Selasa, 30 April 2013

Pemberlakuan Hukum Pidana ke Dalam dan Luar Negeri

Disadur dari opini Pakar yang berjudul "Pemberlakuan Hukum Pidana ke Dalam dan Luar RI" yang ditulis oleh Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
dimuat dalam KORAN SINDO, 03 April 2013

Era globalisasi sering disebut era tanpa batas wilayah negara karena perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi yang sangat pesat dan modern.

Satu-satunya pembatas era tersebut adalah hukum nasional masing-masing negara baik dalam bentuk “hard law” maupun “soft law”. Pembatas ini sangat berarti di bidang perdagangan transnasional dan internasional. Apalagi Indonesia termasuk negara peratifikasi Perjanjian Perdagangan Bebas (GATTWTO) sehingga di dalam bidang tersebut hampir pasti sebutan “tanpa batas wilayah negara” telah menjadi kenyataan sejarah.

Di dalam bidang hukum pidana dan penegakan hukum pidana, era tanpa batas wilayah negara kurang diketahui atau dikenal masyarakat luas termasuk kebanyakan para ahli hukum. Padahal perkembangan kejahatan di masa kini telah memasuki era tersebut terutama kejahatan yang terorganisasi. ***

Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi Tahun 2000 telah diratifikasi Indonesia dengan UU RI Nomor 5 Tahun 2009. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kerja sama antarnegara dalam mencegah dan memberantas kejahatan transnasional. Hambatan mencapai tujuan konvensi tersebut tentu ketentuan perundang-undangan pidana masing-masing negara yang masih mengakui asas teritorial sebagai asas universal.

Salah satu ciri tegaknya kedaulatan hukum adalah jika peraturan perundang-undangan pidana nasional masih dapat diberlakukan mutlak dalam batas wilayah suatu negara. Konsep kerja sama di dalam konvensi tersebut masih dibatasi oleh ketentuan hukum nasional sesuai dengan bunyi kalimat dalam konvensi, “according to the principle of domestic law” sehingga menjadi sangat penting untuk membedakan antara prinsip hukum nasional (domestik) dan prinsip hukum pidana internasional.

Sejalan dengan prinsipprinsip tersebut seharusnya asas teritorial (Pasal 2 KUHP) tidak dipertentangkan dengan asas hukum pidana internasional yaitu “aut dedere aut punere” yang menegaskan bahwa setiap negara wajib menuntut dan menghukum setiap kejahatan yang terjadi di dalam batas wilayah negara yang bersangkutan.

Kendati demikian, sejalan dengan upaya meningkatkan kerja sama antarnegara dalam mencegah dan memberantas kejahatan transnasional, sangat relevan bagi setiap negara untuk melaksanakan asas hukum pidana internasional, asas “aut dedere aut judicare” yaitu jika negara yang memiliki yurisdiksi tidak mau melakukan penuntutan, negara tersebut wajib menyerahkan penuntutan terhadap pelaku kejahatan transnasional kepada negara yang berkepentingan atas pelaku kejahatan transnasional tersebut. ***

Prosedur kerja sama antarnegara diatur di dalam berbagai perjanjian kerja sama penegakan hukum yaitu melalui ekstradisi dan mutual assistance in criminal matters (MLAT’s) atau melalui kerja sama Kepolisian Internasional (Interpol). Namun, persoalan hukum kerja sama ini bukan pada masalah prosedur belaka, melainkan pada masalah sejauh mana hukum pidana nasional dapat diberlakukan terhadap peristiwa kejahatan di negara lain atau sebaliknya.

Persoalan hukum ini sangat penting dan relevan dipelajari sungguh-sungguh oleh aparatur penegak hukum termasuk para advokat karena sering terjadi dalam praktik asas-asas hukum pidana internasional yang telah diakui universal dan asas-asas pemberlakuan KUHP diabaikan. Kunci masalah penegakan hukum pidana terhadap kejahatan transnasional adalah selain asas nasional aktif dan pasif juga wajib diketahui dan dipahami ketentuan asas “dual criminality principle” (asas kesamaan tindak pidana) antara sistem hukum dua negara yang berkepentingan.

Asas hukum ini telah dicantumkan dalam Pasal 5 ayat (2) sub ke-2 KUHP yang berbunyi: ”Ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan –(sub ke-2) salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundangundangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundangundangan negara di mana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana”.

Ketentuan ini pertama, mensyaratkan bahwa perbuatan yang terjadi di negara yang diminta harus merupakan tindak pidana yang menurut UU Pidana yang berlaku di negara diminta dan merupakan tindak pidana yang sama dan diancam pidana di negara peminta. Kedua, kerja sama hukum tersebut tidak mempersoalkan perbedaan gradual tentang nomenklatur yang dipergunakan di dalam dua sistem hukum negara yang bersangkutan atau ancaman hukuman yang sama kecuali hukuman mati.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5ayat (1) subke-2 KUHP dan asas “kesamaan tindak pidana” jika dalam praktik hukum di Indonesia menghadapi suatu perkara perdata dari negara lain dan terlibat seorang WNI dan diajukan sebagai perkara pidana di Indonesia, seharusnya aparatur hukum di Indonesia tidak melakukan penuntutan secara pidana.

Jika hal itu tetap dilakukan, perkara tersebut batal demi hukum. Jika perkara perdata di negara lain akan diajukan kembali di Indonesia, seharusnya dilakukan dengan gugatan keperdataan kecuali perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap di negara lain.

Namun, sampai saat ini Indonesia belum terikat pada perjanjian pengakuan putusan pengadilan negara asing (the recognition of the validity of foreign judgement) dengan negara lain sehingga kemungkinan celah hukum untuk mengajukan gugatan atas pokok perkara yang sama masih terbuka lebar.

0 komentar: