Negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.
Undang-Undang dasar menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain. UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara(Budiardjo:1981)
Dalam Penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD bersifat singkat dan supel. UUD 1945 hanya memiliki 37 pasal, adapun pasal-pasal lain hanya memuat aturan peralihan dan aturan tambahan. Hal ini mengandung makna :
(1) Telah cukup ikalau Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya membuat garis-garis besar instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara Negara, untuk menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social.
(2) Sifatnya yang supel (elastic) dimaksudkan bahwa kita senantiasa harus inat bahwa masyarakat itu harus terus berkembang, dinamis.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas, maka sifat-sifat Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut :
(1) Oleh karena sifatnya tertulis maka rumusannya jelas, merupakan suatu hukum positif yang mengikat pemerintah sebagai penyelenggara Negara, maupun mengikat bagi setiap warga Negara.
(2) Sebagaimana tersebut dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa UUD 1945 bersifat singkat dan supel, memuat aturan-aturan yaitu memuat aturan-aturan pokok yang setiap kali harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman, serta memuat hak-hak asasi manusia.
(3) Memuat norma-norma, aturan-aturan serta ketentuan-ketentuan yang dapat dan harus dilaksanakan secara konstitusional.
(4) Undang-Undang Dasar 1945 dalam tertib hukum Indonesia merupakan peraturan hukum positif yang tertinggi, disamping itu sebagai alat control terhadap norma-norma hukum positif yang lebih rendah dalam hierarkhi tertib hukum Indonesia.
3. Hukum Dasar yang Tidak Tertulis (Convensi)
Convensi adalah hukum dsar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun sifatnya tidak tertulis. Convensi ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
(1) Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara
(2) Tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan berjalan sejajar
(3) Diterima oleh seluruh rakyat
(4) Bersifat sebagai pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai aturan-aturan dasar yang tidak terdapat dalam Undang-Undang Dasar.
Namun perlu digaris bawahi bilamana convensi ingin dijadikan menjadi rumusan yang bersifat tertulis, maka yang berwenang adalah MPR, dan rumusannya bukanlah merupakan suatu hukum dasar melainkan tertuang dalam ketetapan MPR.
4. Konstitusi
Disamping pengertian Undang-Undang Dasar, dipergunakan juga istilah lain yaitu “Konstitusi”. Istilah berasal dari bahasa Inggris “Constitution” atau dari bahasa Belanda “Constitue”. Terjemahan dari istilah tersebut adalah Undang-Undang Dasar, dan hal ini memang sesuai dengan kebiasaan orang Belanda dan Jerman, yang dalam percakapan sehari-hari memakai kata “Grondwet” (Grond = dasar, wet = undang-undang) yang keduanya menunjukkan naskah tertulis.
Namun pengertian konstitusi dalam praktek ketatanegaraan umunya dapat mempunyai arti :
1) Lebih luas daripada Undang-Undang Dasar atau
2) Sama dengan pengertian Undang-Undang Dasar
Dalam praktek ketatanegaraan negara Republik Indonesia pengertian konstitusi adalah sama dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Hal ini terbukti dengan disebutnya istilah Konstitusi RIS bagi UUD RIS(Totopandoyo:1981)

5. Sistem Pemerintahan Negara Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen 2002
a. Indonesia ialah Negara Yang Berdasarkan Atas Hukum (Recstaat)
Dengan landasan dan semangat Negara hukum dalam arti material itu, setiap tindakan Negara haruslah mempertimbang dua kepentingan atau landasan, ialah kegunaannya (doelmatigheid) dan landasan hukumnya (rechtmatigheid).
b. Sistem Konstitusional
Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Sistem ini memberikan penegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan hukum lain merupakan produk konstitusional, Ketetapan MPR, Undang-Undang dan sebagainya.
c. Kekuasaan Negara yang Tertinggi di Tangan Rakyat
Menurut UUD 1945 hasil amandemen 2002 kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD(pasal 1 ayat 2). Oleh karena itu sekarang presiden bersifat neben bukan Untergeordnet. Karena presiden dipilih langsung oleh rakyat.
d. Presiden ialah Penyelenggara Pemerintahan Negara yang Tertinggi di Samping MPR dan DPR.
Kekuasaan Presiden menurut UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen, dinyatakan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai berikut :
“Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggara pemerintahan Negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah ditangan Presiden (Concentration of power responsibility upon the president).
e. Presiden Tidak Bertanggungjawab Kepada DPR
System ini menurut UUD 1945 sebelum amandemen dijelaskan dalam Penjelasan UUD 1945 namun dalam UUD 1945 hasil amandemen 2002 juga memiliki isi yang sama, sebagai berikut :
“Disamping presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membentuk Undang-Undang (Gezetzgebung) pasal 5 ayat (1) dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja Negara (Staatsbergrooting) sesuai dengan pasal 23.
f. Menteri Negara ialah Pembantu Presiden, Menteri Negara tidak Bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
System ini dijelaskan dalam UUD 1945 hasil amandemen 2002 maupun dalam penjelasan UUD 1945, sebagai berikut :
“Presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahnnya dibantu oleh menteri-menteri Negara (Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 Hasil Amandemen), Presiden mengangkat dan memberhentikan Menteri-Menteri Negara (pasal 17 ayat (2) UUD 1945 Hasil Amandemen 2002).
g. Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak-Terbatas
System ini dinyatakan secara tidak eksplisit dalam UUD 1945 hasil Amandemen 2002 dan masih sesuai dengan penjelasan UUD 1945 dijelaskan sebagai berikut :
Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen 2002, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung (UUD 1945).
Amandemen 2002 pasal 6A ayat (1). Dengan demikian dalam system kekuasaan kelembagaan Negara Presiden tidak lagi merupakan mandatris MPR bahkan sejajar dengan DPR dan MPR.
6. Negara Indonesia adalah Negara Hukum
Menurut Penjelasan UUD 1945, Negara Indonesia adalah Negara Hukum, neara hukum yang berdasarkan Pancasila dan bukan berdasarkan atas kekuasaan.
Ciri-ciri suatu Negara hukum adalah :
a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
b. Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak
c. Jaminan kepastian hukum, yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya.
Menjadi suatu kewajiban bagi setiap penyelenggaraan Negara untuk menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila yang selanjutnya melakukan pedoman peraturan-peraturan pelaksanaan.
Di samping itu, sifat hukum yang berdasarkan Pancasila, hukum mempunyai fungsi penganyoman agar cita-cita luhur bangsa Indonesia tercapai dan terpelihara.

dirangkum oleh Liberta Bintoro Ranggi Wirasakti
dari buku kewarganegaraan perguruan tinggi Prof. Kaelan

Identitas Nasional

IDENTITAS NASIONAL
A. Pengertian Identitas Nasional
Menurut Toyenbe, ciri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan menghadapi challance dan response. Istilah Identitas nasional terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki suatu bangsa yang secara filosofis yang membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lain. Identitas suatu bangsa tidak dapat di pisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau lebih populer disebut sebagai kepribadian suatu bangsa.
Pengertian kepribadian pertama kali muncul sebagai suatu identitas sebenarnya dari para pakar psikologi. Suatu identitas adalah keseluruhan atau totalitas dari faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologisyang mendasari tingkah laku individu.
Metode dan opini penelitian Hakikat kepribadian bangsa beberapa tokoh antara lain:
1. Mead dalam “ Anthropology to Day” misalnya, bahwa study tentang “National Character” yaitu dengan menyusun suatu kerangka pikiran yang merupakan konstruksi tentang bagaimana sifa-sifat yang dibawa oleh kelahiran dan unsur-unsur ideotyncrotie pada tiap-tiap manusia dan patroon umum serta patroon individu dari proses pendewasaannya diintregasikan dalam tradisi sosial yang di dukung oleh bangsa itu sedemikian rupa sehingga nampak sifat-sifat kebudayaan yang sama, maka menonjol yang menjadi ciri khas suatu bangsa tersebut.
2. Menurut Ralp Linton dan Abraham Kardiner yaitu dengan mengadakan suatu obyek penelitian tentang watak umum suatu proyek penelitian tentang watak umum suatu bangsa dan sebagai obyek penelitiannya adalah bangsa Maequesesas dan Tanala, yang kemudian hasil penelitiannya di tulis dalam buku “The individual and History”. Dari penelitian itu dirumuska basic personality structure. Dengan konsepsi itu di maksudkan bahwa senua unsur watak sama dimiliki oleh sebagian besaar suatu masyarakat.
3. Linton mengemukakan tentang personality, yaitu watak individu yang di tentukan setatusnya yang didapat dari kelahiran maupun daya upayanya. Status personality mengalami perubahan dalam suatu saat jika seorang tersebut bertindak dalam kedudukannya yang berbeda-beda. Dalam hal basic personality struktur menurut Linton seorang harus memperhatikan status personality yang memungkinkan akan mempengaruhinya.

Pengertian Identitas Nasional bangsa tidak dapat dipisahkan dengan pengertian people character atau Nationaly Identity.
Identitas Nasional nasional suatu bangsa termasuk di dalamnya bangsa Indonesia juga harus di pahami dalam konteks dinamis. Robert D Ventos menyatakan bahwa selain faktor etnisitas, teretorial, bahasa, agama, serta faktor budaya, juga ada faktor dinamika suatu bangsa tersebut dalam proses pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi.

B. Faktor-Faktor Pendukung kelahiran Identitas Nasional
Faktor yang mendukung lahirnya identitas nasional bangsa di Indonesia yaitu antara lain:
1. Faktor obyektif yang meliputi faktor geografis, ekologis, dan demografis. Indonesia yang letaknya di persimpangan jalur komunikasi dunia di asia tenggara, ikut mempengaruhi keadaan demografis, ekonomis, sosial dan kultural bangsa Indonesia.
2. Faktor Subyektif yang meliputi faktor historis, sosial, politik, dan kebudayaan yang dimiliki Indonesia. Hasil interaksi berbagai faktor menghasilkan pembentukan masyarakat, bangsa dan negara beserta Identitas bangsa Indonesia.

Robert de Ventos mengemukakan teori munculnya identitas suatu bangsa sebagai hasil dari interaksi historis antara empat faktor penting yaitu:
1.Faktor primer: Etnis, teritorial, bahasa, agama, dan lainnya yang berbeda menyatu dalam suatu persekutuan hidup bersama, serta tidak menghilangkan keberanekaragaman. Nilai inilah yang kemudian disebut Bhineka Tunggal Ika.
2.Faktor pendorong: Meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembangunan lainnya dal kehidupan negara.
3.Faktor penarik: Mencakup komunikasi dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional.
4.Faktor reaktif: Faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia yang telah berkembang pada masa sebelum bangsa Indonesia mencapai Kemerdekaan.

C. Pancasila sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat Internasional, memiliki sejarah dan prinsip dalam hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Prinsip-prinsip perumusan ditemukan oleh para pendiri bangsa diangkat dari pandangan bangsa Indonesia yang kemudian di abstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat negara yaitu Pancasila.
Pancasila dikatakan bahwa sebagai dasar filsafat bangsa dan negara pada hakikatnya bersumber pada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai kepribadian bangsa.

D.Sejarah Budaya Bangsa sebagai Akar Identitas Nasional
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang. Berdasarkan kenyataan objektif tersebut maka untuk memahami jati diri bangsa Indonesia serta identitas nasional tidak dapat dipisahkan dengan akar budaya yang mendasari identitas nasional Indonesia yang dimulai sejak zaman Kutai, Sriwijaya, Majapahit, serta kerajaan lainnya.
Nilai-nilai esensial yang terkandung dalam pancasila yaitu: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan keadilan dalam kenyataannya telah dimiliki bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum terbentuk negara.
Proses terbentuknya bangsa dan negara Indonesia melalui suatu tahapan sejarah yang cukup panjang yaitu sejak jaman kerajaan-kerajaan pada abad ke IV kemudian dasar-dasar kebangsaan mulai timbul pada abad ke-VII yaitu ketika timbulnya kerajaan Sriwijaya dibawah wangsa syailendra di Palembang, kemudian kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Proses terbentuknya nasionalisme yang berakar pada budaya ini menurut Yamin diistilahkan sebagai fase terbentuknya nasionalisme lama, dan oleh karena itu secara objektif sebagai dasar identitas nasionalisme Indonesia
Dasar pembentukan nasionalisme modern dirintis oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia antara lain oleh angkatan 1908, kemudian angkatan sumpah pemuda 1928, dan akhirnya pada 1945.
Oleh karena itu, akar nasionalisme Indonesia yang berkembang dalam prespektif sejarah sekaligus juga merupakan unsur Identitas nasional.


Dirangkum oleh Liberta Bintoro Ranggi wirasakti
dari Buku Kewarganegaraan Prof. Kaelan
Solo,. Oktober 2010

Filsafat Pancasila

FILSAFAT PANCASILA

A. Pengertian Filsafat
Filsafat adalah satu bidang ilmu yang senantiasa ada dan menyertai kehidupan manusia. Dengan lain perkataan selama manusia hidup, maka sebenarnya ia tidak dapat mengelak dari filsafat, atau dalam kehidupan manusia senantiasa berfilsafat. Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philein yang artinya cinta dan shopos yang artinya kebijaksanaan, jadi secara harfiah istilah filsafat adalah mengandung makna cinta kebijaksanaan. Hal ini nampaknya sesuai dengan sejarah timbulnya ilmu pengetahuan, yang sebelumnya dibawah naungan filsafat.
Jikalau ditinjau dari lingkup pembahasannya, maka filsafat meliputi bidang bahasan antara lain tentang manusia, masyarakat, alam, pengetahuan, etika, logika, agama, estetika dan bidang lainnya.
Keseluruhan arti filsafat yang meliputi berbagai masalah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam sebagai berikut :
Pertama : Filsafat sebagai produk mencakup pengertian
a. Pengertian filsafat yang mencakup arti-arti filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep dari para filsuf pada zaman dahulu, teori, sistem atau pandangan tertentu. Yang merupakan hasil dari proses berfilsafat.
b. Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari aktivitas berfilsafat, yang pada umumnya proses pemecahan persoalan filsafat ini diselesaikan dengan kegiatan berfilsafat.
Kedua : Filsafat sebagai suatu proses mencakup pengertian
Filsafat yang diartikan sebagai bentuk suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objek permasalahannya. Filsafat merupakan suatu sistem yang dinamis dalam pengertian filsafat tidak lagi hanya merupakan sekumpulan dogma yang hanya diyakini, ditekuni, melainkan dengan menggunakan suatu cara dan metode sendiri.
B. Pengertian Pancasila sebagai Suatu Sistem
Sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh, system lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Suatu kesatuan bagian-bagian
2) Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
3) Saling berhubungan, slaing ketergantungan
4) Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan system)
5) Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voich, 1974:22)
Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila setiap sila pada hakikatnya merupakan asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri tujuan tertentu, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Isi sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Maka dasar filsafat Negara Pancasila adalah merupakan suatu kesatuan yang bersifat majemuk tunggal (majemuk artinya jamak) (tunggal artinya satu).
Sila-sila pancasila merupakan sistem filsafat pada hakikatnya, merupakan suatu kesatuan organis, antara sila-sila pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi.
Kenyataan Pancasila yang demikian itu disebut kenyataan objektif. Yaitu Pancasila sebagai sistem filsafat bersifat khas dan berbeda dengan sistem filsafat lainnya, seperti liberalisme, komunisme, dan lain-lain.
C. Kesatuan Sila-Sila Pancasila
1. Susunan Pancasila yang bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramida
Susunan Pancasila adalah hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal, yang menggambarakan hubungan hirarki sila-sila Pancasila dalam urutan luas(kuantitas) dan juga dalam sifat-sifatnya(kualitas). Secara ontologis kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal adalah sebagai berikut : bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai Causa Prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan (Sila 1). Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok Negara, karena Negara adalah lembaga kemanusiaan, Negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (Sila 2). Maka Negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (Sila 3). Rakyat adalah sebagai totalitas individu-indvidu dalam Negara yang bersatu (Sila 4). Keadilan pada hakikatnya merupakan tujuan suatu keadilan dalam hidup bersama atau dengan lain perkataan keadilan sosial (Sila 5).
2. Kesatuan Sila-sila Pancasila yang saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi
Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam rangka hubungan hirarki piramidal tadi. Untuk kelengkapan dari hubungan kesatuan keseluruhan dari sila-sila Pancasila dipersatukan dengan rumus hierarkis tersebut di atas.
1) Sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dpimpin oleh hikmat kebijakasaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2) Sila kedua : kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanudiaan yang Berketuhan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3) Sila ketiga : persatuan Indonesia adalah persatuan yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilann, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4) Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah kerakyatan yang Berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5) Sila kelima : keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang Berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. (Notonagaro:1975)
D. Kesatuan Sila-sila Pancasila sebagai Suatu Sistem Filsafat
Kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hirarkis dan mempunyai bentuk piramidal, digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila dalam Pancasila dalam urut-urutan luas (kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu dalam arti formal logis.
Secara filosofi Pancasila sebagai suatu kesatuan system filsafat memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme, dan lain paham filsafat di dunia.
1. Dasar Ontologis Sila-sila Pancasila
Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat nutlak monopluralis. Oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropolgis. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil.
Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat Negara bahwa Pancasila adalah dasar filsafat Negara, adapun pendukung pokok Negara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri, sehingga tepatlah jikalau dalam filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar antropologis sila-sila Pancasila adalah manusia.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologisme memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa.
Hubungan kesesuaian antara dengan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat yaitu Negara sebagai pendukung hubungan dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil adalah sebagai sebab adapun Negara adalah sebab akibat.
2. Dasar Epistemologis Sila-sila Pancasila
Sebagai suatu ideologi maka Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dari pendukungnya yaitu : 1) logis, yaitu rasionalitas atau penalarannya, 2) pathos yaitu penghayatannya, dan 3) ethos yaitu kesusilaannya (Wibisono, 1996:3).
Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemology yaitu: pertama tentang sumber pengetahuan manusia, kedua tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia(Titus:1996)
Persoalan epistemologi dalam hubungannya dengan Pancasila dapat dirinci sebagai berikut :
Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukannya hanya merupakan perenungan serta pemikiran seseorang atau beberapa orang saja namun dirumuskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan Negara. Bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis Pancasila.
Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal yaitu : pertama, isi arti Pancasila yang umum universal yaitu hakikat sila-sila Pancasila. Kedua, isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif Negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia. Ketiga, isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan kongkrit yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praktis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat yang khusus kongkrit serta dinamis.(Notonagoro:1975)
Pembahasan berikutnya adalah pandangan Pancasila tentang pengetahuan manusia. Maka konsepsi dasar ontologism sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis merupakan dasar pijak epistemology Pancasila. Pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rokhani). Tingkatan hakikat raga manusia adalah unsur-unsur : fisis anorganis, vegetative, animal. Kebenaran dalam pengetahuan manusia adalah merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi yaitu kebenaran mutlak 3.Dasar Aksiologis Sila-sila Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologisnya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan.
Ada sekelompok orang mendasarkan pada orientasi nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu berorientasi pada nilai yang nonmaterial nilai-nilai material relative lebih mudah diukur yaitu menggunakan indra maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, lebar, luas, dan sebagainya.
Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis yaitu nilai material, nilai vital, nilaia kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematik-hirarkis, dimana sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan Sosial sebagai tujuannya.

a. Teori Nilai
Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
1) Nilai-nilai kenikmatan : dalam tingkat ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
2) Nilai-nilai kehidupan : dalam tingkat ini terdapatlah nilai-nilai yang penting bagi kehidupan, misalnya kesehatan.
3) Nilai-nilai kejiwaan : dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan.
4) Nilai-nilai kerokhanian : dalam tingkat ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci dan tak suci.
Walter G. Everet menggolong-golongkan nilai manusiawi ke dalam delapan kelompok yaitu:
1) Nilai-nilai ekonomis
2) Nilai-Nilai kejasmanian
3) Nilai-nilai hiburan
4) Nilai-Nilai sosial
5) Nilai-nilai watak
6) Nilai-nilai estetis
7) Nilai-nilai intelektual
8) Nilai-nilai keagamaan
Notonegoro membagi nilai-nilai menjadi tiga yaitu :
1) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
2) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
3) Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani. Nilai kerohanian dibagi menjadi empat macam yaitu
a. Nilai kebenaran
b. Nilai keindahan
c. Nilai kebaikan
d. Nilai religius
Nilai-nilai material relative lebih mudah diukur, yaitu dengan menggunakan alat indera maupun alat pengukur seperti berat, panjang, luas dan sebagainya.
b. Nilai-nilai Pancasila sebagai Suatu Sistem
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dan bobot yang berbeda, namun nilai-nilai itu tidak saling bertentangan. Akan tetapi nilai itu saling melengkapi. Pancasila merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, atau kesatuan organik. Hakikat sila-sila Pancasila (substansi Pancasila) adalah merupakan nilai-nilai, sebagai pedoman Negara adalah meruoakan norma, adapun aktualisasinya merupakan realisasi kongkrit Pancasila.
E. Pancasila sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia
1. Dasar Filosofi
Pancasila sebagai dasar filsafat Negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis.
Dasar pemikiran filosofis dari sila-sila Pancasila sebagai dasar filsafat Negara adalah sebagai berikut. Pancasila sebagai filsafat bangsa dan Negara Republik Indonesia, mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan serta kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaa, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari suatu pandangan bahwa Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan dalam hidup manusia (legal society) atau masyarakat hukum. Adapun Negara yang didirikan oleh manusia itu berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga dari Negara sebagai persekutuan hidup adalah berkedudukan kodrta manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa (hakikat sila pertama).
Selain itu secara kausalitas bahwa nilai-nilai Pancasila adalah bersifat objektif dan juga subjektif. Artinya esensi nilai-nilai Pancasila adalah bersifat universal yaitu Ketuhanan,Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.
Nilai-nilai Pancasila bersifat objektif dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya hakikat maknanya yang terdalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum universal dan abstrak, karena merupakan suatu nilai.
2) Inti nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa Indonesia dan mungkin juga pada bangsa lain baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan maupun dalam kehidupan keagamaan.
3) Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum mememuhi syarat sebagai pokok kaidah yang fundamental Negara sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia.
2. Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara
Adapun Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya memuat nilai-nilai Pancasila mengandung Empat Pokok Pikiran yang bilamana dianalisis makna yang terkandung didalamnya tidak lain adalah merupakan derivasi atau penjabaran dari nilai-nilai Pancasila.
Pokok Pikiran Pertama menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara persatuan, yaitu Negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan.
Pokok Pikiran Kedua menyatakan bahwa Negara hendak mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pokok Pikiran Ketiga menyatakan bahwa Negara berkedaulatan rakyat.
Pokok Pikiran Keempat menyatakan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
F. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia
Istilah ideologi berasal dari kata ‘idea’ yang berarti ‘gagasan’ konsep, pengertian dasar, cita-cita’ dan ‘logos’ yang berarti ‘ilmu’. Kata ‘idea’ berasal dari kata bahasa Yunani ‘eidos’ yang artinya ‘bentuk’. Ada kata ‘idein’ yang artinya ‘melihat’. Secara harafiah, ideology berarti ilmu pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari, ‘idea’ disamakan artinya dengan ‘cita-cita’. Cita-cita yang dimaksud adalah cita-cita yang bersifat tetap yang harus dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat tetap itu sekaligus merupakan dasar, pandangan atau faham.
G. Makna Nilai-nilai Setiap Sila Pancasila
Sebagai suatu dasar filsafat Negara maka sila-sila Pancasila merupakan suatu system nilai, oleh karena itu sila-sila Pancasila itu pada hakikatnya merupakan suatu kesatua. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila adalah sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meiputi dan menjiwai keempat sila lainnya.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab secara sistematis didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, serta mendasari dan menjiwai ketiga sila berikutnya. Nilai kemanusiaan ini bersumber pada dasar filosofis antropologis bahwa hakikatnya manusia adalah susunan kodrat rokhani (jiwa) dan raga, sifat kodrat individu dan makhluk sosial, kedudukan kodrat makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa.
Nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makluk yang berbudaya bernoral dan beragama.
Dalam kehidupan kenegaraan harus senantiasa dilandasi oleh moral kemanusiaan antara lain dalam kehidupan pemerintahan Negara, politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, pertahan dan keamanan serta dalam kehidupan keagamaan.
3. Persatuan Indonesia
Nilai yang terkandung dalam sila Persatuan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan keempat sila lainnya karena seluruh sila merupakan suatu kesatuan yang bersifat sistematis.
Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa Negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makluk individu dan makluk sosial. Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama diantara elemen-elemen yang membentuk Negara yang berupa, suku, ras, kelompok, golongan maupun kelompok agama.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
Nilai filosofis yang terkandung didalamnya adalah bahwa hakikat Negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makluk individu dan makluk sosial. Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai makluk Tuhan yang Maha Esa yang bersatu yang bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia dalam suatu wilayah Negara. Rakyat adalah merupakan subjek pendukung pokok Negara. Maka nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam sila kedua adalah (1) adanya kebebasan yang harus disertai dengan tanggung jawab baik terhadap masyarakat bangsa maupun secara moral terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (2) Menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. (3) Menjamin dan memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama. (4) Mengakui atas perbedaan individu, kelompok, ras, suku, agama, karena perbedaan adalah merupakan suatu bawaan kodrta manusia. (5) Mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setiap individu, kelompok, ras, suku maupun agama. (6) Mengarahkan perbedaan dalam suatu asas musyawarah sebagai moral kemanusiaan yang beradab. (8) Mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan sosial agar tercapainya tujuan bersama.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Konsekuensinya nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam hidup bersama adalah meiputi (1) keadilan distributif, yaitu suatu hubungan keadilan antara Negara terhadap warganyam dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban. (2) Keadilan legal (keadilan bertaat) yaitu suatu hubungan keadilan antara warga Negara terhadap Negara dan dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Negara. (3) Keadilan komulatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga saru dengan lainnya secara timbale balik.
Tujuan Negara yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya serta melindungi seluruh warganya dan seluruh wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya.
H. Pancasila sebagai Dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoretis yang umum yang merupakan suatu sumber nilai.
Negara adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia individu makhluk sosial (Notonegoro, 1975) yang senantiasa tidak dapat dilepaskan dengan lingkungan geografis sebagai ruang tempat bangsa tersebut hidup.
Kenyataan objektif nilai-nilai filosofis Pancasila sebagai paradigm kehidupan kenegaraan dan kebangsaan sebenarnya bukanlah hanya pada tingkatan legitimasi yuridis dan politis saja, melainkan pada tingkatan sosio-kultural religious.
Secara lebih rinci filsafat Pancasila sebagai dasar kehidupan kebangsaan dan kenegaraan adalah merupakan Identitas Nasional Indonesia. Hal ini didasarkan pada suatu realitas bahwa kausa materialis atau asal nilai-nilai Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri.
Pancasila juga merupakan dasar dan basis geopolitik dan geostrategic Indonesia. Geopolitik diartikan sebagai kebijaksanaan dan strategi nasional Indonesia, yang didorong oleh aspirasi nasional geografik atau kepentingan yang titik beratnya terletak pada pertimbangan geografi.
Sebagai konsekuensi dari konsep geopolitik Indonesia, maka Pancasila merupakan dasar filosofi geostrategi Indonesia. Geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.


Oleh Liberta Bintoro Ranggi Wirasakti
dirangkum dari /buku kewarganegaraan pendidikan tinggi Prof.Kaelan

Rabu, 06 Oktober 2010

Persamaan, Perbedaan, Kelebihan dan Kekurangan Norma-Norma Sosial

Persamaan, Perbedaan, Kelebihan dan Kekurangan Norma-Norma Sosial
A. Persamaan
Norma-norma sosial memiliki beberapa persamaan yaitu:
1. Mengandung perintah: setiap norma memiliki perintah untuk berbuat sesuatu yang baik.
2. Mengandung larangan: norma berisi keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu.
3. Bertujuan mengatur tingkah laku manusia atau kehidupan manusia.
4. Ditujukan untuk kebaikan manusia bersama.
5. Memiliki dasar untuk mewujudkan ketertiban masyarakat.
6. Memiliki Sanksi.
B. Perbedaaan
Norma Agama, Kesopanan, Kesusilaan, dan Hukum memiliki perbedaan satu sama lain secara umum, yaitu:
1. Jenis sanksi setiap norma berbeda satu sama lain.
2. Sumber Norma: wahyu Tuhan(Norma Agama), hati( Norma Kesusilaan), pergaulan (Norma Kesopanan), penguasa negara yang berwenang (Norma Hukum).
3. Kekuatan aturannya: norma hukum memiliki kekuatan yang paling tinggi, karena bersifat memaksa.
4. Hal-hal yang diatur: norma hukum memiliki aturan yang lebih terperinci.
5. Kelanggengan norma : Norma hukum bersifat dinamis mengikuti perkembangan zaman.
C. Kelebihan dan kekurangan norma-norma Sosial

1. Norma Agama
Kelebihan:
a. Landasannya bersifat pasti, karena berasal dari wahyu Tuhan
b. Bersifat Universal
c. Memiliki dua jenis peraturan yaitu untuk dunia dalam bermuamalat, dan masalah peribadatan/ masalah akhirat.
d. Norma agama merupakan norma tertinggi, karena berasal dari Tuhan.
Kelemahan:
a. Ada banyak agama di dunia, dan di Indonesia khususnya, di mana setiap pemeluk agama tidak ingin diatur oleh norma agama lain, sehingga sering terjadi konflik di antara masyarakat.
b. Norma agama masih mengatur hal-hal yang bersifat umum,
c. Sebagian hukuman pelanggaran norma agama bersifat eksatologis, sehingga banyak orang atau pengikut yang meremehkan.
2. Norma Kesopanan
Kelebihan:
a. Mengatur tingkah laku manusia agar lebih baik dalam bertata krama.
b. Bersifat persuasif, ajakan untuk bersopan santun diajarkan dengan ajakan tanpa memiliki paksaan dan kekerasan.
Kekurangan:
a. Hukuman bagi pelanggar kurang keras, sekedar gunjingan dari masyarakat.
b. Norma ini hanya mengatur perilaku manusia dalam bersosial/ bertata krama dengan manusia lain, bukan masalah yang lebih kompleks.
c. Nilai Sopan hanya berlaku pada budaya setempat, sehingga tidak universal, karena apa yang dianggap masyarakat suatu tempat sebagai kesopanan, belum tentu sopan bagi budaya masyarakat lain.
3. Norma Kesusilaan
Kelebihan:
a. Berasal dari hati sanubari, sehingga para pelanggar norma akan merasa bersalah pada diri sendiri.
b. Bersifat universal, karena semua orang memiliki hati sanubari sumber dari norma kesusilaan.
Kekurangan:
a. Bisa disepelekan oleh sebagian masyarakat.
b. Tidak terlihat sehingga aturan tidak mengikat dalam hubungan antarmanusia.
4. Norma Hukum:
Kelebihan:
a. Mempunyai sifat memaksa, sehingga mau tidak mau masyarakat harus mematuhinya.
b. mengikat semua warga yang terikat hukum yang dijalani masyarakat.
c. Hal yang diatur bersifat khusus atau detail sehingga jelas.
Kekurangan:
a. Aturan hukum rentan dikalahkan oleh kekuasaan / orang yang berkuasa.
b. Norma hukum sering disalahgunakan dengan suap dan lain-lain
c. Norma hukum sering bersifat sekuler sehingga sebagian orang yang beragama merasa gamang menaatinya.

Oleh Liberta bintoro Ranggi wirasakti