Kamis, 02 Mei 2013

Kematian Profesionalisme

disadur dari Opini pakar yang berjudul "Kematian Profesionalisme"
ditulis oleh Bambang Satriya ; Guru Besar Ilmu Hukum di Stiekma, Dosen Luar Biasa Universitas Ma-Chung, Malang
dimuat di MEDIA INDONESIA, 30 April 2013


Menurut Von Savigny hukum yang adil hanya ada dan bisa ditegakkan di negara yang demokratis. Dalam negara yang demokratis, hukum dibuat atau diangkat dan diberlakukan sebagai respons atas aspirasi rakyat atau wajah kesejatian rakyat. Masalahnya, apakah memang masih ada hukum di negara ini yang benar-benar mencerminkan kesejatian suara rakyat?


Kasus Susno Duadji, yang menolak ditangkap atau dipenjarakan, dan bahkan mendapatkan perlindungan Polri, merupakan sampel kasus yang menunjukkan bahwa wajah hukum menjadi ambigu, multitafsir, dan bahkan tak menyuarakan aspirasi rakyat secara egaliter akibat perilaku komponen penegak hukum.
Mereka itu tak menempatkan hukum sebagai supremasi normatif yang harus digunakan sebagai pijakan bernegara dan bermasyarakat, melainkan sebagai instrumen yang membenarkan asumsi dan kepentingannya. Hukum bahkan sebatas diperlakukan sebagai logika dan teori-teori untuk melicinkan jalan dalam membela atau melindungi siapa pun yang dinilai menguntungkan mereka.


Mereka itu termasuk orangorang yang sudah didiklat, dilatih, atau dimasukkan dalam kawah candradimuka proses pembelajaran ilmu hukum, yang mesti paham dan terlatih tentang bagaimana seharusnya mewujudkan ketaatan atau kepatuhan pada norma yuridis.


Hukum haruslah mencerminkan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hukum yang gagal ditunjukkan secara empiris dan memanusiakan oleh lembaga peradilan merupakan hukum yang menyakiti atau mendehumanisasi rakyat. Hukum yang demikian memang ada dan bahkan dilestarikan oleh suatu rezim tertentu, meskipun eksistensinya menyakiti rakyat.


Idealisme itu menunjukkan bahwa peradilan mempunyai tugas mulia dalam memenuhi dan mewujudkan keinginan masyarakat. Keinginan masyarakat bukan hanya sebatas bagaimana perkara bisa ditangani secara cermat dan efektif oleh lembaga peradilan, tetapi juga ditangani lembaga peradilan yang kredibilitas moral dan profesionalismenya terjamin.


Produk kinerja elemen peradilan di antaranya ialah putusan hakim. Hakim memimpin dan menghasilkan keputusan untuk ditaati oleh siapa pun yang beperkara. Rule of game menjadi kuncinya supaya selain kewibawaan peradilan tetap terjaga, keadilan dan egalitarianisme juga ikut terjaga.


Siapa pun yang beperkara, baik itu polisi yang berurusan dengan tuduhan tindak pidana (straafbaarfeit) maupun orangorang yang bukan dari aparat penegak hukum, mempunyai kedudukan egaliter dalam ranah pertanggungjawaban yuridis. Tidak lantas karena satu orang atau beberapa orang berstatus aparat penegak hukum, mereka mendapatkan hak mempermainkan hukum sesuka hati.


Pakar hukum Frans Hendra Winarta menyebut profesionalisme tanpa etika menjadin kannya `bebas sayap' (vleugel vrij) dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya `lumpuh sayap' (vleugel lam) dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak.


Sudah beberapa kali publik meminta kepada polisi supaya tidak ada penjahat yang diperlakukan istimewa. Permintaan tersebut sejalan dengan konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum, yang salah satu prinsipnya ialah penegakan asas persamaan derajat di depan hukum (equality before the law). Dalam prinsip ini, siapa pun yang menjadi pelanggar norma yuridis, apakah ia berpangkat jenderal ataupun kopral, wajib mempertanggungjawabkan atau dipertanggungjawabkan secara hukum berbasis kesederajatan, nondiskriminasi, atau egalitarianisme.


Selama ini, jagat yuridis kita menjadi sangat buram lebih disebabkan ketidakberdayaan dalam menerapkan norma egaliter. Dalam ranah penegakan sistem yuridis, yang lebih tampak ialah pemberlakuan monologisme logisme manajemen, dan bukan sistem yang berkesederajatan.


Karut-Marut


Elemen peradilan yang mengkhianati prinsip egalitarianisme telah membuat karutmarutnya jagat hukum. Wajah kepolisian yang mati-matian membela Susno dengan modus sampai melawan putusan Mahkamah Agung hingga mengakibatkan bentrok dengan kejaksaan merupakan wajah buruk wajah buruk korps yang didesainnya sendiri.


Mereka telah membuat kesalahan besar karena memang sejatin y a diri me reka ialah pelaku utama yang memainkan peran sangat vital dan fundamental sekaligus sakral bagi terwujudnya idealisme penegakan hukum (law enforcement) dan keadilan. Namun akibat sepak terjangnya yang menerjang regulasi sistem peradilan pidana, mereka akhirnya berstatus sebagai produsen penghan curan profesionalisme, kejujuran, dan keadilan.


Di ranah profesionalisme mereka itu, negara sejatinya sudah memercayakan bagaimana seharusnya idealisme yuridis benar-benar menjadi empiris, atau bagaimana keadilan menjadi `hak milik' seseorang, masyarakat, atau negara (rakyat) yang memang seharusnya berhak menerimanya. Sayangnya, akibat profesionalisme yang `dimatikan', mereka tak ubahnya sebagai sekelompok masyarakat barbar, bukan kelompok cendekiawan dan `negarawan'.


Menurut pakar hukum Purbacaraka, negara hukum ti dak bisa dilepaskan dari esensi negara demokrasi. Setiap bentuk pelaksa naan hukum, ada hak rakyat sebagai peme gang kedaulatan yang dipertaruhkan. Ketika norma yuridis diselingkuhi, di antaranya dengan melakukan malapraktik profesi, yang pertama dan utama menjadi korbannya ialah rakyat.


Dalam ranah itu, hukum yang demokratis bermaknakan sebagai hukum yang bukan hanya sejiwa dengan kepentingan ma syarakat, melainkan sebagai hukum yang oleh negara bisa dimediasi atau dilabuhkan sebagai norma yang mengejawantah, yang mampu memberikan manfaat demi dan untuk rakyat. Kalau hukum secara terus-menerus dijadikan instrumen kekuasaan, seperti membela dan melindungi `orang kuat yang bersalah', hukum tak ubahnya instrumen represif dan tiranistik.


Sejatinya, untuk bisa menjadi hukum yang demokratis atau bermanfaat untuk publik tersebut, elemen negara seperti polisi menjadi kuncinya. Elemen tersebut membuat norma hukum bisa bekerja seperti melindungi, memenuhi, dan memberdayakan, dan sebaliknya bisa menghadirkan dan `menyuburkan' distorsi egalitarianisme. Polisi bisa menciptakan budaya hukum yang menyehatkan dan mendamaikan masyarakat, bukan `memotivasi' lahirnya dan menguatnya atmosfer barbarisme seperti yang mereka perbuat.


Pakar hukum Joeniarto membenarkan bahwa negara yang berasaskan the rule of law mengandung konsekuensi tindakan penguasa dan masyarakat negara harus berdasarkan atas hukum, bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka dengan maksud membatasi kekuasaan penguasa dan melindungi hak keadilan masyarakat.


Ketidakadilan atau diskriminasi bisa dengan mudah diproduksi elite penegak hukum. Pasalnya, mereka inilah yang dipercaya mengenakan baju hukum, menjadi generator peradilan, berperan sebagai eksekutor, atau mendapat stigma oleh regulasi untuk menjalankan mandat yuridis. Dengan demikian, ketika mandat itu `dibengkokkan', ada banyak sektor yang dikorbankan, di antaranya pencari keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan sosial.


Dalam kasus Susno, polisi telah melakukan kesalahan tidak ringan. Profesionalismenya dipertaruhkan demi melindungi elite yang secara yuridis sudah diputuskan bersalah. Seharusnya polisi memberikan teladan elegan dengan menyerahkan dan mengawal Susno masuk penjara. Jika teladan itu dilakukan, masyarakat akan menaruh respek tinggi kepada mereka.

Tubuh Polri juga berisi manusia-manusia biasa yang bisa saja tergelincir dalam pergulatan eksklusif sehingga melakukan pemihakan kepada elite tertentu yang bermasalah. Jika penyimpangan kode etik profesi itu yang dilakukan polisi sehingga egalitarianisme terdistorsi dan terdegradasi, polisi layak dianggap `berjasa' membuat norma yuridis kehilangan kredibilitas publik, sekarang ataupun di masa mendatang.

0 komentar: