Sabtu, 18 Mei 2013

Keadilan Basis Nasionalisme

Disadur dari Opini pakar yang berjudul "Keadilan Basis Nasionalisme"
Ditulis Oleh Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Dimuat di KORAN SINDO, 11 Mei 2013



Ketika memberikan sambutan saat menerima anugerah People of the Year 2010 dari harian Seputar Indonesia (kini KORAN SINDO) saya mengatakan, basis dan strategi nasionalisme kita ke masa depan adalah menegakkan hukum dan keadilan.

Dulu kita membangun strategi nasionalisme melalui gerakan bersenjata, merapikan dan memperkuat tentara, menggalang dukungan rakyat melalui perang sabil dengan senjata seadanya. Lawan kita pada masa lalu adalah negara lain yang ingin menjajah atau ingin merampas kemerdekaan. Tepatnya, dulu kita membangun strategi nasionalisme dengan kesiapan penuh berperang melawan kekuatan negara lain yang ingin menjajah atau menghancurkan kita.

Maka, dulu ada semboyan merdeka atau mati, merebut dan mempertahankan kemerdekaan atau mati tersungkur di hadapan tentara penjajah. Itu dulu. Pada saat ini musuh nyata nasionalisme yang kita hadapi adalah ketidakadilan dan lemahnya penegakan hukum. Tidak ada lagi sekarang ini negara lain yang ingin secara langsung mencaplok kedaulatan negara kita melalui kekuatan bersenjata. Tidak ada negara yang secara nyata akan mengambil kemerdekaan kita.

Sehingga strategi pembangunan nasionalisme tak perlu dilakukan melalui penyiapan gerakan bersenjata untuk berperang secara fisik. Pada saat ini musuh paling nyata atas kelangsungan bangsa dan negara Indonesia adalah mafia hukum dan hilangnya keadilan sebagai sukma hukum. Kita harus katakan bahwa mafia hukum dan tidak tegaknya sukma hukum tersebut, yaitu keadilan, adalah ancaman bagi hancurnya negara yang tak kalah dahsyatnya bila dibandingkan dengan ancaman atau serangan fisik dari negara lain.

Bahwa ketidakadilan mengancam kelangsungan negara bisa dibuktikan bukan hanya oleh ajaran agama yang bisa saja dianggap dogmatik-normatif tetapi dibuktikan oleh fakta. Di dalam agama Islam sangat dikenal hadis Nabi, bahwa hancurnya negara dan bangsabangsa di masa lalu tidak lain karena bila ada orang lemah melanggar hukum langsung dijatuhi hukuman, tetapi jika ada orang kuat, baik secara ekonomi maupun politik, melanggar hukum tidak jua dihukum.

Jika hukum dan keadilan tidak ditegakkan, maka kehancuran suatu negara dan bangsa hanya menunggu waktu. Hadis Nabi ini didukung oleh fakta sejarah tentang timbul dan tenggelamnya bangsa-bangsa di masa lalu, seperti Mesir, Persia, Romawi, berbagai dinasti di Tiongkok, dan lain-lain. Sesudah wafatnya Nabi, berbagai khilafah dalam Islam pun banyak yang bubar karena kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.

Di Nusantara kita mengenal munculnya kerajaan-kerajaan besar yang kemudian tenggelam karena perang saudara yang menimbulkan saling fitnah dan ketidakadilan. Sebutlah hancurnya Kerajaan Singosari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Sriwijaya, dan sebagainya. Kehancuran mereka selalu didahului oleh menguatnya hawa nafsu di kalangan elite yang kemudian menimbulkan konflik dan ketidakadilan.

Hukum di Tangan Penguasa

Disadur dari Opini yang berjudul "Hukum di Tangan Penguasa"
Ditulis oleh W Riawan Tjandra ; Pengajar di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Dimuat di koran REPUBLIKA, tanggal 06 Mei 2013


Karut-marut penegakan hukum di negeri ini memberikan pertanda (sign) bahwa realitas penegakan hukum di negeri ini masih jauh dari amanah konstitusi yang menegaskan republik adalah sebuah neg ara hukum. Kasus perlawanan eksekusi oleh Susno, meski pada akhirnya bersedia menyerahkan diri setelah sempat melakukan tawar-menawar dengan Kejakgung mengenai cara dan tempat eksekusinya, masih samarnya penegakan hukum dalam kasus bail out Century, dan sejenisnya adalah tanda-tanda (signifier) dari sebuah negara hukum yang mengalami kemerosotan.

Tidak adanya keteladanan dari pemimpin/elite penguasa dalam mematuhi hukum merupakan awal terjadinya banalitas keadilan dalam penegakan hukum. Filsuf al-Farabi pernah mengatakan bahwa pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat ialah pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam tubuh manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepalalah, menurut al-Farabi, yang menjadi sumber dari segala peraturan dan keharmonisan dalam masyarakat. Ia mesti bertubuh sehat dan kuat, pintar, serta cinta pada ilmu pengetahuan dan pada keadilan. Al Farabi meyakini bahwa peran pemimpin/elite penguasa merupakan fondasi dari tegak atau ambruknya pilar-pilar hukum dan keadilan di suatu negara.

Al-Farabi membuat klasifikasi negara menjadi beberapa macam, tiga di antaranya adalah negara utama, negara yang bodoh, dan negara yang rusak.
Negara yang utama adalah negara yang masing-masing warganya, baik pemimpin maupun rakyat, sadar akan hak dan kewajiban masing-masing.

Pemidanaan terhadap Pelaku Kejahatan Elitis

Disadur dari Opini pakar yang berjudul "Pemidanaan terhadap Pelaku Kejahatan Elitis"
Ditulis oleh Erlangga Masdiana ; Kriminolog Universitas Indonesia
Dimuat di MEDIA INDONSIA, 13 Mei 2013


BANYAK keistimewaan diperoleh para pelaku kejahatan elitis, terutama pelaku kejahatan korupsi dan narkoba. Dengan kekuatan ekonomi dan akses yang diperoleh, mereka dapat memengaruhi tidak hanya saat berada di luar lembaga pemasyarakatan (LP), tapi juga saat mendekam di dalam hotel prodeo. Vonis hakim yang memasukkan mereka ke LP tidak menyurutkan aktivitas sehari-hari mereka.


Artalyta, contohnya. Ia tampaknya menikmati LP dengan penuh ‘gaya lain’. Ruang pemidanaannya didesain dengan rasa nyaman, penuh dengan aksesori. Begitu juga dengan Gayus Tambunan, yang kedapatan bisa keluar-masuk LP dengan bebas.


Kekayaan dengan hasil korupsi tidak hanya dimanfaatkan untuk menebar uang di luar penjara. Di dalam LP, uang pun disebar dengan leluasa. Kelompok pelaku kejahatan narkoba pun melakukan tindakan yang sama dengan para koruptor. Pelaku mendesain, menggerakkan, dan mengontrol aktivitas peredaran barang haram dari dalam LP.


Berbeda halnya dengan para pelaku kejahatan jalanan yang menjalani hukuman seadanya. Tidak ada uang suap yang dapat diberikan kepada petugas karena rata-rata mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka pasrah dan menyerahkan nasib menunggu kalau ada remisi tahunan. Kalau tidak betah di penjara, paling-paling mereka berkontemplasi atau berbagi pengalaman hidup dan pengalaman tentang perbuatan jahat mereka. Tidak mengherankan bila pelaku ke jahatan konvensional, setelah keluar LP, makin banyak me nyerap pengetahuan kejahatan, ditambah lagi dengan stigmatisasi masyarakat yang sulit menerima mereka.

disadur dari opini pakar yang berjudul "Legislator, Polri, dan Jenderal Polisi"
Ditulis Oleh : Amien Sunaryadi ; Mantan Wakil Ketua KPK; Perancang Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional 1999 BPKP
Dimuat di Koran KOMPAS, tanggal 14 Mei 2013



Beberapa waktu lalu, ada dua berita yang menarik. Pertama, mulai disidangkannya perkara korupsi Djoko Susilo. Kedua, gagalnya pelaksanaan eksekusi putusan perkara korupsi dengan terpidana Susno Duadji. Kedua jenderal itu sebelumnya adalah jenderal hebat di jajaran Polri.


Menyimak dakwaan penuntut umum KPK terhadap Djoko Susilo menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi telah dilakukan oleh level jenderal. Membandingkan penyidikan KPK dan penyidikan Bareskrim (Polri) terhadap kasus yang sama tersebut, simulator SIM, terdapat isu yang menarik. Terlihat bahwa penyidikan yang dilakukan Bareskrim telah diarahkan untuk tidak menemukan pelaku korupsi yang sebenarnya.


Mengingat para penyidik kunci dari Bareskrim yang melakukan penyidikan tersebut adalah para mantan penyidik KPK, besar kemungkinan arahan penyidikan berasal dari pimpinan para penyidik tersebut, yang tentu saja berlevel jenderal. Ini merupakan petunjuk adanya obstruction of justice—tindakan menghalang-halangi proses penegakan hukum—setidaknya diketahui oleh level jenderal.


Pelaksanaan eksekusi terhadap Susno Duadji telah gagal dilaksanakan eksekutor dari kejaksaan. Kita masih ingat bahwa penyidikan terhadap Susno dulu dilakukan Bareskrim. Artinya, kegagalan eksekusi tersebut juga merupakan bentuk kegagalan penuntasan hasil kerja Bareskrim.


Pernyataan Firdaus Dewilmar selaku koordinator tim eksekutor kejaksaan bahwa upaya mengeksekusi Susno bukan gagal, melainkan digagalkan, merupakan petunjuk adanya obstruction of justice yang dilakukan Polri di tingkat Polda Jawa Barat. Ini pun setidaknya diketahui oleh level jenderal.
Kedua isu tersebut, pengarahan penyidikan dan penggagalan eksekusi, adalah dua isu krusial sebagai obstruction of justice.

Membantah Isu

Disadur dari opini pakar/ tokoh yang berjudul "Membantah Isu"
Ditulis oleh Rhenald Kasali ; Ketua Program MM UI
dimuat di JAWA POS, tanggal 14 Mei 2013


ISU, bisa benar, bisa juga isapan jempol. Pokoknya, selama jadi pembicaraan dan sifatnya tidak "resmi" dia adalah isu. Sulitnya memang menafsirkan arti kata "resmi" itu apa. Kalau sistem pengadilan kita bisa dipercaya, ya tentu saja "resmi" itu adalah putusan pengadilan. Kalau dulu, resmi itu miliknya pemerintah. Jadi, selama pemerintah belum bicara, belum diputuskan (misalnya isu devaluasi atau kenaikan BBM), suatu berita tetaplah isu.

Sekarang isu itu bergantung pada siapa yang bisa dipercaya masyarakat. Apakah Anda lebih percaya pada KPK atau PKS? Apakah Anda lebih menganggap korupsi musuh rakyat, atau Anda pikir itu boleh-boleh saja? Demikian juga soal Eyang Subur. Terserah siapa yang Anda percaya: Polisi, MUI, Adi Bing Slamet, atau Eyang Subur sendiri. Semakin banyak pilihan publik, dia adalah sebuah isu.

Diikat atau Dilepas


Dulu pernah ada isu "lemak babi". Mulanya seorang dosen di Malang yang meneliti soal kandungan yang "diduga" mengandung zat-zat yang diharamkan umat Islam. Dia memeriksa label, bukan membawanya ke lab. Setelah dicek, bila ada kata alkohol, gelatin, dan atau lard, dia mengklarifikasikan produk-produk itu sebagai "diragukan".

Karena publik tak paham arti kata-kata itu, isu cepat beredar. Publik takut mengonsumsi produk-produk tersebut. Tetapi, karena daya ingat manusia terbatas, orang-orang yang mau membantu "mengingatkan" kita membuatnya tertulis. Sayangnya, mereka tak punya sumber aslinya. Jadi, mereka membuat list menurut versi mereka. Bisa dibayangkan distorsinya besar sekali.

Satu orang membuat list, yang lain menambahkan, akhirnya produser-produser mi instan, kecap, margarin, es krim, biskuit, sampai sabun mandi - yang tak ada kaitannya sama sekali dengan isu itu ikut disebut. Mereka dihujat habis, diboikot konsumen, penjualannya merosot dan nyaris gulung tikar, bahkan melakukan PHK.

Lalu apa yang dilakukan masing-masing pemilik perusahaan itu?

Ya, seperti halnya PKS yang menurunkan Fahri Hamzah, mereka semua muncul di depan TV dan koran; membantah. Bedanya, Fahri Hamzah terlihat penuh amarah, seperti mau berkelahi.

Tepatkah langkah itu?

Topik ini pernah saya kaji dalam disertasi saya di Amerika Serikat, dan temuannya sungguh menarik. Pertama, setiap orang yang sedang menjadi sasaran berita "negative" (terlepas ia benar atau salah) adalah "tidak kredibel" (dalam menjawab). Kedua, semakin dibantah, ikatan antara objek isu dengan orang/pihak yang membantah akan semakin kuat. Ketiga, untuk melepaskan ikatan itu, sumber berita yang tengah mendapat "serangan", sebaiknya lebih bijak dalam bercakap. Bahkan, diam itu mungkin lebih baik.

Namun, ada temuan lain. Yaitu, kalaupun mau dijawab, jagalah nama baik Anda. Jawablah dengan manis, dengan wisdom. Ingat lho, kita hidup dalam peradaban kamera. Televisi yang Anda lihat bukan sekadar televisi, melainkan social TV. Dalam peradaban kamera-social TV, khalayak bukan cuma menilai apakah Anda pintar atau bodoh, ganteng atau jelek, melainkan juga gesture Anda. Dari situ kelihatan aura seseorang. Dengan demikian, bila Anda menurunkan "si mulut besar" yang meledak-ledak sebagai juru bicara, dia justru bisa "back fired" dan organisasi kehilangan kepercayaan besar yang sudah dimiliki.

Ayo, berhati-hatilah dalam berbicara. Genit di depan kamera sih bagus. Kalau terlalu "genit", ya susah juga. Ini namanya camera branding, bukan sekadar branding. Dan, strategi auragenic jauh lebih bagus daripada sekadar cameragenic.

Miskinkan Koruptor

Disadur dari opini pakar hukum yang berjudul "Miskinkan Koruptor"
Ditulis Oleh Yenti Garnasih ; Pakar Hukum Universitas Trisakti
dimuat di SUARA KARYA, tanggal 14 Mei 2013


Minimnya upaya penegak hukum untuk mengembalikan uang hasil korupsi, akibat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) "enggan" atau belum sepenuhnya menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Padahal, melalui undang-undang itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menelusuri uang hasil kejahatan, merampasnya, dan memiskinkan koruptor. KPK juga bisa memenjarakan siapa pun yang ikut menikmati atau menguasai hasil korupsi sebagai pelaku pencucian uang, meski mereka tidak terlibat korupsi.


Yang penting lagi, seharusnya KPK selalu menggunakan UU TPPU sejak awal penyidikan bersamaan dengan UU Anti Korupsi. Sayang bahwa perspektif KPK belum ke arah itu. Padahal, polisi justru selalu menerapkan UU TPPU dalam penanganan korupsi. Penerapan UU TPPU dalam penanganan korupsi mutlak harus dilakukan kalau serius mau memenjarakan dan merampas kembali uang negara yang dikorupsi.


Dari buruknya penanganan korupsi di negara kita, bukan lagi waktunya untuk berlambat-lambat dalam bertindak. Bukan lagi harus memikirkan pembuatan undang-undang, tetapi optimalkan dulu aturan hukum yang sudah ada. Profesionalisme dan integrasi penegak hukum harus diperbaiki. Pandangan masyarakat pun perlu dibangun untuk menolak secara keras tindak pidana korupsi serta mengucilkan mereka dengan menghidupkan "budaya malu" apabila terlibat korupsi.

HAL IHWAL PENYITAAN

Disadur dari opini pakar hukum yang berjudul "Hal Ihwal Penyitaan"
ditulis oleh : Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
dimuat di koran KOMPAS, tanggak 15 Mei 2013



Ketegangan antara Partai Keadilan Sejahtera dan Komisi Pemberantasan Korupsi semakin meruncing menyusul tindakan pimpinan PKS yang melaporkan sejumlah oknum KPK ke Mabes Polri.
Laporan tersebut terkait penyitaan oleh KPK terhadap sejumlah mobil yang diduga berhubungan dengan tersangka korupsi impor daging sapi, Luthfi Hasan Ishak, di kantor PKS beberapa waktu lalu. Bagaimana sebenarnya hukum pidana mengatur hal ihwal penyitaan?


Hakikat penyitaan


Penyitaan adalah salah satu upaya paksa—selain penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan surat—yang dapat dilakukan terhadap barang atau benda yang diduga terkait suatu tindak pidana. Penyitaan ini pada hakikatnya dibutuhkan untuk kepentingan pembuktian dalam perkara pidana berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Untuk melakukan penyitaan diperlukan beberapa prosedur, antara lain surat izin ketua pengadilan negeri.


Kecuali dalam hal tertangkap tangan atau keadaan yang sangat perlu dan mendesak, bilamana penyidik harus bertindak dan tak mungkin mendapatkan surat izin terlebih dulu, penyidik dapat menyita sebatas benda bergerak dan wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri untuk memperoleh persetujuan.
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak mengatur khusus persoalan penyitaan. Artinya, jika Polri atau Kejaksaan yang melakukan penyidikan terhadap kasus korupsi, maka yang berlaku adalah prosedur penyitaan sebagaimana dimaksud KUHAP.


Hal ini berbeda dengan penyidikan yang dilakukan KPK. Berdasarkan Pasal 47 UU KPK, penyitaan dapat dilakukan hanya berdasarkan bukti permulaan yang cukup, tanpa izin ketua pengadilan negeri. Bahkan, secara tegas, Pasal 47 Ayat (2) undang-undang a quo menyebutkan bahwa ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mengatur tindakan penyitaan tidak berlaku berdasarkan undang-undang a quo. Konsekuensinya, KPK dapat melakukan penyitaan di luar prosedur yang diatur oleh KUHAP ataupun UU lain.


Lalu, apa saja yang boleh disita terkait tindak pidana korupsi? Dalam konteks teori, benda atau barang yang dapat disita dikualifikasikan ke dalam tiga jenis. Pertama, instrumentum sceleris, yaitu perampasan dalam pengertian penyitaan terhadap benda atau barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, objectum sceleris, yakni perampasan dalam pengertian penyitaan terhadap obyek yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Ketiga, fructum sceleris, yaitu penyitaan terhadap hasil tindak pidana korupsi.


Terkait fructum sceleris, seharusnya harta benda atau barang yang disita punya nilai yang sama jumlahnya dengan uang yang diduga dikorup. Tegasnya, penyitaan tidak boleh melebihi nilai uang yang diduga dikorup. Akan tetapi, sering kali KPK melakukan penyitaan terhadap harta benda atau barang melampaui nilai uang yang diduga dikorup oleh tersangka. Apakah hal ini dibolehkan? Secara teoretis tentunya tindakan KPK tidak dibenarkan, tetapi UU Pemberantasan Tipikor berkata lain.


Merujuk Pasal 38 B berikut penjelasannya dalam undang-undang a quo, secara implisit dimungkinkan penyitaan terhadap harta benda melebihi nilai yang diduga dikorup. Berdasarkan pasal tersebut, tersangka diwajibkan membuktikan harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Dengan demikian, secara hukum, tindakan KPK yang menyita harta benda melebihi nilai yang diduga dikorup adalah sah.


Upaya hukum atas penyitaan


Selanjutnya, apakah ada upaya hukum terhadap penyitaan yang salah prosedur atau penyitaan yang dilakukan terhadap barang atau benda yang sama sekali tak ada kaitan dengan perkara pidana yang sedang diproses? Salah satu kelemahan KUHAP adalah tidak adanya upaya hukum terhadap upaya paksa berupa penggeledahan, penyitaan, ataupun pemeriksaan surat. Upaya hukum terhadap upaya paksa berdasarkan KUHAP hanya dimungkinkan terkait sah-tidaknya penangkapan atau sah-tidaknya penahanan yang merupakan kompetensi praperadilan, selain penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dan gugatan ganti rugi serta rehabilitasi.


Kembali pada ketegangan antara PKS dan KPK, ada beberapa catatan penulis. Pertama, tindakan pimpinan PKS yang melaporkan oknum KPK ke Mabes Polri terkait penyitaan dapat dibenarkan secara hukum dengan mengingat KUHAP tak menyediakan upaya hukum terhadap tindakan penyitaan yang tak sesuai prosedur atau penyitaan yang dilakukan terhadap barang atau benda yang sama sekali tak ada kaitan dengan perkara pidana yang sedang diproses. Lazimnya, pasal yang akan disangkakan Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.


Kedua, pasal yang disangkakan (Pasal 335 KUHP) sebenarnya pasal keranjang sampah yang menurut memorie van toelichting (sejarah pembentukan KUHP di Twee de Kammer Belanda) hanya diperuntukkan bagi daerah jajahan. Dalam KUHP aslinya di Belanda (Wetbook van Strafrecht) pasal tersebut telah dihapus setelah Belanda memperoleh kemerdekaan dari Perancis. Ironisnya, hampir 68 tahun Indonesia merdeka, pasal tersebut masih diberlakukan.

Ketiga, jika KPK merasa penyitaan yang dilakukan sudah sesuai prosedur, untuk menghindari polemik ini KPK dapat melaporkan oknum PKS yang menghalang-halangi penyitaan dengan pasal yang berkaitan dengan obtruction of justice atau tindakan menghalang-halangi proses hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor.

KPK: Antara Hukum dan Politik

disadur dari opini pakar/ tokoh yang berjudul KPK : Antara Hukum dan Politik
Ditulis oleh Ichsanuddin Noorsy ; Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
dimuat di Koran SUARA KARYA, tanggal 16 Mei 2013



Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu menegaskan lembaganya tidak mau diseret-seret ke politik. Bahkan, dengan percaya diri, KPK menyatakan keputusan politik berbeda dengan keputusan hukum.


Argumen KPK seperti itu mengundang pertanyaan mendalam sekaligus memberi pesan kepada publik tentang sikap KPK. Apa yang dimaksud KPK tidak mau diseret-seret ke kancah politik, tidak dimengerti. Semua kasus korupsi berhubungan dengan penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di AS dan Singapura sekalipun, korupsi yang menyogok pihak penguasa selalu menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan pihak yang disuap.


Pertanyaannya sekarang apakah pihak yang berkuasa itu berani menghadapi kenyataan bahwa ada unsur yang mencederai nama baik partai dan merusak kepercayaan publik akibat tindakan korupsi? Tentu tidak! Apalagi, kalau partai itu menggunakan slogan cerdas, bersih, dan santun. Apakah dengan alasan tidak mau diseret ke kancah politik, lantas KPK menjadi independen terhadap kekuasaan? Itu tidak juga.


Dalam debat di sebuah radio swasta yang disebarluaskan secara nasional, saya mengatakan ketidakinginan diseret ke kancah politik itu justru menunjukkan KPK masuk ke ranah politik melalui politik penyelidikan dan penyidikan. Maksudnya, dengan mengajukan pertanyaan tertentu disebabkan tujuan tertentu, maka jawaban terperiksa bisa menunjukkan empat hal.


Pertama, diajukan pertanyaan yang memenuhi kepentingan politik sehingga jawaban tidak menemukan unsur tindak pidana korupsi atau pencucian uang. Kedua, diajukan pertanyaan tertentu yang bermaksud tidak menyinggung penguasa. Jawabannya, ditemukan bukti tapi tidak memadai atau dikenal dengan bukti yang sumir. Ketiga, pertanyaan terfokus pada tindak pidana korupsi, tapi ada mata rantai yang hilang antara subjek hukum dan objek hukum. Keempat, penyelidikan sejak awal memang dimaksudkan sebagai konsumsi politik sehingga sangat tergantung pada subjektivitas penguasa.


Oleh sebab itu, penegak hukum diminta untuk tidak memakai kacamata kuda yuridis formal. Benar bahwa persoalan pidana hanya berpijak pada hukum positif. Tetapi, saat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta vonis tidak menggunakan hati nurani yang tidak bisa membohongi setiap pribadi, kecuali memang sengaja diabaikan, maka hukum gagal mencerminkan dan menumbuhkembangkan rasa keadilan. Di sana hukum ditransaksikan, baik secara material (uang dan kekayaan) maupun jabatan.


Sekadar mengingatkan, perilaku kekuasaan dan penegak hukum seperti itu akan berakhir secara tidak menyenangkan, apalagi menenteramkan. Penguasa dan penegak hukum sepantasnya berupaya agar jabatannya memberi martabat dan pangkatnya mampu membangun rasa hormat. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka begitu mendalamnya kerusakan moral kekuasaan.


Karena, saya menyerahkan banyak dokumen ke penegak hukum pada berbagai kasus terindikasi korupsi sejak 2000 hingga 21 November 2008, baik ke Kejaksaan Agung maupun ke KPK. Maka politik penyelidikan sangat menentukan tinggi rendahnya muatan rasa keadilan masyarakat yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.


Begitu proses penyidikan dan proses di pengadilan hingga vonis, sangat tergantung pada kedalaman dan atau kedangkalan adopsi dan adaptasi rasa keadilan masyarakat. Makin dalam muatan kepentingan politik penguasa dan subjektivitas pemeriksa, makin dangkal rasa keadilan masyarakat diadopsi dan diadaptasi.

Apalagi, jika penegak hukum berkilah-kilah pada istilah-istilah hukum yang muatannya justru mengaburkan yuridis filosofis dan menenggelamkan yuridis sosiologis. Masyarakat akan merasakan bahwa rekayasa hukum sedang dilakukan demi kredibilitas penguasa.

Asas Kemanusiaan dan Asas Pengayoman

disadur dari opini pakar/ tokoh yang berjudul "Asas Kemanusiaan dan Asas Pengayoman"
Ditulis oleh Taufiequrahman Ruki ; Inspektur Jenderal Polisi (Purn);
Anggota Komisi III Hukum DPR dan Ketua KPK 2003-2007
dimuat di koran KOMPAS, tanggal 17 Mei 2013



Pembentukan suatu UU pada hakikatnya harus mampu memenuhi tujuan hukum, yaitu terciptanya kepastian, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat.


Materi muatan UU harus mengatur obyek yang diatur di dalamnya secara jelas sehingga menjadi suatu panduan, yang tidak multi-interpretasi: UU juga harus menjadi media masyarakat untuk memperoleh rasa keadilan. Pembentukan UU harus mempertimbangkan kebutuhan di masyarakat sehingga—pada saat lahirnya—masyarakat merasakan manfaat UU tersebut.


Karena itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mensyaratkan, pembentukan suatu UU harus mencerminkan sejumlah asas, di antaranya asas-asas yang dipersyaratkan, yakni asas kemanusiaan dan asas pengayoman.


Hal baru yang dituangkan dalam RUU Hukum Acara Pidana (HAP) yang tak ada dalam KUHAP (UU No 8/1981) adalah perlindungan hak korban. Ini ditegaskan dalam Pasal 5. Selanjutnya hak-hak korban diatur khusus dalam Pasal 133 dan 134 (Bab XI Bagian Ketiga Putusan Pengadilan tentang Ganti Kerugian terhadap Korban).


Di sini hakim diharuskan memutuskan terpidana untuk membayar ganti kerugian materiil kepada korban. Namun, RUU HAP tidak mengatur bagaimana cara hakim menentukan besarnya ganti kerugian. Apakah pihak (keluarga) korban dapat mengintervensi peradilan pidana atas perkara yang terkait, atau pihak (keluarga) korban mengajukan perhitungan nilai kerugian kepada jaksa penuntut umum, selanjutnya diajukan sekaligus dalam surat dakwaan. RUU HAP belum mengatur secara jelas.


Bertolak belakang dengan pengaturan hak korban yang hanya diatur dalam tiga pasal, hak tersangka dan terdakwa dapat porsi pengaturan yang jauh lebih besar, diatur dalam tiga bab: Bab V (Pasal 88-102); Bab VI (Pasal 103-108); Bab XII (Pasal 128-132). Perbandingan secara kuantitas jumlah pasal ini menunjukkan betapa RUU HAP lebih memerhatikan hak tersangka/terdakwa dibanding hak korban. Akan lebih baik bagi tim perumus RUU HAP merumuskan hak-hak tersangka/terdakwa dengan korban tersebut secara proporsional.

Perdangan Bebas dan Derita Buruh

Disadur dari opini pakar yang berjudul "Perdagangan Bebas dan Derita Buruh"
ditulis oleh:  Rachmi Hertanti ; Manager Riset & Monitoring Indonesia for Global Justice; Peneliti di ‘Tim Garuda Gugat WTO’
yang dimuat di IndoPROGRESS, tanggal16 Mei 2013


RIBUAN buruh kembali turun ke jalan. Aksi massa buruh ini tampaknya akan terus menjadi pemandangan rutin. Masih lekat dalam ingatan, ketika Januari 2012, para buruh dari kawasan-kawasan industri Kabupaten Bekasi, menyeruak memasuki jalan tol Cikampek di kawasan Cikarang. Mereka memblokir jalan tol, dan sanggup melumpuhkan aktivitas ekonomi di Jabodetabek. Aksi ini merupakan wujud luapan kemarahan para buruh ketika Penetapan Upah Minimum Kabupaten Bekasi, digugat ke meja hijau oleh pihak pengusaha. Para kapitalis itu enggan melaksanakan kenaikan upah yang telah ditentukan.

Cerita serupa kembali berulang awal 2013. Kali lokasi sedikit bergeser ke wilayah Jakarta Raya. Saat disepakati kenaikan upah minimum hingga 40 persen, kelompok pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menolak menaikan upah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Gubernur DKI Jakarta. Padahal keputusan gubernur itu sudah melalui proses Dewan Pengupahan, dimana Apindo juga terlibat di dalamnya. Akibatnya, ribuan buruh turun kembali turun ke jalan melawan kebijakan upah murah.

Tetapi aksi buruh tak hanya berlangung di pusat-pusat kekuasaan di ibukota negara. Rangkaian aksi itu terus menjalar ke pusat-pusat pemerintahan daerah kota dan kabupaten yang memberlakukan kebijakan upah murah. Ini berarti masalah perburuhan masih terus jauh dari selesai. Celakanya, pemerintah sepertinya belum melihat persoalan buruh sebagai prioritas. Baru setelah buruh marah-marah, lalu pemerintah membuka mata dan kupingnya. Belakangan, memang Presiden menegur para menterinya segera menyelesaikan persoalan buruh. Namun, teguran tanpa realisasi kebijakan yang berpihak pada kepentingan buruh itu tak lebih dari pencitraan semata. Persis kebiasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama ini.

Yang juga lucu dari respon pemerintah selama ini, persoalan upah selalu dijawab dengan mengakomodir kepentingan pengusaha. Misalnya, ketika buruh menuntut kenaikan upah, jawaban pemerintah justru menunda kenaikan upah minimum. Awal april 2013, Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, mengeluarkan usul mengejutkan. Ketua Partai Amanat Nasional (PAN), yang akan mencalonkan diri menjadi Presiden tahun depan ini, menyarankan upah buruh ditentukan Perusahaan. Hatta menilai itu lebih adil bagi pengusaha sesuai skala usahanya. Jika usulan gila Hatta Rajasa ini dijadikan kebijakan negara, itu artinya negara lepas tanggung jawab atas persoalan kesejahteraan buruh. Amanat konstitusi agar negara melindungi warga negara, dicabut melalui usulan ini. Nasib buruh diserahkan kepada mekanisme pasar yang impersonal, yang tujuan utamanya adalah meraih keuntungan setinggi-tingginya tanpa batas.

Selasa, 07 Mei 2013

Terpuruknya Kesadaran Hukum dalam Masyarakat

Disadur dari Opini yang berjudul Terpuruknya Kesadaran Hukum dalam Masyarakat
ditulis oleh James Marihot Panggabean ; Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Anggota Satjipto Rahardjo Institute
Dimuat di Koran MEDIA INDONESIA, 07 Mei 2013


HARI demi hari masyarakat Indonesia selalu diberikan suatu pertunjukan yang sangat merusak pengetahuan. Selain itu, juga merusak kehidupan generasi muda dan masyarakat Indonesia dengan begitu banyaknya warga negara Indonesia baik warga sipil maupun aparat penegak hukum yang terjerat kasus hukum. Ada kasus korupsi yang dilakukan anggota legislatif, bentrokan oknum polisi dan TNI, seorang perwira TNI dan polisi menggunakan narkoba, dan sebagainya.


Suatu hal yang sangat aneh terjadi di negara hukum seperti Indonesia ini. Padahal sudah seharusnya aparat itu menegakkan dan menjalankan hukum dengan baik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Apa yang salah sehingga hal demikian dapat terjadi?


Jika contoh-contoh yang disebutkan di atas, yang telah terjadi di negeri ini secara terus-menerus, bukankah hal itu akan memberikan pelajaran atau pengetahuan yang buruk kepada generasi muda? Dalam pandangan penulis, hal itu pula yang merupakan salah satu permasalahan mengapa tujuan dari hukum sampai saat ini tidak pernah tercapai di negeri ini. Penulis berpendapat permasalahan tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran hukum dalam menaati aturan hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis untuk mencapai tujuan bersama dalam perlindungan dan kesejahteraan.

Konsekuensi Negara Hukum pada Kekuasaan Kehakiman

Dalam UUD 1945 pasal 3 secara jelas disebutkan bila Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Konsekuensinya untuk menegakkan hukum tersebut diperlukan organ organ yang bekerja secara profesional di bidang hukum. Profesi yang paling menonjol dalam penegakan hukum adalah Hakim. Hal ini dikuatkan dalam Undang Undang no. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 1 yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia.”

Namun sangat ironis, tulang punggung penegakan hukum yaitu Hakim di Indonesia seringkali terjerat permasalahan kode etik dan pidana. Padahal sikap dan perilaku Hakim Indonesia didasarkan pada prinsip prinsip yang apabila direnungi sangat Indah. prinsip prinsip tersebut dijabarkan dalam  KEPUTUSAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL NO. 047/KMA/SKB/IV/2009 atau 02/SKB/P.KY/IV/2009. Tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim adalah

a. berperilaku adil; berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.

b. berperilaku jujur; bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan.

c. berperilaku arif dan bijaksana; bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasan-kebiasan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun

d. bersikap mandiri; bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku.


e. berintegritas tinggi; bermakna memiliki sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan.

f. bertanggung jawab;bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.

g. menjunjung tinggi harga diri; bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang.

h. berdisiplin tinggi; bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan.

i. berperilaku rendah hati; bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan.

j. bersikap profesional.bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.

Menciptakan seorang hakim memang tidak mudah, seperti kata Nabi yang menyatakan 1 Hakim masuk Surga dan 2 lainnya masuk Neraka.
Namun, semoga kedepannya SUpremasi Hukum di Indonesia yang ditandai dan dipelopori dengan bagusnya kualitas Hakim terwujud di esok hari.

Kamis, 02 Mei 2013

Ekseskusi Putusan Pengadilan yang Batal demi Hukum

  Disadur dari opini pakar yang berjudul "Eksekusi Putusan Pengadilan yang Batal demi Hukum"
Ditulis oleh Andi Hamzah ; Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti
dimuat di MEDIA INDONESIA, 29 April 2013


Dalam rangka eksekusi mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen (Purn) Susno Duadji, kalangan akademisi dan masyarakat menjadi ramai mempersoalkan antara keadilan dan kepastian hukum. Dengan penolakan permohonan kasasi oleh Mahkamah Agung (MA), berarti putusan menjadi tetap (in kracht van gewijsde). Tidak ada lagi upaya hukum biasa yang dapat ditempuh. Eksekusi harus dilaksanakan.


Upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali dapat dilakukan, tetapi ada persyaratan berat untuk itu. Harus ada novum atau keadaan baru yang tidak diketahui pada waktu putusan dulu. Andai kata diketahui, putusan tidak akan serupa dengan pu tusan yang sekarang. An dai kata hal itu diketahui, putusan akan lain menjadi salah satu: bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau pidana yang lebih ringan dari semula.


Putusan bebas jika perbuatan yang didakwakan penuntut umum tidak terbukti dan meyakinkan hakim. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (on slag van alle rechtsvervolging) jika perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi ada dasar pembenar (tidak melawan hukum) atau dasar pemaaf (tidak ada kesalahan).


Tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika pada waktu persidangan dulu perkara sudah lewat waktu (verjaard), ne bis in idem, delik aduan tidak ada pengaduan, anak di bawah umur, dan hukum pidana Indonesia tidak berlaku untuk delik itu. Dipidana lebih ringan dari semula jika putusan salah kualifikasi.
Misalnya, dipidana 20 tahun penjara karena melanggar Pasal 340 KUHP (pembunuhan yang telah dipikirkan lebih dulu/met voorbedachten rade), ternyata pembunuhan biasa ex Pasal 338 KUHP (pembunuhan spontan) yang maksimumnya 15 tahun penjara sehingga pidana semula 20 tahun penjara harus diturunkan menjadi 15 tahun ke bawah.


Alasan lain untuk memohon peninjauan kembali ialah putusan saling bertentangan. Misalnya dalam hal turut serta (medeplegen) yang satu dipidana dan yang lain bebas, yang dalam pertimbangan hakim terbukti keduanya bekerja sama. Alasan yang ketiga jika putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Alasan ketiga itu tidak ada dalam KUHAP Belanda, yang ditambahkan penyusun RUU KUHAP dulu. Dengan demikian, dalam RUU KUHAP yang sudah di tangan DPR, alasan ketiga itu tidak dicantumkan.

Kematian Profesionalisme

disadur dari Opini pakar yang berjudul "Kematian Profesionalisme"
ditulis oleh Bambang Satriya ; Guru Besar Ilmu Hukum di Stiekma, Dosen Luar Biasa Universitas Ma-Chung, Malang
dimuat di MEDIA INDONESIA, 30 April 2013


Menurut Von Savigny hukum yang adil hanya ada dan bisa ditegakkan di negara yang demokratis. Dalam negara yang demokratis, hukum dibuat atau diangkat dan diberlakukan sebagai respons atas aspirasi rakyat atau wajah kesejatian rakyat. Masalahnya, apakah memang masih ada hukum di negara ini yang benar-benar mencerminkan kesejatian suara rakyat?


Kasus Susno Duadji, yang menolak ditangkap atau dipenjarakan, dan bahkan mendapatkan perlindungan Polri, merupakan sampel kasus yang menunjukkan bahwa wajah hukum menjadi ambigu, multitafsir, dan bahkan tak menyuarakan aspirasi rakyat secara egaliter akibat perilaku komponen penegak hukum.
Mereka itu tak menempatkan hukum sebagai supremasi normatif yang harus digunakan sebagai pijakan bernegara dan bermasyarakat, melainkan sebagai instrumen yang membenarkan asumsi dan kepentingannya. Hukum bahkan sebatas diperlakukan sebagai logika dan teori-teori untuk melicinkan jalan dalam membela atau melindungi siapa pun yang dinilai menguntungkan mereka.


Mereka itu termasuk orangorang yang sudah didiklat, dilatih, atau dimasukkan dalam kawah candradimuka proses pembelajaran ilmu hukum, yang mesti paham dan terlatih tentang bagaimana seharusnya mewujudkan ketaatan atau kepatuhan pada norma yuridis.


Hukum haruslah mencerminkan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hukum yang gagal ditunjukkan secara empiris dan memanusiakan oleh lembaga peradilan merupakan hukum yang menyakiti atau mendehumanisasi rakyat. Hukum yang demikian memang ada dan bahkan dilestarikan oleh suatu rezim tertentu, meskipun eksistensinya menyakiti rakyat.


Idealisme itu menunjukkan bahwa peradilan mempunyai tugas mulia dalam memenuhi dan mewujudkan keinginan masyarakat. Keinginan masyarakat bukan hanya sebatas bagaimana perkara bisa ditangani secara cermat dan efektif oleh lembaga peradilan, tetapi juga ditangani lembaga peradilan yang kredibilitas moral dan profesionalismenya terjamin.

Menindas Esensi Keadilan dalam Kasus Susno

disadur dari opini yang berjudul "Menindas Esensi Keadilan dalam Kasus Susno"
ditulis oleh : Subagyo ; Advokat dan Pekerja Sosial di Bidang Hukum
di muat di JAWA POS, 01 Mei 2013

Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) memutuskan bahwa Komjen Pol (pur) Susno Duadji terbukti bersalah dalam kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan pilkada Jawa Barat. Mantan pembesar Polri itu divonis 3,5 tahun penjara. Kini Susno dinyatakan sebagai buron oleh kejaksaan setelah membangkang dari eksekusi.

Prof Yusril Ihza Mahendra dan "pasukan" Hizbullah dari Partai Bulan Bintang membantu pasukan polisi dalam "mengamankan" Susno dari jaksa eksekutor. Susno memasang dua dalih: Pertama, putusan pengadilan tidak mencantumkan perintah untuk tetap menahan Susno, sebagaimana ditentukan pasal 197 ayat (1) huruf 'k' KUHAP, berakibat putusan batal demi hukum. Kedua, pengadilan keliru dalam menulis nomor putusan kasus Susno.

Upaya penggagalan eksekusi kasus korupsi itu semestinya membuat lebih malu dunia hukum. Apalagi, alasan yang dikemukakan terhadap kelalaian mencantumkan pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP tersebut. Ketentuan itu telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya nomor 69/PUU-X/2012.

MK memutuskan: "Pasal 197 ayat (2) huruf 'k' Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum." Artinya, tidak dicantumkannya perintah untuk tetap menahan terdakwa dalam suatu putusan hakim tidak menyebabkan putusan tersebut batal demi hukum.

Latar belakang putusan MK tersebut adalah adanya Putusan MA No 1444K/Pid.Sus/2010 tanggal 8 Oktober 2010 dalam kasus eksploitasi kawasan hutan di Kalsel dengan terpidana Parlin Riduansyah, yang putusannya juga tidak mencantumkan perintah agar Parlin tetap ditahan. Prof Yusril dan kawan-kawan selaku kuasa hukum Parlin mengajukan uji materiil ketentuan pasal 197 KUHAP tersebut ke MK. Namun, MK menolak permohonan tersebut dan MK membuat tafsir konstitusional terhadap pasal tersebut. Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP justru dieliminasi oleh MK selama ketentuan itu diartikan sebagai penyebab batalnya putusan pengadilan.

Mengapa Prof Yusril yang pernah berproses dalam terbitnya putusan MK tersebut seolah-olah tutup mata? Sebagai praktisi hukum, bolehlah saya mengemukakan pertanyaan mendasar: "Apakah untuk menyatakan batalnya suatu putusan pengadilan, boleh dilakukan dengan cara penghakiman sendiri, tanpa memerlukan suatu putusan pengadilan yang berwenang membatalkan putusan pengadilan yang dianggap batal tersebut?"

Jika setiap orang bisa membatalkan putusan pengadilan yang dianggapnya batal, kacaulah hukum di negara ini. Mereka lalu membangkang dari eksekusi dengan mengerahkan orang banyak. Perbuatan pelanggaran hukum semacam itu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Termasuk aparat kepolisian yang membekinginya.

Dalam kajian-kajian ilmu hukum di kampus-kampus selalu diajarkan tentang kenyataan ketidaksempurnaan hukum yang tertulis, sehingga membutuhkan para penegak hukum yang baik guna menyempurnakan hukum. Jika praktiknya ternyata sebaliknya: siapa profesor yang mengajarkan untuk menjadikan ketidaksempurnaan hukum tertulis itu sebagai dalih untuk melindungi para penjahat negara?

Orang mungkin boleh curiga terhadap kekeliruan penulisan nomor putusan dalam kasus Susno, dalam korelasinya dengan praktik jahat mafioso hukum di negara ini. Namun, kekeliruan dalam menuliskan nomor putusan itu, disengaja atau tidak sengaja, bukanlah hal yang substansial untuk menggugurkan materi perkara yang penting, yakni kasus korupsi dalam kasus Susno dan kasus lain.

Jika Anda hendak menelepon seseorang, ternyata keliru memencet nomor teleponnya, Anda bisa meminta maaf kepada orang yang keliru itu, lalu mengulanginya dengan memencet nomor yang benar. Urusan selesai. Semua orang bisa memahami bahwa keliru dalam menuliskan nomor itu dapat dikoreksi menjadi lebih benar. Kami yang biasa praktik di pengadilan biasa mengalami kekeliruan begitu, dan dapat dikoreksi. Itu disebut clerical error yang tidak mengubah substansi perkaranya.

Jika cara pikir mazhab formalis sempit diikuti, siap-siap ada banyak penjahat yang tidak dapat dihukum hanya dengan alasan "salah ketik". Ini sebuah alasan yang sama sekali tidak keren.

Prof Satjipto Rahardjo almarhum, pakar hukum yang dikenal berintegritas, bahkan memandang perlunya "menabrak" formalitas-formalitas yang bersifat menghalang-halangi dalam upaya menegakkan keadilan substansial. Dari perspektif praktik hukum, M. Yahya Harahap, mantan hakim agung, yang buku-bukunya dijadikan pedoman para mahasiswa dan praktisi hukum itu, juga menekankan agar soal "salah ketik" tidak dijadikan alasan untuk meruntuhkan substansi perkara.

Mazhab pemikiran formalis yang mencari celah kekhilafan tidak esensial adalah musuh keadilan itu sendiri. Coba tanya ke siapa pun, apakah para penjahat negara boleh dibebaskan hanya dengan alasan "salah ketik" dan karena alasan-alasan formal? MK sebagai lembaga penafsir konstitusi sudah menjawab "tidak"!

Bermain main dengan Keadilan

Disadur dari opini pakar yang berjudul "Bermain-main dengan Keadilan"
Ditulis oleh : Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
dimuat di KORAN SINDO, 01 Mei 2013


Eksekusi Susno Duadji membuat penegakan hukum menjadi cibiran masyarakat, terutama masyarakat kalangan bawah, apalagi mereka yang tuna apalagi yang tidak paham hukum di mana tanpa resistensi menurut saja digiring ke dalam penjara.

Eksekusi bergantung pada bunyi putusan pengadilan dengan susunan majelis terdiri sekurang- kurangnya tiga orang hakim. Mengapa harus tiga dan untuk tipikor harus lima anggota majelis dan satu ketua, sudah tentu agar putusan ditetapkan secara cermat dan memenuhi kepastian hukum dan keadilan baik bagi terdakwa maupun bagi masyarakat selaku pembayar pajak.

Majelis hakim sejak sidang pertama sampai sidang pembacaan putusan wajib mengikuti ketentuan hukum acara (KUHAP) dan sekali-kali hakim tidak boleh mengabaikan pasal dan ayat suatu undang-undang betapapun sepele dalam pandangan hakim. Begitu juga hakim tidak boleh memberikan tafsir lain selain yang ditulis dan dicantumkan dalam KUHAP.

Tugas majelis hakim agung selaku judex iuris berdasarkan KUHAP antara lain apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan sebagaimana mestinya (Pasal 253 ayat 1 huruf a) dan kepada majelis hakim agung juga diberikan wewenang menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa (Pasal 253 ayat 5 a).

Ada tiga pasal dalam KUHAP yang memerintahkan hakim untuk memutuskan terdakwa ditahan atau tetap ditahan atau dibebaskan (Pasal 190, Pasal 193, dan Pasal 253 ayat (5) a). Namun, perintah yang bersifat opsional dalam ketiga pasal tersebut dikunci dalam Pasal 197 ayat (1) khusus huruf k dan merupakan salah satu persyaratan jika tidak dipenuhi, putusan batal demi hukum sekalipun putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kita semua mengetahui benar apa yang menjadi latar belakang dari eksistensi Pasal 197 ayat (2) KUHAP karena memorie van toelichtingtidak jelas, hanya menjelaskan kekeliruan penulisan atau pengetikan dalam putusan tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum. Putusan MK RI untuk pengajuanujimateri Pasal297ayat (1) huruf k dan ayat (2) mengenai putusan batal demi hukum hanya berlaku prospektif. Lagipula soal tafsir norma undang-undang tidak ada kaitan langsung dengan kerugian konstitusional melainkan merupakan penerapan suatu undang-undang.

Banyak Jalan Menuju Senayan

disadur dari opini pakar/ tokoh yang berjudul "Banyak Jalan Menuju Senayan"
ditulis Oleh: Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
 Dimuat di KORAN SINDO, 01 Mei 2013


Situasi politik Indonesia semakin riuh seiring masa pendaftaran calon anggota legislatif (caleg). Wabah “mendadak nyaleg” pun terjadi di mana-mana. Menjadi anggota DPR maupun DPRD masih memesona banyak pihak sehingga tak sedikit warga yang lari tunggang-langgang mengejar “mobil sewaan” lima tahunan.

Pemilu pun berubah fungsi dari mekanisme konsolidasi demokrasi menjadi “pasar lelang” suara yang kerap menegasikan kualitas bahkan rasionalitas. Dengan mudah kita menemukan sejumlah nama caleg “karbitan” yang diusung partai bukan karena prosedur kaderisasi melainkan karena pertimbangan dinasti, struktur sosial tradisional, politik patron-client, dan beragam modus transaksional.

DPR untuk Siapa?

Dari pemilu ke pemilu, pemilih kerap terjerembab pada kubangan yang sama saat ritus demokrasi lima tahunan menyodorkan sejumlah nama untuk menjadi wakil mereka. Pemilih dihadapkan pada pengulanganpengulangan cara kerja lama yakni model kerja serabutan dari partai saat mendistribusikan dan mengalokasikan sejumlah nama untuk menjadi caleg.

Ruh DPR sebagai wakil rakyat sudah lama menguap dari harapan karena sejak pencalegan partai kerap abai dengan historisitas sejumlah orang yang akan ditahbiskan sebagai wakil rakyat itu. Dalam ranah akademis terdapat perbedaan mendasar berkenaan dengan konsep perwakilan versi John Locke (1632- 1704) dan Montesquieu (1689- 1755).

Locke dalam karyanya, Two Treatises of Government, melihat betapa pentingnya pemisahan kekuasaan dan dia membaginya menjadi legislatif, eksekutif, dan federatif. Legislatif merupakan lembaga perwakilan masyarakat. Kendati demikian, masyarakat yang dimaksud bukan masyarakat umum, melainkan kaum bangsawan.