Rabu, 04 Januari 2012

Tinjauan Umum tentang Kepailitan


Hukum kepailitan sekarang ini sudah begitu dikenal diberbagai Negara. Di Indonesia sendiri hukum kepailitan sudah ada sejak zaman kolonialisme Belanda yaitu pada tahun 1905 dengan diberlakukannya UU khusus S. 1905 – 217 juncto S. 1906 – 348. Kata “bangkrut” malahan sudah dikenal sejak lama dalam pergaulan sehari-hari (Fuady, Munir, 1998 : 3).  Arti bangkrut itu adalah arti yang orisinil dari kepailitan yaitu seorang pedagang yang cenderung untuk mengelabuhi pihak krediturnya (Fuady, Munir, 1998 : 7).


Dalam bukunya Prof. DR. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum seperti yang telah dikutip dari bukunya Munir Fuady, disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit atau bangkrut antara lain adalah seorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bangkrut, dan aktivanya atau warisannya telah diperuntukan untuk membayar hutang-hutangnya (Wiwoho, Jamal, 2007 : 7).

Menurut Berradette Waluyo, S.H., M.H.,CN yang dikutip dari bukunya Retno Sutantio, SH kepailitan dalah eksekusi missal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib (Waluyo, Berradette, 1999 :1).

Sedangkan dalam bukunya Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja seperti dikutip dalam Black’s Law Dictionary disebutkan pailit atau “bangkrupt” adalah “the state or condition of person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person against whom an involuntary petition has been field, or who has field a voluntary petition, or who has been adjudged a bangkrupt. Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang (debitur) atas utang-untangnya yang telah jatuh tempo (Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, 1999 : 11).

Berdasarkan Undang-undang N0. 37 Tahun 2004 Pasal 1 Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

Dalam bukunya Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H telah dijelaskan mengenai tujuan dari hukum kepailitan. Seperti yang telah dikutip oleh Jordan et al dari buku The Early History of Bangkruptcy Law, yang ditulis oleh Louis E. Levinthal, tujuan utama dari hukum kepailitan digambarkan sebagai berikut:
“all bangkruptcy law, however, no matter when or where devised and anacted, has at least two general objects in view. It aims, first, to secure and equitable devision of the insolvent debtor,s property among all his creditors, and, in the second place, to prevent on the part of the insolvent debtor conduct detrimental to the interest of his creditors. In other words, bangkruptcy law seeks to protect the creditors, first, from one another and, secondly, from their debtor. A third object, the protection of the honest debtor from his creditors, by means of the dischange, is sought to be attained in some of the systems of bangkruptcy, but this is by no means a fundamental feature of the law”.
Dari hal yang dikemukakan di atas Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H menyimpulkan tujuan-tujuan  dari hukum kepailitan (bangkruptcy law), adalah:
1)    Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan Debitor di antara para Kreditornya.
2)    Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para Kreditor.
3)    Memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para Kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang (Sjahdeini, Sutan Remy, 2002 : 37-38).

0 komentar: