Sabtu, 16 Maret 2013

Pelajaran dari Grasi Kontroversial

Disadur dari Opini pakar yang berjudul "Pelajaran dari Grasi Kontroversial"
Sudjito ; Ketua Program Doktor dan Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM)
SINDO, 13 November 2012


Tiada sesuatu kejadian hampa dari hikmah. Seburuk apa pun kejadian itu, menjadi amat berharga bila kita mampu menangkap makna yang terkandung di dalamnya, dan bukan membiarkan hadir sebagai realitas indrawi yang berlalu begitu saja. Tiada sesuatu kejadian hampa dari hikmah. Seburuk apa pun kejadian itu, menjadi amat berharga bila kita mampu menangkap makna yang terkandung di dalamnya, dan bukan membiarkan hadir sebagai realitas indrawi yang berlalu begitu saja.

Kasus grasi kontroversial tidak akan terjadi tanpa campur tangan dan kehendak Tuhan Maha Agung.Agar kita tidak dianggap bodoh seperti keledai, dan tidak tersandung untuk kedua kalinya maka sebaiknya grasi kontroversial itu betul-betul dikaji secara mendalam dengan menggunakan kejernihan kalbu dan sejauh mungkin terjauhkan dari sikap emosi. Pada hemat saya,atas dasar kejujuran dan sikap sportif, paling tidak ada lima pelajaran berharga dari kasus itu. Pertama, tiada manusia sempurna.


Sekalipun seorang presiden, selagi masih manusia sangat mungkin berbuat salah.Keterbukaan, sikap ksatria, dan sportif telah ditunjukkan Presiden SBY bahwa ada kesalahan dalam pemberian grasi kepada Ola. Dia bukan sekedar kurir tetapi pengedar bahkan gembong narkoba. Beliau minta maaf, dan bertanggung jawab atas kesalahan itu serta mempertimbangkan mencabutnya. Beliau juga berharap agar publik tidak menyalahkan para pembantunya yang telah memberikan pertimbangan kepadanya.


Apakah bentuk pertanggungjawaban seperti itu sudah cukup? Tentu kita dapat berbeda pendapat. Akan tetapi membawanya ke ranah politik atau hukum formal,kemudian diikuti dengan proses “per-adilan” rasanya berlebihan dan emosional. Selain tidak menyelesaikan masalah, juga tidak bagus bagi pendidikan politik maupun hukum di negeri ini. Justru elegan bila bangsa ini bersedia memaafkan kesalahan itu dan memberikan kontribusi pemikiran untuk penyelesaian secara tuntas. Kedua,sikap reaktif dan terkesan emosional para pembantu presiden sepantasnya tidak terulang atau berlanjut.


Secara prosedural, barangkali kita sepakat pemberian grasi itu benar.Tetapi secara substansial, ternyata terbukti sebaliknya (salah). Diakui saja, bahwa ada kecerobohan dalam menilai Ola. Sikap demikian justru terhormat daripada menyatakan segalanya sudah benar. Aneh dan lucu, pernyataan bahwa presiden tak bersalah dan yang salah adalah Ola karena tidak bersyukur atas grasi yang diterimanya. Lho, bukankah presiden sendiri sudah menyatakan ada kesalahan; dan mana mungkin berharap seorang penjahat (gembong narkoba) dapat mensyukuri nikmat.


Setahu saya,syukur atas nikmat hanya mampu dilakukan orang beriman dan bertakwa, bukan penjahat. Ketiga, jangan mencobacoba mengubah hukum ilahiah. Sebagai orang beragama,tentu paham ada hukum ilahiah yang kedudukannya sangat tinggi dan dijamin kebenarannya. Thomas Aquinas menyebutnya sebagai lex aeterna. Bagi umat Islam, silakan cermati firman Allah SWT “Maka apakah hukum jahiliah yang mereka cari? Dan hukum siapakah yang lebih baik (hukumnya) daripada hukum Allah bagi kaum yang yakin?” (QS Al Maidah: 50).


Di dalam hukum ilahiah itu, dikenal adanya hukuman mati. Jadi, menghukum gembong narkoba dengan hukuman mati itu sah.Bukankah dia tega dan sengaja “membunuh”generasi muda kita? Adil dan sah bila dia dihukum mati. Meniadakan atau menolak hukuman mati dengan alasan kemanusiaan atau karena mengikuti pendapat banyak negara, justru menunjukkan kelemahan iman kepada hukum ilahiah.


Tentu, Tuhan tidak akan diam bila hukum ciptaannya dilecehkan dengan berbagai alasan yang seolah-olah rasional,manusiawi dan berwawasan global, padahal sikap demikian menunjukkan lemahnya atau kesalahan pemahaman terhadap hukum ilahiah itu.Perlu diingat bahwa memahami tatanan transendental (transcendental order) tidak cukup dengan rasio dan pengamatan indrawi, tetapi perlu mendayagunakan kejernihan kalbu atas dasar keimanan.


Kalau kita,sok rasional,sok manusiawi, sok berwawasan global, tetapi ingkar terhadap hukum ilahiah, saya khawatir akan dipermalukan (Jawa: diwelehke) oleh Tuhan dan menjadi kualat. Keempat, cukup banyak kabar,bukti dan pelajaran tentang orang-orang yang semula sekuler, menolak hukum ilahiah, termasuk menolak hukuman mati kemudian berbalik mendukungnya. Dai sejuta umat Zainuddin MZ pernah menyampaikan cerita,ada seorang berpendapat Tuhan tidak adil, karena ringin yang pohonnya besar buahnya kecilkecil, sementara labu yang kecil dan lemah pohonnya justru buahnya besar.


Tak berselang lama, kepalanya kejatuhan buah ringin. Sadarlah dia.Terbayang, kalau yang jatuh itu buah labu, betapa kepalanya akan hancur. Oh,Tuhan sangat adil dan bijaksana. Cerita serupa dituturkan Mahfud MD.Katanya,temannya yang kini aktif dalam gerakan nasional antinarkoba Henry Yosodiningrat dulu lantang menolak hukuman mati. Setelah melihat orang sekitarnya terkena narkoba sehingga pupus masa depannya, sadarlah dia dan berbalik mendukung hukuman mati bagi pengedar narkoba.


Beberapa pengalaman itu semestinya cukup menjadi pelajaran agar kita tidak ragu menghukum mati gembong- gembong narkoba.Tidak usah takut berbeda pendapat dengan negara lain.Selagi kita yakin akan kebenaran hukum ilahiah, pastilah Tuhan bersama bangsa Indonesia. Kelima, kontroversial grasi Ola perlu segera dicari solusi yang tepat. Hemat saya, pencabutan grasi sangat dimungkinkan berdasarkan hukum progresif.


Niat baik memperbaiki kesalahan demi kepentingan bangsa dan negara, cukup menjadi dasar moralitas penggunaan hukum progresif. Hal-hal prosedural— betapapun penting dalam penegakan hukum—akan tetapi tidak perlu menjadi kendala untuk mencabut grasi tersebut. Saya yakin rakyat, khususnya penggiat antinarkoba mendukungnya. Kalaupun hal demikian dipandang membuat preseden buruk, dari sisi lain justru preseden itu bagus sebagai peringatan bagi presiden dan para pembantunya agar lebih hatihati dalam menggunakan hak prerogatifnya. Wallahu’alam.

0 komentar: