Secara umum perjanjian terjadi berlandasakan asas kebebasan berkontrak di antara dua pihak yang mempunya i kedudukan yang seimbang dan kedua belah pihak berusaha memperoleh kesepakatan dengan melalui proses negosiasi di antara kedua belah pihak. Namun saat ini kecenderungan memperlihatkan bahwa banyak perjanjian dalam transaksi bisnis bukan melalui proses negosiasi yang seimbang, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara salah satu pihak telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak, kemudian disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui dan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak yang satu untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan tersebut. Perjanjian yang demikian disebut perjanjian baku atau perjanjian standar atau perjanjian baku.
Perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa inggris disebut standard contract, standard agreement. Kata baku atau standar artinya tolok ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha. Yang dibakukan dalam perjanjian baku meliputi model, rumusan dan ukuran.
Perjanjian Baku dapat dibedakan dalam tiga jenis yaitu:
a) Perjanjian baku sepihak
Perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif;
b) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah
Perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, yang berupa antara lain akta jual beli, model 1156727 akta hipotik model 1045055 dan sebagainya;
c) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat,
Terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “contract model”.
Dalam perjanjian baku terdapat ciri-ciri yang harus sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, dengan cara mengikuti dan menyesuaikan perkembangan tuntutan yang ada dalam masyarakat. Akan tetapi dalam perjanjian baku ini lebih mencerminkan kepentingan pelaku usaha bukan dari kepentingan konsumen, hal ini karena posisi yang tidak seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha. Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pelaku usaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang disodorkan oleh pelaku usaha, sehingga dalam kenyataanya penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian banyak merugikan konsumen. Ciri-ciri dalam perjanjian baku tersebut adalah :
1. Bentuk perjanjian tertuis;
2. Format perjanjian dibakukan;
3. Syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pengusaha;
4. Konsumen hanya menerima atau menolak;
5. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah/peradilan;
6. Perjanjian baku menuntungkan pelaku usaha.
Pembatassan dalam perjanjian baku harus diatur secara jelas agar tidak menimbulkan dominasi pelaku usaha kepada konsumen yang akan membuat posisi konsumen dirugikan. Dengan adanya pengaturan perjanjian baku merupakan kosekuensi dari upaya kebijakan untuk memberdayakan konsumen supaya dalam kondisi seimbang.
Perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa inggris disebut standard contract, standard agreement. Kata baku atau standar artinya tolok ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha. Yang dibakukan dalam perjanjian baku meliputi model, rumusan dan ukuran.
Perjanjian Baku dapat dibedakan dalam tiga jenis yaitu:
a) Perjanjian baku sepihak
Perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif;
b) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah
Perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, yang berupa antara lain akta jual beli, model 1156727 akta hipotik model 1045055 dan sebagainya;
c) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat,
Terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “contract model”.
Dalam perjanjian baku terdapat ciri-ciri yang harus sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, dengan cara mengikuti dan menyesuaikan perkembangan tuntutan yang ada dalam masyarakat. Akan tetapi dalam perjanjian baku ini lebih mencerminkan kepentingan pelaku usaha bukan dari kepentingan konsumen, hal ini karena posisi yang tidak seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha. Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pelaku usaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang disodorkan oleh pelaku usaha, sehingga dalam kenyataanya penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian banyak merugikan konsumen. Ciri-ciri dalam perjanjian baku tersebut adalah :
1. Bentuk perjanjian tertuis;
2. Format perjanjian dibakukan;
3. Syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pengusaha;
4. Konsumen hanya menerima atau menolak;
5. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah/peradilan;
6. Perjanjian baku menuntungkan pelaku usaha.
Pembatassan dalam perjanjian baku harus diatur secara jelas agar tidak menimbulkan dominasi pelaku usaha kepada konsumen yang akan membuat posisi konsumen dirugikan. Dengan adanya pengaturan perjanjian baku merupakan kosekuensi dari upaya kebijakan untuk memberdayakan konsumen supaya dalam kondisi seimbang.
(Liberta bintoro Ranggi wirasakti)
0 komentar:
Posting Komentar