Minggu, 13 Juli 2014

Uang BUMN Uang Negara?

Disadur dari opini pakar yang berjudul Uang BUMN, Uang Negara?
yang ditulis oleh Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Ilmu Hukum pada Universitas Indonesia
dimuat dalam KOMPAS, pada tanggal 07 Juni 2013

 
Sudah cukup lama diwacanakan apakah uang BUMN, termasuk badan hukum yang didirikan negara, seperti Lembaga Penjamin Simpanan atau universitas berstatus badan hukum, merupakan uang negara.
Bagi aparat penegak hukum, kerugian keuangan badan usaha milik negara adalah kerugian keuangan negara. Karena itu, mereka kerap mendakwa pengurus BUMN dengan UU Tindak Pidana Korupsi bila terjadi kerugian di BUMN.

Pertentangan
Menurut UU Keuangan Negara, keuangan BUMN merupakan keuangan negara. Ini terlihat dalam Pasal 2 huruf (g) yang menentukan keuangan negara termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Selanjutnya, Pasal 2 huruf (i) menentukan keuangan negara meliputi kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Demikian pula menurut Pasal 1 angka (1) UU Perbendaharaan Negara. Dinyatakan, perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan. Bahkan, dalam Penjelasan UU Tipikor disebutkan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan. Namun, di sisi lain, Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN menyebutkan, modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Di sinilah terjadi pertentangan antar-UU.

Secara doktrin, jika telah dipisahkan, tidak tepat menganggap keuangan BUMN sebagai keuangan negara. Paling tidak ada tiga alasan yang mendasari pemikiran ini. Pertama, uang yang telah dipisahkan menjadi milik BUMN dan negara memperoleh saham atas modal yang telah disetorkan. Saham inilah yang dicatatkan sebagai kekayaan negara. Namun, apabila uang yang disetor ke BUMN tetap dinyatakan sebagai uang negara, secara akuntansi akan ada dua kali penghitungan atas obyek yang sama.

Ini berlaku ketika negara melakukan penyetoran modal tidak berupa uang tunai, tetapi berupa barang, semisal tanah. Tanah yang dimiliki dan sertifikatnya atas nama negara apabila disetor menjadi modal BUMN, maka negara akan mendapatkan saham. Sementara tanah menjadi milik BUMN dan dapat dibalik-namakan dari negara ke BUMN. Dalam konteks demikian tidak terjadi dua kali penghitungan atas obyek yang sama karena negara tidak mencatatkan saham dan tanah yang telah disetorkan sebagai aset dalam neracanya.

Kedua, keuangan BUMN tidak bisa diperlakukan sebagai keuangan negara karena secara alamiah mengelola keuangan negara beda dengan mengelola keuangan BUMN. Dalam pengelolaan uang, negara bukanlah entitas yang mencari untung dan bisa menderita kerugian atas suatu keputusan bisnis. Apa yang telah dialokasikan di APBN secara teoretis harus diserap penuh.

Ini berbeda dengan BUMN. Layaknya sebuah badan usaha, BUMN bisa mendapatkan keuntungan, tetapi juga bisa merugi. BUMN bisa rugi karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dari mitranya. Bila ini terjadi, penyelesaiannya dilakukan secara perdata. Bila kerugian dikarenakan masalah administratif dari pengurus dan pegawainya, diselesaikan secara administratif.

Namun, jika dalam kerugian BUMN terdapat niat jahat (criminal intent) dari pengurus atau pegawainya, wajib diselesaikan secara pidana. Adalah ganjil apabila kerugian karena perdata ataupun administratif diselesaikan secara pidana.

Ketiga, secara doktrin, mengategorikan keuangan BUMN sebagai keuangan negara sudah bertentangan dengan konsep ”uang publik” dan ”uang privat”. Konsep pemisahan uang publik dan uang privat dikenal dalam pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah, diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.
Sepanjang uang berasal dari APBN atau APBD, Perpres No 54/2010 berlaku. Namun, tidak demikian bagi entitas yang didirikan oleh negara yang mendapatkan dana dari negara, tetapi telah dipisahkan. Dalam proses pengadaan barang dan jasa, entitas itu tidak tunduk pada perpres. Dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN, ketentuan yang berlaku adalah surat keputusan direksi.

Niat jahat

Aparat penegak hukum kerap menyidik, menuntut, bahkan memvonis bersalah pengurus BUMN karena adanya kerugian negara tanpa melihat dan membuktikan unsur ”niat jahat”. Padahal, niat jahat (mens rea) dan perbuatan jahat (actus reus) untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi sangat penting dalam menentukan proses pidana.

Memperkaya orang lain atau korporasi pun tak cukup sekadar ”harga yang menguntungkan”. Tentu harus ditelusuri dan dibuktikan keuntungan yang didapat adalah hasil konspirasi jahat dengan pihak yang memberikan keuntungan tersebut.
Harus diakui, dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tidak tercermin keharusan membuktikan adanya niat jahat. Dalam kedua pasal tersebut tidak ditemukan istilah ”dengan sengaja”. Kata ”dengan sengaja” dalam hukum mempunyai makna harus adanya niat dan perbuatan jahat. Namun, harus dipahami dalam tindak pidana korupsi tanpa niat jahat tak mungkin ada korupsi.

Meski UU Tipikor tidak mencantumkan kata-kata ”dengan sengaja”, dalam tindak pidana korupsi harus tetap dibuktikan adanya niat jahat untuk memperkaya secara tidak sah. Jika tidak, kelalaian bahkan kerugian karena keputusan bisnis dalam BUMN akan berujung pada adanya tindak pidana korupsi. Inilah yang terjadi pada sejumlah pengurus BUMN meski sebagian dari mereka mendapat putusan bebas dari pengadilan.
Fenomena ini tentu tidak kondusif bagi pengurus BUMN karena mereka tidak akan berani mengambil keputusan bisnis dengan risiko komersial karena selalu dibayang-bayangi kekhawatiran tuduhan korupsi. Pada gilirannya BUMN bila dibandingkan dengan perusahaan swasta sejenis akan tidak kompetitif.

Tinjau kembali

Guna menghentikan wacana yang telah memakan korban, sudah waktunya UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara ditinjau kembali, termasuk penjelasan dalam UU Tipikor. Peninjauan bisa dilakukan melalui proses Mahkamah Konstitusi (uji materi) yang saat ini telah ada pemohonnya atau melalui pembentuk UU (legislative review).

Tentu semangat antikorupsi wajib terus didengungkan. Korupsi harus diberantas. Hanya saja, jangan sampai seseorang harus mendekam di lembaga pemasyarakatan semata-mata ada kerugian negara, sementara niat jahat untuk merugikan keuangan negara tidak ada.

Perlu dipahami, oknum yang memiliki niat jahat untuk memperkaya secara tidak sah sebenarnya tidak hanya ada di sektor pemerintahan. Di sektor swasta pun bisa terjadi. Oleh karena itu, Konvensi PBB Antikorupsi dalam Pasal 21 dan 22 mengamanatkan kepada negara-negara peserta untuk mengkriminalkan pelaku korupsi di sektor swasta

0 komentar: