Selasa, 01 November 2011

UNCLOS dan Implikasinya dalam Sengketa Camar Bulan


LATAR BELAKANG
"Bahwa kita harus dapat menguasai lautan kita, kalau kita hendak mendjamin keamanan negara kita seluruhnja. Selama keadaan ini belum tertjapai, maka keselamatan negara kita selalu dapat terantjam, karena dengan demikian maka djustru lawanlah jang akan mempergunakan kemanfaatan2 keadaan fisik daripada Nusantara kita." (Pidato Letnan Jenderal Abdul Haris Nasution di depan Sidang Pleno Dewan Perancang Nasional (sekarang Bappenas), di Bandung, 13 Januari 1960 tentang Pembangunan Angkatan Perang)

 
Setelah berkali-kali terjadi sengketa wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, seperti sengketa mengenai Sipadan dan Ligitan, Ambalat, kini terkuak permasalahan baru yang menjadi headline dan menghiasi halaman depan pada media massa salah satunya Solopos. Pada Koran Solopos tanggal 10 Oktober 2011 terdapat berita dengan judul “Malaysia Caplok Wilayah RI”. Malaysia diberitakan mencaplok wilayah Indonesia di dusun Camar Bulan, Desa temajuk, kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, dan Pantai Tanjuk Datuk, kalimantan Barat.
Persoalan berawal dari Malaysia mengklaim wilayah Camar Bulan adalah wilayah Malaysia dengan mendasarkan kepada MoU pada Tahun 1975 di Kinabalu (Malaysia) dan 1978 Di Semarang (Indonesia) tentang hasil pengukuran bersama tanah tersebut, namun MoU adalah bersifat sementara atau tidak tuntas atau bisa ditinjau lagi (modus vivendi),  jika berdasarkan fakta dan juga dokumen peta, maka MoU yang sifatnya sementara tersebut tidak sesuai dengan Peta Negara Malaysia dan Federated Malay State Survey Tahun 1935, sehingga Indonesia dirugikan 1.449 Ha dan juga bertentangan dengan Pemetaan Kapal pemetaan Belanda van Doorn Tahun 1905 dan 1906 serta Peta Sambas Borneo (N 120-E1098/40 Greenwid, tetapi kemudian Malaysia buru-buru memasukan Outstanding Boundary Problems (OPB) Camar Bulan kedalam Peta Kampung Serabang, Serawak, Malaysia.
Dengan latar belakang tersebut, penulis mencoba menganalisis mengenai dasar hukum wilayah perbatasan tersebut dengan pendekatan Konvensi PBB tentang hukum laut yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS). Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dalam UU No. 17 tahun 1985. Salah satu hal penting yang diatur dalam UNCLOS 1982 dan terkait erat dengan Indonesia adalah yurisdiksi dan batas maritim internasional. UNCLOS mengatur kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi ekskluif, dan landas kontinen). Selain itu diatur juga tatacara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga, baik yang bersebelaan (adjacent) maupunberseberangan(opposite).

PEMBAHASAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara maritim telah mendapatkan pengukuhan statusnya dengan Hukum Laut Internasional 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982). Dengan demikian NKRI telah mendapat jaminan atas hak-haknya sebagai negara maritim, namun juga dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya di laut terhadap dunia (pelayaran) Internasional. Berkah yang diberikan UNCLOS 1982 ini sepatutnya kita syukuri, karena Indonesia-lah negara yang paling diuntungkan, mengingat NKRI adalah negara maritim yang memiliki wilayah perairan terluas, lebih luas dari wilayah daratan (3x luas daratan :luas daratan 2.027 km2, luas perairan 6.184.280 km2)
UNCLOS 1982 merupakan Hukum dasar atau pokok di bidang kelautan telah mengatur rejim rejim hukum laut yang selama lebih dari 25 tahun diperjuangkan Indonesia, yaitu ketentuan ketentuan tentang : perairan pedalaman (inland waters), perairan kepulauan (Archipelagic waters), laut wilayah/teritorial (Territorial waters), landas kontinen (Continental Shelf), zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan zona tambahan. Dalam UNCLOS tersebut memuat ketentuan atau peraturan tentang bagaimana menentukan titik pangkal (base points), garis pangkal (base lines) dan ketentuan jarak serta cara-cara penentuan setiap rejim perairan. Sebagai konsekwensi dari adanya rejim Hukum Laut Internasional (HLI), Indonesia dihadapkan pada beban tugas yang berat yaitu mengelaborasi dan menjabarkan Hukum Laut Internasional ini untuk kepentingan sendiri dan untuk pengaturan lalu lintas laut internasional yang cukup padat (karena kedudukan wilayah NKRI yang strategis) serta melaksanakan perundingan dengan negara-negara tetangga untuk menentukan batas perairan, semua itu perlu dilakukan dalam rangka penegakan wilayah kedaulatan NKRI.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai hak mengelola (yurisdiksi) terhadap ZEE.  Hal itu kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No. 17 tanggal 13 Desember 1985 tentang pengesahan UNCLOS. Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) mencapai jarak 200 mil laut, dikukur dari garis dasar wilayah Indonesia ke arah laut lepas.   Ketetapan tersebut kemudian dikukuhkan melalui UU Nomor 5/1983 tentang  ZEEI. Konsekuensi dari implementasi undang-undang tersebut adalah bahwa luas wilayah perairan laut Indonesia menjadi sekitar 5,8 juta Km2.
 Berdasarkan tulisan Awani Irawati yang merupakan peneliti mengenai perbatasan di P2P LIPI. Penulis dapat menyimpulkan ada tiga hal pokok yang bisa menjelaskan isu perbatasan di Camar Bulan dan Tanjung Datuk ini, yaitu warisan sejarah kolonial, legalitas, dan politis.
Pertama, semua masalah perbatasan negara Indonesia merupakan peninggalan Belanda dan ini mengandung makna uti possidetis menurut hukum internasional. Artinya, wilayah teritorial dan lainnya adalah milik negara bersangkutan sesuai dengan hukum internasional.
Perjanjian perbatasan 1891, 1915, dan 1918 antara Belanda dan Inggris atas Kalimantan-Malaysia, hanya mencantumkan penentuan batas pemisah wilayah mengikuti perbatasan alam (watershed) seperti garis pegunungan tertinggi, punggung pegunungan, aliran sungai, dan hutan. Pencantuman garis-garis batas lurus, apa lagi penentuan titik dasar (basepoint) untuk penarikan garis dasar antara Kalimantan dan Sarawak secara detail, saat itu belum disebutkan. Dan, karena status Indonesia maupun Malaysia hanya sebagai ‘objek’ kepemilikan di bawah kekuasaan kolonial Belanda dan Inggris, otomatis mereka ini hanya dipandang sebagai “benda mati” yang bisa ditukar, dija minkan, bahkan diserahkan ke pihak lawan. Sampai pada pe nan datanganan MoU 1975 (di Kinabalu) dan MoU 1978 (di Semarang) antara Indonesia dan Malaysia, menjadikan wilayah Tanjung Datu masuk ke dalam wilayah Malaysia. Tiada penjelasan mendasar mengapa Indonesia saat itu tidak melakukan protes.
Kedua, aspek legalitas di mana kedua pihak yang bermasalah sama-sama meratifikasi UNCLOS 1982 dan tunduk pada hukum internasional. UNCLOS sangat jelas, bagi pihak yang sudah meratifikasinya harus memahami dan tunduk pada aturan yang di tetapkan.
Sementara, hukum kebiasaan (customary law), yang juga menjadi salah satu sumber hukum internasional mengaitkan kepe milikan wilayah yang cukup banyak diikuti oleh negara melalui pendudukan (occupation), penetapan (prescription), penambahan (accretion), penyerahan (cession), dan penaklukan (conquest) (Syamsumar, 2010: 246). Namun, hukum ini pun kini tidak lagi diakui mengingat cara-cara kekerasan/pe rang yang ditempuh dalam memperoleh wilayah baru tidak sesuai dengan Piagam PBB. Sekalipun isu pemindahan batas wilayah perbatasan oleh pihak Malaysia di kampung Camar Bulan, Desa Tanjung Datu di Kabupaten Sambas, Kalbar, dianggap (oleh kita) sebagai bentuk pendudukan (occupation), rasanya ini kurang tepat. Maksud pendudukan di sini lebih bermakna pada suatu wilayah yang diduduki di mana sebelumnya tidak ada pihak lain yang memiliki. Faktanya, apa yang dilakukan Malaysia itu bukan “pendudukan” atas wilayah Kalbar yang tidak berpenghuni. Ini lebih didorong oleh keinginan untuk menambah Malaysia saja. Dan tindakan ini jelas melawan hukum.
Ketiga, aspek politis biasanya terkait erat dengan pendekatan keamanan yang terkesan sentralistik. Mengapa Malaysia bisa melakukan pergeseran patok sehingga mengurangi wilayah perbatasan Indonesia ini adalah terkait erat dengan masalah keamanan di sekitar perbatasan itu.
Dengan berdasarkan pada tulisan Kol. CTP Drs. Umar S. Tarmansyah, Puslitbang Indhan Balitbang Dephan) mengenai wilayah perbatasan Republik Indonesia, penulis dapat simpulkan penetapan batas wilayah negara di darat lebih sulit, karena menyangkut banyak faktor kendala yaitu :
1.  Sumberdaya alam (SDA),
2. Kesamaan etnik penduduk, beserta tradisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial, budaya dan agama/ kepercayaan,
3. Kondisi geografis/geomorfologis zona perbatasan dan
4. Perbedaan pandangan dari dua negara yang berbatasan.

Namun bagaimanapun batas negara adalah sesuatu yang wajib adanya, karena menjadi satu persyaratan berdirinya sebuah negara yang menyebutkan adanya suatu wilayah yang pasti; yang tentunya jelas batas-batasnya. Bilamana batas yang legal/tetap belum dapat diwujudkan, paling tidak harus ada kesepakatan batas sementara (provisional arrangement). Tanpa adanya border lines, pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di zona perbatasan akan sangat susah dicegah dan diberantas.

Faktor-faktor Penyebab Lemahnya Kondisi Perbatasan Negara.

a. Wilayah perbatasan jauh dari pusat pemerintahan, menyebabkan rentang kendali (span of control) dan pengawasan pemerintah terhadap wilayah perbatasan sangat lemah.
b. Masih ada beberapa segmen batas (darat dan laut) yang bermasalah (belum ada kesepakatan kedua belah pihak). Sementara itu garis batas yang sudah ditegaskan diukur dan diberi patok batas juga belum ditetapkan secara hukum.
c. Keterbatasan kemampuan dan kekuatan aparatur keamanan perbatasan menyebabkan lemahnya pencegahan, penangkalan dan pemberantasan aktivitas pelanggaran batas dan kejahatan yang terjadi di daerah perbatasan.
d. Medan yang berat dan jauhnya kawasan perbatasan dari pusat-pusat pemerintahan serta permukiman penduduk, memberikan peluang yang besar terjadinya border crimes seperti : illegal logging/mining/fishing, human trafficking, penyelundupan, illegal immigration, perompakan (piracy) dan lain-lain.
e. Rendahnya kesadaran geografi maritim, sehingga masyarakat kita tidak memiliki kebanggaan atas wilayah perairan yang luas dan kaya sumberdaya. Hal ini terbuktidengan hanya sedikitnya penduduk Indonesia yang berkiprah/bermata pencaharian di laut.
f. Lemahnya hukum dan peraturan perundang-undangan perbatasan. Hal ini tidak lepas dari belum absahnya (legal) garis batas negara karena peraturan perundangundangantersebut, salah satu rujukan utamanya adalah garis batas negara yang sudah tetap/absah belum ada.
g. Kevakuman aktivitas di kawasan perbatasan. Penduduk perbatasan yang sangat jarang menyebabkan rendahnya aktivitas penduduk bahkan pada kawasan pedalaman perbatasan darat dan kawasan perbatasan laut yang letaknya sangat jauh dari pulau-pulau berpenduduk sama sekali tidak ada aktivitas.

Sedangkan Persoalan OPB Tanjung Datuk sampai saat ini masih dalam proses perundingan di JIM (The Joint Indonesia- Malaysia Boundary Commite On Demaration and Survey Internaional Boundary) antara delegasi Indonesia yang dipimpin Sekjen Kementerian Dalam Negeri Malaysia. Penempatan patok pilar SRTP 01 secara sepihak oleh petugas ukur Malaysia di Tanjung Datok secara yuridis memberikan konseuensi hukum yang merugikan Indonesia, karena pergeseran pada titik kordinat 1 detik garis lintang utara (30,866 meter x 12 Nautical Mile Laut x 1.852 meter = 685.980,799 m² = 68,598 ha di Zone Laut Teritorial), serta implikasinya terhadap border line dangkalan Niger Gosong, dengan demikian langkah pemerintah RI antara lain menyampaikan nota protes kepada Malaysia.
Dengan merujuk pada pendapat Turiman Fachturahman Nur  dalam tulisan berjudul ” Penyelesaian Kasus Tapal Batas Dusun Camar Bulan secara Elegan” Penyelesaian sengketa atas zone Camar Bulan, Tim JIMBC Indonesia seharusnya dapat meyakinkan pada Tim Malaysia bahwa MoU 1976 di Kucing dan MoU 1978 di Semarang masih berbentuk sebuah kesepakatan dari petugas lapangan dan belum mewakili negara fihak, sebab yang berhak menandatangani perjanjian borderline antar negara adalah kepala negara atau kepala pemerintahan, dengan kata lain MoU 1976 dan 1978 bersifat prematur dalam hukum internasional atau diklasifikasikan sebagai modus vivendi (dapat ditinjau lagi) sehingga dengan demikian negara fihak sebenarnya secara hukum masih harus melakukan identification, rafication, and maintanance.
Pekerjaan rumah pemerintah yang harus diprioritaskan adalah menetapkan Undang-undang Batas Negara dan menyelesaikan peta wilayah laut dan darat (dengan memberdayakan peran Dittopad, Dishidros, Pusorta Dephan, Depdagri, Deplu RI dan Instansi terkait lainnya), dan sesegera mungkin mendepositkan data Base koordinat geografi titik-titik garis pangkal (base line and base point) ke lembaga internasional PBB, sesuai ketentuan Pasal 16 Ayat (2) UNCLOS III 1982. Adanya Undang-undang Batas Negara untuk kepastian hukum dan kejelasan pemanfaatan SDA (darat dan laut) dalam rangka kesejahteraan dan untuk keperluan TNI ketika menjaga kedaulatan NKRI.
Yang tetap harus menjadi perhatian semua fihak, jika lima titik out standing boundary problems di Kalbar belum dapat diselesaikan, tentu akan menjadi ganjalan dalam proses legalitas border line tingkat internasional pada lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konsekwensinya bahwa Negara fihak secara yuridis belum dapat menerbitkan undang-undang perbatasan, karena undang-undang jika sudah disyahkan oleh pejabat yang berwenang mengesahkan, maka undang-undang negara berlaku universal karena terkait dengan kepastian hukum itu sendiri.
Tim JIMBC segera melaksanakan tahapan Penegasan Batas terkait dengan Outr Standing Boundary Problems di Camar Bulan, Batu Aum, Sei Buan, Gunung Raya, patok Pilar D.400 dan terkait dengan penerapan watershed maupun penempatan pilar SRTP 01 secara sepihak oleh petugas ukur Malaysia, dengan demikian kekawatiran masyarakat dan kepastian hukum border line  segera terjawab,  adapun  salah satu tahapan proses  ratifikasi : a.Rekon (recce): pencarian garis batas negara dilapangan mengikuti ketentuan watershed di lokasi yang akan di survei dan jika tidak ditemukan watershed, ditempuh dengan pola garis lurus (straigth line). b.Rintisan (clearing)pembersihan jalur   pengukuran antara 2 (dua) tempat yang akan ditanam tugu patok pilar batas dengan cara rintisan ataupun penebangan pohon yang menghalang-halangi pekerjaan lapangan. c. Tanam tugu/ patok pilar batas (Boundary Makers Planted):  penanaman tugu/ patok pilar batas negara sesuai tempat yang ditentukan bersama. d.Pengukuran situasi (tacheometric):yaitu kegiatan pengukuran untuk mendapatkan data ukur situasi watersheed dengan mengukur arah dan jarak dari patok batas ke arah depan (intersections) dan belakang (resections), juga arah samping kanan dan kiri maksimal sejauh 50 meter. e. Pengukuran poligon (demarcation):pengukuran untuk mendapatkan data arah dan jarak antara 2 tugu patok batas dengan alat elektronik GPS untuk mendapatkan koordinat dan tinggi tugu patok batas negara yang diukur dalam hitungan meter di atas permukaan air laut.
Setelah lima tahapan dapat diselesaikan oleh Tim JIMB yang perlu segera dilaksanakan oleh Indonesia adalah sosialisasi ”tapal batas”, hal ini menjadi penting jika sebuah kepentingan sudah sangat mendesak apalagi negara tetangga lebih dahulu siap dengan program strategis daerah perbatasan, salah satu kelemahan pembangunan daerah perbatasan adalah sosialisasi program yang berhadapan dengan kepentingan masyarakat perbatasan, oleh karena itu sosialisasi hukum boundary line menjadi sangat penting dilakukan.
Hal-hal yang sering muncul dalam wacana di pemerintahan dan masyarakat bahkan ketika era otonomi daerah ternyata masalahnya bukan persoalan “patok bergeser” tetapi menyangkut kemanfaatan yang terselesaikan secara hukum internasional, disinilah pemahaman tapal batas negara secara hukum menjadi penting untuk disosialisasikan kepada semua pihak termasuk masyarakat perbatasan dan seluruh komponen bangsa, sebab hukum borderline secara materiil (fisik) berwujud patok pilar batas suatu negara yang dijustivy kedalam international rechstaats  dan terikat pula oleh 2 public rechtaats sebagai perbandingan 2 sistem hukum public negara pihak. Dengan demikian negara pihak terikat sebagai obyek materiil hukum internasional dan salah satu pihak tidak boleh mengundurkan diri dari out standing boundary problems
Kasus Zone Camar Bulan seluas 1.499 hectoare, solusi penyelesaian menurut penulis dengan pola garis lurus (straigth line) mulai dari patok type A.89 s.d A.156 dengan alasan karena RI telah menguasai secara efektif (Efective Ocupation) sejak 11 Februari 1982 dengan kegiatan pencetakan lahan sawah baru dilokasi tersebut melalui program AMD Manunggal Sosial Sejahtera VII dibawah pimpinan Dansatgas Letkol Czi Suparyatmo Yonzipur 9/ Kostrad sebanyak 200 prajurit, upacara pelepasan oleh Kasad Jenderal TNI Poniman di Darmaga Tanjungpriok Jakarta. Adapun sasaran AMD yang dilaksanakan saat itu adalah: pembuatan jalan rintisan Liku-Sei Bening 36 km dan 74 jembatan, 20 unit Rumah pemukiman baru di Temajok Tanjung Dato, Surau, Gereja, Gedung SD, Puskesmas, penutupan AMD oleh Pangdam XII/Tpr Brijen TNI I.B Sujana.
Perlu diberikan kewenangan khusus kepada Badan Pengelola Kawasan Perbatasan Kalimantan Barat yang berkoordinasi dengan Kantor Wilayah Kementerian Pertahanan RI  yang menunjuk perwakilannya yang berkedudukan di kota Pontianak dan secara khusus membidangi serta mengurus persoalan borderline, dan sebenarnya subtansi persoalannya adalah kurang perhatian pemerintah pusat terhadap kesejahetaraan masyarajat di Perbatasan dan seringnya perencanaan yang sudah direncanakan matang oleh birokrasi didaerah yang sebenarnya sangat paham persoalan kawasan perbatasan “selalu dirubah-rubah” oleh pejabat-pejabat di pemerintah pusat dan kurang dikoordinasikan dengan pemerintah daerah Kab di Perbatasan dan dengan Gubernur provinsi Kalimantan Barat sebagai wakil pemerintah pusat yang ada di daerah,  inilah “ego sektoral” yang masih menjadi kendala di birokrasi pemerintahan, RI. Sedangkan pemerintah Malaysia karena negara berbentuk federal kebijakan ada diwilayahnya menjadi otonom pemerintah pederal dan sangat memperhatikan kawasan perbatasan dengan segala infra struktur.
Sebagai referensi ke depan, penulis menekankan ada beberapa poin penting mengenai macam macam pelanggaran atau kejahatan di laut yang patut diwaspadai oleh Republik Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Mayor Laut (P) Salim, Komandan KRI Untung Suropati – 872. Dengan mengetahui permasalahan tersebut, diharapkan kita dapat menyusun strategi ke depan sebagai kiat preventif menghadapi ancaman terhadap kedaulatan bangsa Indonesia.
A. Bentuk Pelanggaran di Perairan NKRI
Bentuk kejahatan yang terjadi di perairan NKRI, antara lain:
1. Piracy. Kejahatan ini sangat menakutkan dunia pelayaran, karena bukan saja merampas materi berharga tetapi para perompak tak segan pula melukai / membunuh awak dan penumpang kapal. Mereka berpengalaman, memiliki sarana yang canggih untuk segera menghilang dari kejaran aparat keamnanan laut (Kamla). Ketika aparat Kamla siaga mereka menghilang, tetapi ketika aparat Kamla lengah / tidak ada, mereka bertindak. Ada kecenderungan aktivitas piracy ini meningkat beberapa tahun terakhir ini khususnya di Selat Malaka, sehingga sangat meresahkan pelaku pelayaran.
2. Terrorism at Sea. Sebagai negara yang memiliki beberapa choke points internasional dan berbatasan langsung dengan beberapa negara tetangga, Indonesia sangat rawan akan serangan terorisme maritim, karena setiap hari ratusan kapal berbagai jenis dari berbagai negara melintasi perairan NKRI. Hal ini dikarenakan ketatnya dunia penerbangan, sehingga laut menjadi alternatif medan aktivitas teroris.
3. Smugling, meliputi : barang konsumsi (seperti : beras, gula pasir, BBM, dan lain-lain), barang produk industri (seperti : barang elektronik, TV, radio, HP, komputer, kendaraan bermotor), narkoba, senjata ringan (jatri: senapan dan pistol), penyeludupan manusia (human trafficking). Khusus penyelundupan jatri, narkoba dan manusia sudah masuk dalam kategori kejahatan antar bangsa (transnational crime). Sebagai negara maritim dengan panjang garis pantai terpanjang di dunia, Indonesia sangat rawan dengan kejahatan penyelundupan ini karena kegiatan tersebut dapat dilakukan di banyak titik pendaratan di sepanjang pantai.
4. Illegal fishing and Logging. Indonesia kehilangan tidak kurang sebesar Rp 40 trilyun per tahun akibat illegal fishing, dan juga puluhan trilyun kerugian negara akibat pembalakan liar.
5. Illegal Crossing. Pada tanggal 26 Juni 2006, pesawat tempur F-16 TNI-AU yang sedang patroli di atas perairan Kepulauan Alor mendeteksi sebuah kapal asing pada koordinat 08o50' LS dan 124o23' BT. Kapal tersebut diperkirakan berbobot 1.000 ton dan membawa sejumlah jatri AK-47. KRI Sangkuriang dan KRI Sutanto terus mendeteksi kapal "Siluman" tersebut, namun tak berhasil menemukannya. Kemungkinan besar telah melarikan diri ke perairan Timor Leste. Ini hanya sebagai salah satu contoh. Masih banyak lagi berbagai kegiatan yang dilakukan oleh negara-negara kuat dimana kita masih belum mampu untuk mengidentifikasi akibat keterbatasan kemampuan alutsista TNI kita. Ada indikasi kasus semacam ini diperkirakan sering terjadi terutama di perairan daerah konflik seperti Aceh, Papua, Maluku dan Sulawesi.
6. Claim of Area. Pada 16 Februari 2005, perusahaan minyak Malaysia, Petronas, melakukan kontrak kerja dengan perusahaan Shell Corporation, perusahaan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi Inggris dengan memberi konsesi di wilayah perairan Ambalat di sebelah timur perairan Kaltim. Kontan saja isu kontrak kerja Petronas menyulut reaksi keras semua komponen bangsa yang seolah-olah terbangunkan kembali akan ingatan masa lalu atas kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang sekarang sudah menjadi milik Malaysia atas dasar keputusan Mahkamah Internasional.
7. Kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Tanggal 6 maret 2009 KRI Untung Suropati – 872 menangkap kapal pembom dan pembius ikan di Kep. Sabalana, dimana kepulauan ini merupakan cagar budaya. Kegiatan ini masih banyak dilakukan oleh sebagian nelayan tradisional di beberapa wilayah Indonesia. Disamping merusak ikan yang ada, kegiatan tersebut juga merusak terumbu karang.

B. Penyebab Pelanggaran
1. Lemahnya Perhatian dan Pemberdayaan Laut. Sebagai bukti lemahnya perhatian dan pemberdayaan laut antara lain sebagian besar 60 persen dari pulau-pulau yang sudah diketahui belum memiliki nama, termasuk pulau-pulau di zona perbatasan. Kita lalai dalam menegaskan perbatasan, demikian juga dengan nelayan kita, pada umumnya mereka beroperasi tidak begitu jauh dari pantai (radius belasan mil laut). Hanya nelayan kuatlah yang berani beroperasi di laut lepas/perairan dalam yang jumlahnya sangat terbatas.
2. Lemahnya Kekuatan TNI-AL. TNI-AL sebagai ujung tombak keamanan maritim masih sangat lemah, baik secara kuantitas maupun kualitas. Kemampuan armada laut kita bila dihadapkan pada luasnya wilayah tanggung jawab sangatlah tidak memadai. Dari segi kecanggihan peralatan / alutsista, sebagian besar "tidak layak tempur" karena sudah berumur rata-rata 40 tahunan. Dari segi sumberdaya manusia (SDM) prajurit, jumlahnya kurang dari 25% prajurit TNI-AD, padahal luas laut tiga kali lipat luas daratan. Jumlah kapal TNI-AL sekitar 140 yang terdiri dari berbagai tipe dan rentang pembuatan yang berbeda, sangat tidak memadai untuk mengamankan wilayah perairan yang begitu luas. Dalam beberapa hal kekuatan alutsista TNI-AL kalah dari angkatan laut Malaysia dan Singapura. Sebagai contoh: pemilikan kapal selam, kita yang memiliki wilayah perairan yang begitu luas hanya memiliki dua kapal selam tua, sedangkan Malaysia segera akan memiliki empat kapal selam. Padahal, luas lautnya kurang dari 10% laut Indonesia. Bahkan Singapura sebagai negara pulau kecil sudah memiliki empat kapal selam yang lebih canggih.
Faktor negatif lainnya:
1. Langkanya negosiator yang menguasai hukum sehingga tidak bisa bertindak proaktif (bereaksi cepat) atas berbagai bentuk pelanggaran kedaulatan wilayah laut dan kejahatan lainnya di perairan.
2. PSI (Proliferation Security Initiative). Adanya kesepakatan 12 negara di bawah koordinasi AS untuk mencegah dan memberangus terorisme yang menggunakan tenaga nuklir, bahan kimia dan biologi (nubika) sebagai alat melalui rekayasa teknologi sejak dini. Termasuk di dalamnya mencegah pasokan bahan nuklir ke Korea Utara melalui perairan Asia Tenggara. Dalam hal ini perairan Nusantara sangat diwaspadai karena dianggap sebagai salah satu perairan paling tidak aman di dunia. Oleh karena itu, kapal-kapal PSI dapat saja secara sepihak melintas keluar-masuk perairan wilayah kedaulatan RI (di luar ALKI) dengan alaasn untuk melakukan pencegatan dan pemeriksaan kapal-kapal yang dicurigai membawa bahan Nubika ilegal. Bilamana hal ini terjadi, mungkinkah aparat Kamla/TNI-AL berani mengusirnya? (Ingat: Indonesia termasuk salah satu negara yang menolak ajakan kerjasama PSI sekalipun memiliki komitmen yang sama atas pemberantasan terorisme internasional). Sekalipun peringatan dilakukan, kapal-kapal PSI/US Navy tidak akan menggubrisnya karena USA tidak meratifikasi hukum laut Internasional (UNCLOS 1982) sehingga mereka tidak merasa melakukan pelanggaran atas wilayah kedaulatan NKRI. Selain itu, dalam hukum laut internasional, ada suatu pasal yang mewajibkan negara kepulauan mengakomodasi kepentingan masyarakat internasional yang beroperasi di perairan negara tersebut.
3. Rendahnya Kesadaran Geografi. Indonesia termasuk salah satu bangsa yang kurang memiliki kesadaran geografi (wilayah). Indikasinya adalah rendahnya pengetahuan dan perhatian penduduk (terutama generasi muda) atas kondisi geografi NKRI, rendahnya apresiasi terhadap pentingnya peta, pelajaran geografi di sekolah-sekolah juga semakin sedikit porsinya pada kurikulum pendidikan nasional. Rendahnya kesadaran geografi ini berpengaruh negatif terhadap kepedulian warga negara atas permasalahan teritorial yang berdampak pada rendahnya rasa cinta/bangga tanah air dan kesadaran bela negara.
4. Indikasi politik "deteritorialisasi". Indonesia menghadapi persoalan geopolitik yang meningkat sejak satu dekade terakhir ini. Klaim pulau/perairan tertentu di zona perbatasan, penambangan pasir laut secara ilegal oleh negara tetangga (Singapura), pencurian plasmanutfah, penyelundupan fauna langka, pergeseran batas wilayah dan lain-lain merupakan indikasi politik deteritorialisasi oleh pihak asing. Sementara itu, ada upaya terselubung penguasaan pulau-pulau perbatasan melalui kooptasi kegiatan ekonomi dan kebudayaan penduduknya. Sebagai contoh: penduduk wilayah tapal batas Kalimantan, Kep. Sangihe-Talaud dan P. Miangas dalam kehidupannya sehari-hari sangat bergantung pada negara tetangga. Mereka menggunakan uang asing, mendengarkan siaran radio, melihat saluran TV dan berbicara dengan bahasa negara tetangga serta bergaul dengan komunitas / penduduk negara tetangga yang lebih mampu. Hal-hal tersebut terjadi karena lemahnya pembinaan pemerintah terhadap masyarakat perbatasan. Kondisi demikian tidak dapat dibiarkan karena dapat menyebabkan lepasnya pulau-pulau terluar kepada pihak asing. Dalam hal ini, lepasnya P. Sipadan dan P. Ligitan hendaknya menjadi cermin dan pelajaran yang berharga.
Politik deteritorialisasi dapat berlangsung melalui berbagai cara dan pendekatan: kurtural, ekonomi, diplomatik dan militer. Semua itu dapat dilaksanakan sendiri-sendiri atau integratif. Cultural Deterritorialization dilaksanakan dalam strategi pendekatan kebudayaan seperti pengkondisian pemakaian bahasa, lifestyle, seni, dan lain-lain. Economic Deterritorialization diwujudkan melalui pendekatan pemenuhan kebutuhan ekonomi penduduk perbatasan kita. Pemberian fasilitas, modal dan penampungan kayu illegal logging oleh pihak Malaysia kepada penduduk perbatasan Kalimantan adalah salah satu contohnya. Diplomatic Deterritorialization adalah eksploitasi kelemahan otoritas diplomatik kita. Contoh: bagaimana Malaysia memanipulasi bukti-bukti dokumen historis, membuat peta wilayah perbatasan secara sepihak dan mengintensifkan kehadirannya di daerah sasaran ketika mengklaim P. Sipadan dan P. Ligitan sampai akhirnya -dengan cara-cara itu- berhasil menguasai kedua pulau itu melalui keputusan Mahkamah Internasional. Jadi dalam politik deteritorialisasi, lawan dapat mengeksploitasi semua kelemahan atas penguasaan wilayah / teritorial yang dia incar.


Strategi Penguatan Penegakan Kedaulatan di Wilayah Perairan
Terdapat banyak faktor penyebab lemahnya perhatian dan pemberdayaan sektor maritim yang menyebabkan begitu maraknya kriminalitas dan pelanggaran kedaulatan wilayah perairan NKRI. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Ada beberapa segmen batas laut yang masih menjadi sengketa.
b. Kekosongan aktivitas di sepanjang zona batas laut NKRI.
c. Lemahnya pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pelanggaran wilayah kedaulatan maritim.
d. Rendahnya kesadaran geografi (maritim) Indonesia.
e. Tidak adanya konsep pertahanan keamanan berbasis maritim.
f. Belum jelasnya identitas pulau-pulau terluar sebagai milik Indonesia.


Strategi Penyelesaian Sengketa Batas Laut
Untuk menghadapi kemungkinan lebih jauh dari strategi yang diterapkan negara-negara tetangga khususnya Malaysia, Singapura dan Filipina, maka pemerintah harus menciptakan counter strategy dengan cara sebagai berikut :
1. Terus mengupayakan negosiasi penyelesaian atas perbedaan paham dengan mengedepankan argumen yang berlandaskan Klausul Hukum Laut Internasional (HLI) dan jabarannya. Serta memetakan batas wilayah laut berpedoman pada ketentuan UNCLOS dan segera mendepositkannya di PBB.
2. Memperluas dan mengintensifkan kajian HLI dan jabarannya atas fakta kondisi perairan perbatasan NKRI melalui forum nasional (di perguruan tinggi, Deplu, Depdagri, DKP, dll.) serta forum internasional (dengan sesama negara kepulauan seperti : Jepang, Filipina, negara pantai dan komunitas maritim Internasional).


Penguatan Aktivitas di Zona Batas Laut
Dapat dilakukan melalui strategi :
1. Pemberdayaan nelayan dengan cara meningkatkan kemampuan (SDM, kapal dan sarana penunjang) untuk menjadi nelayan modern yang dapat bersaing dengan nelayan asing dan dapat beroperasi di laut lepas (perairan perbatasan dan ZEE) dalam jangka waktu lama.
2. Meningkatkan patroli di zona perairan perbatasan, baik patroli laut maupun patroli udara (dengan pesawat udara TNI-AL dan TNI-AU).
3. Melakukan proyek penelitian sumberdaya laut dan atau ekspedisi maritim di kawasan/zona perairan perbatasan negara. Hal ini dapat dilakukan atas kerjasama institusi terkait : DKP, KNRT, LIPI, TNI-AL, dll.
4. Transmigrasi nelayan ke pulau-pulau terpencil di perairan. Transmigrasi nelayan di perairan akan dapat meningkatkan aktivitas di perairan perbatasan. Namun hal itu hanya mungkin terjadi bilamana para migran nelayan ini disiapkan dan dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan, dimodernisasi serta dibina sedemikian rupa. Segala kebutuhannya disediakan dan hasil tangkapan mereka ditampung/dibeli dengan harga yang wajar. Konsep pemberdayaan mereka adalah pola PNI (Perikanan Inti Nelayan) jadi harus ada perusahaan perikanan besar sebagai inti yang dapat mensuplai segala kebutuhan dan menampung hasil tangkapan para nelayan sebagai plasma.

Strategi Memperkuat Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan dan Pelanggaran Kedaulatan Wilayah Maritim
Strategi tersebut dapat dilakukan dengan beberapa upaya sebagai berikut :
1. Memperkuat kinerja aparat keamanan di laut (Kamla), dengan cara mensinergikan aparat Kamla yang berasal dari beberapa departemen dan institusi terkait seperti : TNI-AL, Pol Air, DKP, Depkum dan HAM (Ditjen Imigrasi), dll., melalui pemanfaatan sarana dan teknologi komunikasi informasi canggih. Salah satunya adalah pemanfaatan jasa dan produk teknologi penginderaan jauh (remote sensing) yang memungkinkan gerakan setiap benda yang ada di perairan dapat dideteksi dan diidentifikasi dari jarak jauh untuk kemudian diklarifikasi dan tentunya diakhiri dengan tindakan. Bilamana hasil klarifikasi menunjukkan adanya tindak kejahatan/pelanggaran wilayah kedaulatan laut NKRI.
Sekarang ini aparat Kamla berada dalam koordinasi Bakorkamla (Badan Koordinasi Keamanan Laut), yang dalam operasionalnya belum menunjukkan suatu kesatuan penindakan yang solid. Masing-masing aparat lebih mengutamakan kepentingan misi institusinya daripada kepentingan strategis nasional. Hal ini dikarenakan dana operasional juga masih didukung oleh sektor masing-masing.
2. Meningkatkan aktivitas patroli perairan terkoordinasi. Mengingat amat luasnya perairan NKRI, seyogyanya pengawasan dan pengamanan laut dilaksanakan dengan melibatkan banyak pihak berkepentingan seperti tersebut diatas. Ada baiknya patroli dilakukan secara terkoordinasi (bukan secara bersama-sama). Masing-masing pihak dapat melaksanakan tugas patroli sesuai dengan lingkup tugas, kewenangan dan kemampuannya.
Patroli terkoordinasi di zona perairan (perbatasan dengan Malaysia dan Singapura / Selat Malaka) sudah sering dilakukan terutama pada perairan yang rawan perompakan bersenjata (piracy) dan daerah sengketa. Hasilnya, dapat menekan jumlah kasus piracy walau hanya bersifat sementara.


Strategi Penguatan Kesadaran Geografi Maritim
Sangat jarang penduduk Indonesia / WNI yang memiliki kesadaran atas Geografi Indonesia sebagai sesuatu yang patut dibanggakan. Terlebih-lebih Geografi Maritim (Geomar), yaitu pengetahuan tentang kondisi perairan / laut kita yang amat luas dengan jumlah pulau lebih dari 17.500, dengan kandungan kekayaan sumberdaya yang melimpah seperti: bermacam-macam jenis ikan (ikan konsumsi dan ikan hias), kerang-kerangan, mineral tambang (40% sumber minyak ada di laut), taman laut (termasuk yang terindah di dunia) bahkan diperkirakan harta karun yang terpendam di laut kita nilainya terbesar di dunia.
Kelemahan kesadaran Geomar tersebut berpangkal pada kurikulum pengajaran Geografi yang sangat minim, dimana hanya merupakan bagian kecil dari rumpun pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS). Oleh karena itu, guna meningkatkan kesadaran Geomar juga harus berangkat dari penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kelautan Indonesia, sehingga sejak tamat SD penduduk sudah memiliki Iptek dan wawasan bahari yang memadai. Selanjutnya, di tingkat sekolah menengah semakin diperbanyak SMK Kelautan, demikian pula di perguruan tinggi harus semakin diperbanyak kajian dan litbang kelautan.


Strategi Membangun Konsep Pertahanan Keamanan Berbasis Maritim
Sebagai negara kepulauan, NKRI berbatasan dengan negara tetangga, dimana 60 persennya adalah adalah batas laut. Batas darat hanya dijumpai di Papua, Timor dan Kalimantan (terpanjang 2.004 km). Atas dasar hal tersebut, musuh negara kemungkinan besar akan datang via laut, sehingga sangat wajar bilamana kita memiliki sistem pertahanan berbasis maritim dan memiliki TNI-AL yang besar dan kuat. Kenyataannya, jumlah prajurit TNI-AD 281.132 orang (tahun 2005), jauh lebih banyak daripada TNI-AL yang hanya 58.640 orang prajurit. Dengan kekuatan TNI-AL yang kecil tidak memungkinkan dapat mewujudkan kehadiran di laut (naval presence) secara memadai.
Karena itulah dalam "Sistem Pertahanan Berbasis Maritim" sudah pasti tumpuan kekuatan berada pada TNI-AL dan TNI AU dengan tanpa mengabaikan kekuatan TNI-AD sebagai kekuatan penunjang. Untuk itu, kekuatan dan kemampuan TNI-AL, baik secara kualitas maupun kuantitas perlu ditingkatkan terus, sedikitnya mencapai kebutuhan esensial minimal (minimum essential requirement). Mungkinkah itu dapat dicapai dalam waktu cepat? Melihat kondisi kemampuan bangsa kita yang masih rendah, belum memungkinkan hal itu dapat dicapai dalam waktu dekat, solusinya bagaimana? Caranya bagaimana ?.
Bangun "gerakan maritimisasi", ipoleksosbud yang berorientasi dan berbasis laut. Ini adalah bahasa sederhana dari sebuah gerakan mendayagunakan potensi laut dalam segala aspek kehidupan. Hal ini penting untuk dikaji dan dipertimbangkan lebih jauh. Ingat, bangsa-bangsa besar dalam sejarah adalah bangsa yang menguasai samudera. Inggris, Belanda, Portugal, dll, dulu datang menguasai Timur Jauh, semuanya melalui laut, bahkan Amerika pun dengan kekuatan laut yang besar mampu menjadi super power dunia. Dalam sejarah kita, Majapahit, sebuah kerajaan Nusantara pernah menguasai Samudera Hindia hingga ke Madagaskar.
















DAFTAR PUSTAKA

Andi Iqbal Burhanuddin, “Sea Power” dan Pengamanan Laut Nusantara
Refleksi Hari Tentara Nasional Indonesia 2011
Solopos, 10 Oktober 2011 , Malaysia Caplok Indonesia

http://www.tandef.net/nusantara-laut-kita-kedaulatan-bangsa// Mayor Laut (P) Salim, Komandan KRI Untung Suropati – 872, “ Nusantara, Laut Kita & Kedaulatan Bangsa”

www.geopolitical.blogspot/batas-maritim-indonesia-setelah-29.html


http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2011/10/penyelesaian-kasus-tapal-batas-dusun.html Turiman Fachturahman Nur , Penyelesaian Kasus Tapal Batas Dusun Camar Bulan secara Elegan

0 komentar: