Rabu, 13 Maret 2013

pENYELESAIAN DIPLOMASI PELANGGARAN HAM TIMOR LESTE

Oleh Jawahir Thontowi

Penyelesaian hukum yang rasional dan birokratis di pengadilan tidak disukai oleh sebagian masyarakat. Ancaman putusnya tali hubungan kekeluargaan atau kekerabatan acap terjadi. Rasa tidak percaya terhadap pengadilan tak ayal membuat masyarakat atau negara memilih model kompromi yang lebih menguntungkan. Meskipun rasa keadilan bagi pihak- pihak harus dikorbankan.

Justice is in Many Rooms (Keadilan di Banyak Ruang) gagasan Mac Gallenther menjadi sangat relevan terkait dengan pilihan kesepakatan politik dalam penyelesaian sengketa. Sebagaimana halnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ramos Horta, pada 14 Juli di Denpasar, bersepakat mengakhiri kasus pelanggaran berat HAM di Timor Leste. Kesepakatan penyelesaian perkara yang diambil dalam ranah hukum maupun politik tetap mengundang aneka tafsir.


Sebelumnya, penyelesaian diplomasi di perundingan pernah dilakukan ketika pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani MoU di Helsinki, Agustus 2005. Dengan harapan, agar kekerasan akibat konflik bersenjata non- internasional (bukan perang antara dua negara berdaulat) di Aceh dapat diakhiri.

Ketika itu, status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh serta berbagai ketimpangan sosial dan ekonomi merupakan latar belakang timbulnya konflik bersenjata. Tetapi, akhirnya impian kultural masyarakat Aceh, seperti pemberlakuan hukum berdasarkan syariat Islam serta suasana lebih aman dan damai saat ini di Aceh, MoU telah efektif dan menjadi kenyataan.

Apakah kesepakatan Presiden SBY dengan Ramos Horta terkait dengan kasus pelangaran berat HAM akan menjadi solusi mujarab hubungan kedua negara ke depan? Jawabannya tidak jauh berbeda. Namun, ketimpangan dan kekecewaan yang diderita sebagian kecil orang tidak terpulihkan.

Jurisdiksi Peradilan Universal
Perpisahan Timor Leste dari NKRI tidak dapat dihindari sejak penyelenggaraan jajak pendapat September 1999. Pembentukan pemerintahan sendiri (self- governing) sebagai upaya memisahkan diri (self- determination rights) dapat dicapai. Tetapi, itu tak henti- hentinya menyisakan berbagai masalah. Isu politik internasional dan tudingan TNI nyata- nyata mengganggu hubungan harmonis kedua negara.

Kebutuhan terbangunnya hubungan harmonis RI- Timor Leste mendesak solusi diplomasi menjadi pilihan. Tinjauan terhadap kebijakan kedua kepala negara itu bukanlah tidak bermanfaat, melainkan lebih disebabkan penyelesaian diplomasi dapat mengundang reaksi negatif masyarakat internasional.

Pelanggaran dan kejahatan berat HAM (gross violation of human rights) tidak layak menggunakan perundingan dengan target win- win solution. Seba, cara itu biasanya dipergunakan untuk kasus keperdataan. Berbeda halnya dengan penyelesaian sengketa bersifat hukum publik. Penyelesaian melalui peradilan diwajibkan untuk kejahatan perang (war crime), kejahatan atas kemanusiaan dan perdamaian (crime against humanity and peace), pembunuhan sistematis atas dasar suku, agama, atau ras (genocide), dan juga pembajakan (piracy). Pengadilan berfungsi untuk memutuskan adanya pihak yang salah dan pantas mendapatkan sanksi hukuman.
Untuk mencegah kekosongan penegakan hukum dalam pelanggaran dan kejahatan berat HAM, dalam hukum internasional dikenal konsep jurisdiksi universal. Pemberlakuan prinsip ini tidak lain karena kejahatan berat HAM , kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) merupakan musuh kemanusiaan sejagat raya (hostis humants generic).

Dengan tegas Bruce Broom Halt, pakar hukum pidana internasional, mengemukakan bahwa kejahatan- kejahatan tersebut sejajar dengan konflik bersenjata non- internasional.

Prakti jurisdiksi pengadilan universal telah diberlakukan sejak Perang Dunia Kedua. Ketentuan dalam Genocide Convention 1948, khususnya pasal 4, dan Den Hangue Convention 1970 pasal 7 menyatakan bahwa “seseorang yang melakukan kejahatan genosida harus dihukum. Setiap Negara berkewajiban mencegah dan menghukum tindakan tersebut”.

Ketimpangan Kesepakatan Bilateral
Kebijakan Presiden SBY membuat kesepakatan bilateral dengan pemerintah Timor Leste diakui bukan solusi tepat. Musyawarah atau perundingan merupakan nilai- nilai kemasyarakatan yang lebih relevan untuk menggantikan peranan dominant Negara- Negara. Situasi tersebut dibenarkan Steve Smith. “ Dunia yang saai ini adalah dunia di mana kedaulatan Negara menjadi kurang mampu memecahkan masalah utama kemanusiaan daripada penggunaan nilai- nilai masyarakat suatu Negara” (International Order and The Future of World Politics, 1999; 113).

Dalam konteks itu, kebijakan kesepakatan kedua kepala Negara merupakan upaya menempuh jalan budaya dan politik. Penyelesaian tanpa pemaafan atas terjadinya pelanggaran berat HAM dan agar peristiwa tersebut tidak terulang di masa mendatang. Meskipun kesepakatan tersebut merupakan kewajiban moral dalam etika diplomasi, daya ikatnya tidak dapat diabaikan. Asas hukum menyatakan bahwa pihak- pihak yang menyetujui suatu perjanjian wajib mematuhi dan menghormatinya (Pacta Sunt Servanda).

Dengan demikian, jika kesepakatan tersebut oleh sebagian pihak tidak dipatuhi, dipastikan penciptaan hubungan bertetengga baik (good neighbourhood relations) yang saat ini diperlukan kedua Negara tidak akan tercipta. Imbas negatif dari sebagian pendapat yang menyimpulkan KKP tidak fair karena hanya melaporkan pihak- pihak WNI dan TNI belaka sah- sah saja.

Karena itu, terlepas dari pro- kontra, manfaat kesepakatan bilateral akan sangat tergantung komitmen kedua belah pihak. Tidak dapat dipungkiri, beberapa nama diuntungkan oleh kesepakatan SBY dengan Ramos Horta. Mereka, antara lain, Mayjen Adam Damiri (Pangdam Udayana), Brigjen Timbul Silaen (Kapolda Timitim), Brigjen Tono Suratman (Danrem Wira Dharma), Letkol Noer Moeis (Danrem Wira Dharma), dan Letkol Inf Sujarwo (Dandim Dilli) merupakan beberapa nama yang terindikasi. (Jawa Pos, 15 Juli 2008).
           
Tentang penulis:
Jawahir Thontowi PhD, pengajar Hukum Internasional Fakultas Hukum UII Jogjakarta.

0 komentar: