Kamis, 31 Mei 2012

Membangun Institusi Kepolisian yang Bebas Suap dan Progresif

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menurut Soerjono Soekanto, faktor faktor pokok yang mempengaruhi proses penegakan hukum adalah, sebagai berikut:
a.    Hukumnya sendiri
b.    Mentalitas atau Kepribadian penegak hukum
c.    Fasilitas atau sarana pendukung
d.    Masyarakat dan Kebudayaan.

Dari Keempat poin tersebut, yang saat ini menjadi sorotan masyarakat adalah mengenai perilaku penegak hukum, khususnya kepolisian. Kepolisian terlihat secara jelas di mata masyarakat memiliki masalah mendasar. Merujuk pada opini Mustafa Muchdor masalah mendasar dalam kepolisian setidaknya tersungkup pada hal-hal berikut: aparat kepolisian saat ini belum bersih dan berwibawa; belum mampu mewujudkan rasa aman masyarakat; belum mampu memberikan kemudahan prosedur dan keramahan dalam pelayanan masyarakat; belum memiliki kinerja profesional sesuai harapan masyarakat. 

Contoh kasus nyata yang menjadi hal umum di masyarakat adalah praktik suap menyuap di kepolisian. Padahal menurut Prof Tjip secara agak dramatis kita boleh mengatakan, sebagian "nasib Indonesia" dan negara hukum Indonesia terletak di tangan polisi. Polisi memiliki peluang paling besar untuk menjadi penegak hukum progresif. Hukum menyediakan banyak peluang agar polisi dapat menjadi pahlawan bagi bangsanya, dengan bertindak progresif, membuat pilihan-pilihan tepat dalam pekerjaannya.  -ranggiwirasakti-

Dari sudut filosofis pun, citra polisi yang buruk akibat praktik suap menyuap di mata masyarakat sangat paradoks dengan filosofi kepolisian Republik Indonesia yang terkenal dengan Tri Brata. Tri Brata berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari:
a.Polisi itu Rastra Sewakotama artinya Polisi itu abdi utama daripada Nusa dan Bangsa.
b. Polisi itu nagara janottama artinya Polisi itu warga negara utama daripada negara.
c. Polisi itu jana anuvasana dharma artinya menjaga ketertiban dari pada rakyat
Dengan melihat buruknya citra polisi tersebut, diperlukan sebuah reformasi besar di tubuh kepolisian sehingga citra di masyarkat baik kembali. Seperti pendapat Prof. Tjip, sebuah institut publik seperti polisi atau Polri, yang ingin dapat bekerja efektif, membutuhkan legitimasi dari masyarakat di mana ia bekerja.
B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a.    Apakah Hakikat suap itu?
b.    Bagaimana bentuk suap di kepolisian itu?
c.    Bagaimana strategi memberantas suap khususnya di kepolisian itu?

C.    Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah tersebut, tujuan penulisan makalah ini adalah
a.    Mengetahui hakikat suap.
b.    Mengetahui bentuk bentuk suap di kepolisian.
c.    Mengetahui strategi memberantas suap khususnya di kepolisian.




BAB II
KAJIAN TEORITIS
A.     KEPOLISIAN, TUGAS KEPOLISIAN DAN KODE ETIK KEPOLISIAN
1.      Pengertian Kepolisian
‘Kepolisian’ dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian diartikan sebagai segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, sedangkan Pejabat Kepolisian Negara adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum kepolisian.
Peraturan kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2.  Asas, Tugas dan Wewenang POLRI
a. Asas-asas dalam Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Kepolisian.
Pelaksanaan wewenang kepolisian didasarkan pada tiga asas yakni:
1) asas legalitas
2) asas plichmatigheid
3) asas subsidiaritas
Asas legalitas adalah asas di mana setiap tindakan polisi harus didasarkan kepada undang-undang / peraturan perundang-undangan. Bilamana tidak didasarkan kepada undang-undang / peraturan perundang-undangan maka dikatakan bahwa tindakan polisi itu melawan hukum (onrechtmatig).
Asas plichmatigheid ialah asas di mana polisi sudah dianggap sah berdasarkan / sumber kepada kekuasaan atau kewenangan umum. Dengan demikian bilamana memang sudah ada kewajiban bagi polisi untuk memelihara keamanan dan ketertiban umum, asas ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan tindakan. Polisi dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri untuk memelihara keamanan dan ketertiban umum.
Asas subsidiaritas adalah asas yang menyatakan bahwa hukum pidana seyogyanya digunakan sebagai langkah akhir. Sebagai Abdi penegak hukum yang langsung terjun pada masyarakat sudah selayaknyalah polri juga sebisa mungkin menggunakan cara persuasif terlebih dahulu dalam menangani persoalan masyarakat terutama terkait masalah masalah yang bisa mengakibatkan konflik horisontal.
b. Tugas dan Wewenang Polri Menurut UU Kepolisian
 Undang-undang Kepolisian menyebutkan bahwa tugas pokok kepolisian Negara Repubik Indonesia adalah:
a.    Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b.    Menegakkan hukum; dan
c.     Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
 Penjelasan tersebut menyebutkan bahwa rumusan tersebut tidak didasarkan pada suatu urutan prioritas, artinya ketiga-tiganya sama penting. Dalam pelaksanaannya pun tugas pokok yang akan dikedepankan sangat tergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara simultan dan dapat dikombinasikan.
Dalam UU kepolisian, keamanan dan ketertiban masyarakat diartikan sebagai:“suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.”
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
 b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
 d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
 e. memelihara ketertiban dan menjami kemanan umum;
 f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
 g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap sema tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
 i. melindungi keselaatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan / atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
 j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelu ditangani oleh instansi dan / atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tugas utama polisi untuk menegakkan hukum berhubungan dengan peran polisi sebagai salah satu bagian dari system peradilan pidana Indonesia.
 Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, polisi berwenang untuk:
a.  melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
 c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
 i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
 l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
‘Tindakan lain” yang dimaksud adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a.    tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b.    selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c.     harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d.    pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e.    menghormati hak asasi manusia.
Selain tugas dan wewenang yang disebutkan di dalam UU Kepolisian ini, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk kepentingan umum, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Tindakan menurut penilaian sendiri ini hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. 
c.  Kode Etik Kepolisian
Etika profesi Kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota kepolisian meliputi etika pengabdian, kelembagaan, dan keneagaraan, selanjutnya disusun ke dalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pencurahan perhatian yang sangat serius dilakukan dalam menyusun etika Kepolisian adalah saat pencarian identitas polisi sebagai landasan etika Kepolisian. Sebelum dinyatakan sebagai Kode Etik, Tribrata memberikan identitas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam rangka penyusunan undang-undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
 Etika profesi kepolisian terdiri dari :
a.    Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
b.    Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.
c.    Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. 




BAB III
PEMBAHASAN

A.    Hakikat Suap
Menurut  Prof. Muladi  SESEORANG yang terlibat dalam perbuatan suap-menyuap sebenarnya harus malu apabila menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela dan bahkan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si penerima suap.
SUAP (bribery) bermula dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya adalah ’begging’ (mengemis) atau ’vagrancy’ (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya ’a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya bribe bermakna ’sedekah’ (alms), ’blackmail’, atau ’extortion’ (pemerasan) dalam kaitannya dengan ’gifts received or given in order to influence corruptly’ (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup).
Suap-menyuap bersama- sama dengan penggelapan dana-dana publik (embezzlement of public funds) sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi. Korupsi sendiri secara universal diartikan sebagai bejat moral, perbuatan yang tidak wajar, atau noda (depravity, perversion, or taint); suatu perusakan integritas, kebajikan, atau asas-asas moral (an impairment of integrity, virtue, or moral principles).
Kriminalisasi terhadap tindak pidana korupsi, termasuk suap-menyuap, mempunyai alasan yang sangat kuat sebab kejahatan tersebut tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena karakter korupsi yang sangat kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan.
Suap merupakan tindak pidana. Bahkan pengaturan suap dalam peraturan pidana sudah dilakukan sejak jaman penjajahan Belanda, yakni dalam KUHP. Secara spesifik, suap diatur dalam UU No 11 tahun 1981 tentang Tindak Pidana Suap. Bahkan dalam Rancangan KUHP, tindak pidana suap diatur lagi. Ada lima pasal yang mengatur tentang tindak pidana suap, yakni pasal 623, 624, 681, 682 dan 683. Terlepas dari perdebatan sinkronisasi Rancangan KUHP dengan UU antiKorupsi, ini menunjukkan bahwa suap sangat penting untuk diatur. Adapun bunyi masing-masing pasal tersebut adalah:
Pasal 623: Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
dengan maksud membujuk orang tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum atau merugikan orang lain, dipidana karena memberi suap, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak kategori IV.
-ranggiwirasakti-
Pasal 624:
Setiap orang yang menerima sesuatu atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa pemberian sesuatu atau janji tersebu dimaksudkan supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya yang berlawanan dengan kewenanagn atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum atau merugikan orang lain, dipidana karena menerima suap, dengan pidana penjara paling lama tiga tahun penjara atau denda paling banyak kategori IV.

Pasal 681
Dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak kategori IV, setiap orang yang:
a. memberi, menjanjikan sesuatu atau memberi gratifikasi kepada seseorang pegawai negeri dengan maksud agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri karena berhubungan dengan sesuatu yang telah dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pasal 682
(1) setiap orang yang memberi, menjanjikan sesuatu atau memberi gratifikasi kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang sedang diperiksanya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak kategori VI.

(2) Jika pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud agar hakim menjatuhkan pidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak kategori VI

Pasal 683
Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pejabat public negara asing atau pejabat publik organisasi internasional dengan maksud untuk memperoleh atau mempertahankan usaha perdagangan atau keuntungan lain yang tidak semestinya dalam kaitan dengan perdagangan internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak kategori IV.

Suap Menurut Hukum internasional
Banyak sekali instrumen regional (misalnya EU, Inter- American, African Union, Southern African Development Community) maupun organisasional (misalnya OECD, GRECO) yang dirumuskan untuk mencegah dan memberantas korupsi termasuk suap-menyuap. Dalam pertumbuhannya instrumen-instrumen itu mengerucut dalam bentuk UN Convention Against Corruption, Vienna, 2003.
Dalam Konvensi PBB ini ruang lingkup bribery diperluas dan mencakup penyuapan terhadap pejabat publik, termasuk pejabat publik asing dan pejabat publik dari organisasi internasional, baik aktif maupun pasif.
Bahkan dianjurkan pula mengkriminalisasikan perbuatan suap di lingkungan swasta (bribery in the private sector) dalam kegiatan komersial, ekonomi, dan finansial. Termasuk juga pelbagai bentuk suap yang dapat mengganggu proses peradilan yang jujur dan independen (obstruction of justice).
B.    Bentuk Suap di Kepolisian
Selama kurun 14 tahun ini, bidang penegakan hukum menjadi perhatian yang sangat serius dari kalangan masyarakat luas karena maraknya mafia peradilan, khususnya yang melibatkan pihak kepolisian.
Selain praktik suap kecil kecil yang biasa disebut masyarakat sebagai uang damai dalam operasi tilang, dan penindakan tindak tindak pidana ringan, hingga suap tingkat tinggi.
Penyuapan tingkat tinggi yang dilakukan di lingkungan aparat penegak hokum termasuk tipologi kejahatan yang sering disebut “invisible crime” karena untuk menunjukkan adanya prosedur yang sangat sulit dan rumit untuk membuktikan perbuatannya maupun tingkat profesionalitas pelakunya, sehingga pembuktian adanya tindak pidana terhadap perbuatannya menimbulkan kesulitan tersendiri, maka dibutuhkan lembaga khusus yang memiliki kewenangan lebih dibanding kewenangan lembagapenegak hukum lain.
Melihat perkembangan jaman yang semakin maju dengan semakin besarnya volume pembangunan maka semakin besar pula tingkat kerentanan atau kerawanan akan terjadinya kebocoran, suap dan korupsi di negara indonesia ini. Ditambah lagi gaji pegawai terutama aparat penegak hukum yang sangat minim, menjadi faktor yang kuat untuk mendorong melakukun perbuatan-perbuatan yang dengan kekuasaannya dapat menambah penghasilannya sebagai penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) memiliki kewenangan yang lebih besar dari pegawai negeri lainnya yaitu dapat melakukun penangkapan dan penahanan (merampas kemerdekaan seseorang). Seorang aparat penegak hukum adalah seorang yang profesional ataukah seorang pejabat yang mengedepankan kewenangannya semata, dilihat dari cara seorang aparat bertindak dalam menangani dan menghadapi permasalahan atau kasus. Penyuapan banyak terjadi apabila aparat penegak hukum lebih mengedepankan kewenangannya daripada profesionalisme seorang aparat penegak hukum.

C.      STRATEGI PEMBERANTASAN SUAP SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI
Kasus suap menyuap sebenarnya semata-mata tidak hanya karena factor penghasilan yang kecil tetapi juga karena adanya sifat keserakahan dalam diri seseorang terutama seorang aparat. Oleh karena itu untuk menghapus praktek suap-menyuap dalam tubuh aparat penegak hukum tidak hanya dengan menaikkan gaji pegawainya tetapi juga harus dibarengi dengan menaikan moralitas pegawai tersebut serta sistem reward dan punishment yang tegas, di samping itu faktor keteladanan dari atasan kepada bawahan menjadi penentu pula.

Telah diakui pula bahwa korupsi sudah dianggap sebagai kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crime), oleh karena itu penanganannya harus dilakukan sedemikian rupa dan bersifat luar biasa pula. Untuk itu salah satu mencegah terjadinya penyuapan yang mengarah pada korupsi besar-besaran maka bagi pegawai negeri terutama aparat penegak hukum harus didaftar kekayaannya pada saat sebelum menduduki jabatannya sehingga akan mudah diperiksa dan dipantau pertambahan kekayaannya dibandingkan dengan pendapatan resmi yang diperoleh.

Menurut Andi Hamzah bahwa pembalikan beban pembuktian terbatas bidang perdata seperti halnya dengan Anti Corruption Act di Thailand, dapat diterapkan di Indonesia. Pegawai Negeri atau pejabat atau aparat penegak hukum khususnya polisi yang tidak menjelaskan asal-usul kekayannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya sebagai pegawai negeri dapat langsung digugat secara perdata oleh penuntut umum berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Oleh karena itu ada sistem pendaftaran kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat sehingga dapat dihitung pertambahan kekayaannya itu. Apabila pegawai/pejabat atau aparat penegak hukum yang berdasarkan bukti permulaan mempunyai kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber pendapatannya, wajib membuktikan sahnya kekayaan yang diperolehnya.
Sistem pembuktian terbalik secara terbatas ini setidaknya dapat menjadi faktor pencegah (prevention) terhadap perilaku-perilaku menyimpang maupun ketamakan dalam diri pejabat, pegawai maupun aparat penegak hukum. Ini penting karena, sarana penindakan (represi) dengan menggunakan hukum pidana dengan mengadakan penuntutan hukum adalah sebagai jalan yang paling terakhir (ultimum remedium). Penyuapan sebagai bentuk korupsi jelas tidak akan terberantas hanya dengan penjatuhan pidana yang berat saja, tanpa suatu preverensi yang lebih efektif.

Satu hal yang sering dilupakan adalah kurang diperhatikannya peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Orang selalu berpikir bahwa hanya aparat penegak hukum saja perlu diancam dengan tindakan yang keras, tetapi jika masyarakatnya sendiri menoleransi penyuapan, setiap kali memerlukan pelayanan selalu menyediakan amplop, setiap kena perkara langsung mencari siapa penyidik, penuntut umumnya atau hakimnya untuk disogok, maka lingkaran setan korupsi tidak akan terbatas.
Untuk itu memberantas korupsi haruslah dicari dulu penyebabnya,kemudian penyebabnya dihilangkan dengan cara prevensi (pencegahan) disusul dengan pendidikan (peningkatan kesadaran hukum) masyarakat disertai dengan tindakan represif (penindakan) disamping itu pemberantasan korupsi harus ditunjang pula dengan pelaksanaan pemerintahan yang baik (good govermance) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Ini menunjukkan bahwa suap atau korupsi menjadi sesuatu yang unik karena ternyata dengan cara penindakan yang keras sekalipun korupsi tidak akan hilang contohnya di negara Cina, sekalipun pelaku korupsi dipidana mati ternyata korupsi masihbelum bisa dihapus.
Khusus untuk Kepolisian, merujuk pada pendapat Prof. Tjip, perbaikan kepolisian untuk mengembalikan citranya dari suap dan citra buruk lain harus sudah dimulai sejak penerimaan personel Polri. Jika membiarkan tenaga-tenaga tidak tepat dan baik untuk menjadi polisi, upaya memperbaikinya di masa depan akan menjadi pekerjaan sulit. Mereka yang bisa diterima sebagai polisi adalah yang memiliki predisposisi kejiwaan untuk ”melindungi dan melayani masyarakat”. Hal ini terkait ciri kejiwaan polisi yang saya rumuskan sebagai O2H (otak, otot, dan hati nurani).
Mengingat syarat yang amat spesifik itu, momentum penerimaan personel (recruitment) amat krusial dan hasilnya harus terus dikembangkan dalam pendidikan. Langkah selanjutnya, membuat kurikulum pendidikan yang berputar pada poros melindungi dan melayani masyarakat. Kekuatan yang boleh digunakan polisi adalah yang ditundukkan kepada kemuliaan tugas polisi, bukan kekuatan telanjang (brute force). Intinya, pekerjaan polisi sebagai humane job, suatu pekerjaan yang penuh nuansa kemanusiaan. Pendidikan polisi itu tidak statis, hanya saat pendidikan, tetapi terus berlangsung saat mereka sudah bertugas di lapangan.
Tugas polisi berparadigma baru itu tidak akan berhasil baik jika masyarakat tidak diajak serta. Trauma masyarakat berhadapan dengan polisi di masa lalu harus dihapus. Citra baru yang kini dibangun adalah polisi yang bekerja di dalam, untuk, dan bersama masyarakat. Polisi-polisi generasi baru perlu menyadari, pertama-tama mereka adalah anggota masyarakat biasa, lalu sebagai polisi. Sesekali polisi perlu menggunakan kekuatan, tetapi kini polisi perlu selalu berpikir ”penggunaan kekuatan untuk apa?” Diingatkan, polisi juga anggota masyarakat biasa yang memiliki hak-hak kemanusiaan seperti masyarakat lainnya. Maka, polisi juga harus dipenuhi hak-haknya sebagai manusia dan anggota masyarakat. Maka, tidak berlebihan bila pemerasan dan pengurasan tenaga polisi juga melanggar HAM.
-ranggiwirasakti-





BAB IV
PENUTUP
A.    Simpulan
Perilaku penegak hukum khususnya polisi, saat ini mendapat citra yang begitu buruk di mata masyarakat. Hal itu dikarenakan maraknya praktik hitam di tubuh kepolisian. -ranggiwirasakti-
-ranggiwirasakti-

Menurut Amir Syamsyudin aparat penegak hukum sekarang dalam penegakan hukum, mereka lebih banyak memakai kacamata kuda dalam menyikapi suatu kasus hukum, baik dugaan pidana, perdata, maupun publik, dan kurang mampu menganalisis sebuah kasus secara benar sehingga tidak jarang kasus perdata dipaksa menjadi kasus pidana, atau sebuah kasus dipaksakan diberkas meski kurang bukti dan fakta pendukung.
Kegagalan penegakan hukum akibat ketidakmauan terlihat dari terjadinya proses penegakan hukum yang terkesan tidak transparan dan tidak jujur, bahkan sebuah kasus hukum membuka peluang untuk dijadikan obyek dan ladang pemerasan.
Selain itu mengenai suap, Selama kurun 14 tahun ini bidang penegakan hukum menjadi perhatian yang sangat serius dari kalangan masyarakat luas karena maraknya mafia peradilan. Selain praktik suap kecil kecil yang biasa disebut masyarakat sebagai uang damai dalam operasi tilang, dan penindakan tindak tindak pidana ringan, hingga suap tingkat tinggi.
Untuk memberantas praktik suap harus dilakukan secara luar biasa, karena praktik suap di kepolisian dan penegak hukum lain di Indonesia juga menjangkit secara luar biasa.

B.    SARAN
1.    Polisi harus benar benar mengamalkan Tri Brata Kepolisian yang merupakan landasan filosofis kepolisian itu sendiri.
2.    Reformasi kepolisian harus dilakukan sejak pendidikan kepolisian.
3.    Strategi Pemberantasan Suap harus dilakukan secara luar biasa/ Ekstraordinary.
4.    Harus ada sistem pengawasan yang baik antarlembaga untuk mengawasi penegakan hukum di Indonesia oleh aparat penegak hukum khususnya Kepolisian.
5.    Masyarakat juga harus berbenah dalam bersikap, karena suap dilayangkan ke aparat penegak hukum oleh paradigma masyarakat itu sendiri, bahwa aparat bisa dibeli.
-ranggiwirasakti-


















DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
Undang Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

BUKU
Soekanto, Soerjono. Polisi dan Lalu Lintas (analisis menurut Sosiologi Hukum). 1990. Jakarta: CV. Mandar Maju
Kunarto. Tri Brata Catur Prasetya. 1997. Jakarta: CIpta Manunggal
Tabah, Anton. Menatap dengan Mata Hati Polisi Indonesia. 1991. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

KLIPING/ KORAN
 Satjipto Rahardjo, POLISI YANG PROGRESIF, Kompas 12 Juli 2007
Satjipto Rahardjo, MEMBANGUN POLISI MASA DEPAN, Kompas 1 Juli 2008
Mustofa Muchdor, Menyelamatkan Institusi Kepolisian, Bisinis Indonesia 30 Maret 2007
Amir Syamsuddin, TANGGUNG JAWAB PENEGAK HUKUM, Kompas 2 April 2004
Oksidelfa Yanto, Krisis Moral Oknum Penegak Hukum, Bisinis Indonesia 5 Maret 2008
Muladi, Hakikat Suap dan Korupsi, Kompas 25 Mei 05

JURNAL

Agus Raharjo dan Angkasa. Profesionalisme Polisi dalam Penegakan Hukum. Jurnal Fakultas Hukum Unsoed Vol.11S2011
MAKALAH SEMINAR
MABES POLRI, REFORMASI DAN OPTIMALISASI PENEGAKAN HUKUM DI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Disampaikan pada FGD Penegakan Hukum di Indonesia. 12 Oktober 2011.
Program Doktor FH UNDIP, HUKUM MORAL DAN POLITIK, Disampaikan pada Stadium Generale Program doctor Bidang Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro. 23 Agustus 2008
Tim Pengkajian Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerjasama Internasional Dalam Konvensi PBB. Doktrin Suap. Desember 2006

0 komentar: