Rabu, 13 Maret 2013

SISTEM PERADILAN YANG SUBURKAN KEJAHATAN


Oleh Prija Djatmika

Tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) dalam dugaan suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian menegaskan betapa sendi-sendi dalam sistem peradilan pidana (SPP) kita telah terinfeksi virus korupsi yang kian kronis. Unsur-unsur dalam SPP, mulai kepolisian, kejaksaan, kehakiman, sampai lembaga pemasyarakatan (lapas), bahkan termasuk profesi pengacara, tak ada yang bersih dari praktik korupsi yang dilakukan para oknumnya. Bahkan, tak mau ketinggalan Komisi Yudisial, yang mestinya mengawasi kinerja dan kehormatan hakim pun, oknumnya ada yang korup.

Dalam semua unsur SPP itu, semua subsistemnya sudah menyuguhkan oknum pelaku korupsi untuk disidangkan. Baik oleh peradilan tindak pidana korupsi maupun peradilan umum. Oknum polisi yang disidangkan karena kasus korupsi sudah tak terhitung jumlahnya. Bahkan, terhadap oknum pejabat berpangkat komisaris jenderal sekalipun. Di jajaran kejaksaan, jaksa UTG jelas bukan orang pertama dalam sejarah praktik korupsi di lembaga ini. Baru beberapa bulan lalu, vonis untuk oknum-oknum jaksa yang dituduh korupsi dalam perkara Jamsostek diputus hakim.

Sementara di lembaga kehakiman, praktik jual beli perkara sudah merambah sampai ke Mahkamah Agung (MA). Bukan hanya di meja-meja oknum hakim agung yang terhormat, tetapi juga di meja panitera dan staf administrasi. Bahkan, negosiasinya pun bisa dilakukan di parkir mobil. Masih ingat kasus suap di MA oleh oknum pengacara pengusaha Probosutedjo?

Pengacara atau advokat menyuap? And justice for all, dan keadilan untuk semuanya. Maka, kalau profesi kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, belepotan dengan oknum-oknum korup, tidak adil kalau menasbihkan profesi pengacara/advokat bersih dari sangkut-paut korupsi peradilan.

Memangnya yang bisa menyuap oknum polisi, jaksa, hakim, dan petugas lapas, selain tersangka atau terdakwa, siapa lagi kalau bukan oknum pengacara/advokatnya? Meski advokat sering dibanggakan sebagai profesi mulia, toh tidak semua advokat sadar dengan kemuliaan profesinya ini. Oknum pengacara pengusaha Probosutedjo -yang mantan hakim tinggi- sekarang masih menjalani hukumannya karena tuduhan menyuap oknum MA. Demikian juga nasib oknum pengacara yang menyuap oknum panitera Pengadilan Tinggi Jakarta beberapa tahun lalu.

Bagaimana petugas lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara (rutan)? Bukalah surat kabar yang memberitakan beredarnya sabu-sabu dan narkoba lain di dalam lapas atau rutan. Seberapa banyak? Apakah tidak ada oknum aparatnya yang terlibat? Bahkan, para tahanan pun bisa membuat pabrik sabu-sabu di Rutan Medaeng beberapa saat lalu.

Akar Kriminogen

Para pelaku korupsi tersebut mungkin tidak sadar sistem peradilan pidana yang korup merupakan lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya akar kriminogen (kondisi yang menjadi penyebab kejahatan).

Dunia peradilan yang korup akan menyebabkan gagalnya pencapaian tujuan adanya sistem peradilan pidana dalam masyarakat. Baik tujuan dalam preferensi khusus, yakni penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan agar jera dan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatannya, maupun tujuan dalam preferensi umum, yakni sebagai upaya penanggulangan agar masyarakat jera dan tidak melakukan kejahatan.

Tujuan itu jelas gagal karena terkalahkan praktik korupsi. Sistem peradilan pidana tidak berjalan karena sengaja tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh aparat karena terkena suap pelaku kejahatan.

Dalam kaitan itu, terkait kedudukan jaksa UTG sebagai ketua Tim Penyelidik Kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI), kasus suap ini harus menjadi pintu masuk bagi Kejaksaan Agung untuk memeriksa semua keputusan yang pernah dihasilkan jaksa UTG dan anggota timnya. Siapa tahu, keputusan-keputusan yang diambil selama ini terhadap para obligor BLBI, sudah diwarnai praktik korupsi di belakangnya.

Karena tim penyelidik kasus BLBI meliputi 35 jaksa, yang konon terbaik dan diambil dari banyak daerah (nyatanya?), adalah beralasan untuk memeriksa ’kebersihan’ semua jaksa di tim itu, beserta keputusan-keputusan hukum yang sudah ditetapkan. Bahkan, juga pemeriksaan terhadap pimpinan langsung mereka, yakni Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dan jajaran terkait. Syukur, Jaksa Agung Herdarman Supandji SH, sudah memprogramkan pemeriksaan untuk mereka semua oleh jaksa agung muda bidang pengawasan. Kita tunggu hasil dan konsekuensinya.

Dalam referensi ilmiah, sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa meningkatnya frekuensi kejahatan di masyarakat berhubungan langsung dengan kegagalan sistem peradilan pidananya. Baik karena sistem hukumnya ketinggalan zaman, misalnya, UU-nya sudah tak sesuai tuntutan zaman, maupun pelaku yang menjalankan sistem itu bekerja tidak profesional. Salah satunya pengaruh korupsi yang kronis.

Kongres PBB Ke-5 tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di Geneva 1975, sudah menegaskan bekerjanya mekanisme peradilan mempunyai pengaruh kondusif bagi peningkatan kejahatan. Dalam kaitan dengan tindak pidana korupsi, sistem hukumnya sudah sangat cukup. Misalnya, UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang diperbarui dengan UU No 20/2001 sudah mengancam pidana mati bagi pelaku korupsi, termasuk hukuman untuk pemberi gratifikasi. Dari segi kelembagaan (struktural), sudah ada KPK, kepolisian, kejaksaan, dan peradilan tipikor.

Persoalannya tinggal dari segi budaya atau kultural. Budaya memberantas korupsi masih lemah. Ironisnya, kelemahan itu menjangkiti aparat hukumnya. (Sumber: Jawa Pos, 7 Maret 2008).

Tentang penulis:
Prija Djatmika, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.

0 komentar: