A. Kerjasama Politik-Keamanan
Resume Oleh Ranggi Wirasakti
Walaupun
terdapat keberagaman kondisi politik, ekonomi, dan budaya diantara
negara-negara anggotanya, ASEAN telah menumbuhkan tujuan dan arah
kerjasama, khususnya dalam mempercepat integrasi kawasan. Hal ini
terlihat semakin jelas dengan disepakatinya Visi ASEAN 2020 di Kuala
Lumpur tahun 1997 dan Deklarasi Bali Concord II di Bali tahun
2003 mengenai upaya perwujudan Komunitas ASEAN dengan ketiga pilarnya
(politik-keamanan, ekonomi, dan sosial budaya).
Komunitas Politik Keamanan ASEAN
Komunitas Politik Keamanan ASEAN (ASEAN Political Security Community/APSC)
ditujukan untuk mempercepat kerjasama politik keamanan di ASEAN untuk
mewujudkan perdamaian di kawasan, termasuk dengan masyarakat
internasional. Komunitas Politik Keamanan ASEAN bersifat terbuka,
berdasarkan pendekatan keamanan komprehensif dan tidak ditujukan untuk
membentuk suatu pakta pertahanan/aliansi militer maupun kebijakan luar
negeri bersama (common foreign policy). Komunitas Politik Keamanan ASEAN juga mengacu kepada berbagai instrumen politik ASEAN yang telah ada seperti Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN), Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), dan Treaty on Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ) selain menaati Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional terkait lainnya.
Indonesia,
selaku pemrakarsa Komunitas Politik Keamanan ASEAN, memelopori
penyusunan Rencana Aksi Komunitas Politik Keamanan ASEAN, yang disahkan
pada KTT ke-10 ASEAN di Vientiane, Lao PDR, November 2004. Dalam Rencana
Aksi Komunitas Politik Keamanan ASEAN, telah ditetapkan rencana
kegiatan untuk mewujudkan Komunitas Politik Keamanan ASEAN yang terdiri
atas 6 komponen: Political Development, Shaping and Sharing of Norms, Conflict Prevention, Conflict Resolution, Post-Conflict Peace Building, dan Implementing Mechanism. Rencana Aksi tersebut telah diintegrasikan ke dalam Program Aksi Vientiane (Vientiane Action Programme/VAP) yang ditandatangani para Kepala Negara ASEAN dalam KTT ke-10 ASEAN. VAP merupakan acuan pencapaian Komunitas ASEAN untuk kurun waktu 2004-2010.
Mekanisme koordinasi antar badan-badan sektoral ASEAN yang menangani Komunitas Politik Keamanan ASEAN dilakukan melalui ASEAN Security Community Coordinating Conference (ASCCO).
Sampai dengan tahun 2008, telah diselenggarakan sebanyak tiga kali dan
terus mengkoordinasikan langkah bersama untuk mencapai Komunitas Politik
Keamanan ASEAN 2015.
Beberapa perkembangan mengenai implementasi Rencana Aksi Komunitas Politik Keamanan ASEAN adalah sebagai berikut:
a. ASEAN Political-Security Community (APSC) Blueprint
Komunitas
Politik Keamanan ASEAN dibentuk dengan tujuan mempercepat kerjasama
politik keamanan di ASEAN untuk mewujudkan perdamaian di kawasan,
termasuk dengan masyarakat internasional. Sesuai Rencana Aksi Komunitas
Politik Keamanan ASEAN, Komunitas bersifat terbuka, menggunakan
pendekatan keamanan komprehensif dan tidak ditujukan untuk membentuk
suatu pakta pertahanan/aliansi militer maupun kebijakan luar negeri
bersama (common foreign policy).
Penggunaan istilah ASEAN Security Community (ASC) sebagaimana dicantumkan di dalam VAP kemudian diubah menjadi ASEAN Political Security Community
(APSC) sebagaimana dipakai dalam Piagam ASEAN. Pemakaian istilah baru
ini didasari pengertian bahwa kerjasama ASEAN di bidang ini tidak
terbatas pada aspek-aspek politik semata namun juga pada aspek-aspek
keamanan.
Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan ASEAN Political Security Community (APSC), ASEAN telah menyusun draft ASEAN Political Security Community Blueprint untuk dapat disahkan pada KTT ASEAN ke-14 di Thailand, Desember 2008.
ASEAN SOM Working Group (SOM WG) membahas mengenai draft ASEAN Political Security Community (APSC) Blueprint, telah sepakat membagi menjadi 3 karakteristik yaitu: A) a Rules-based Community of Shared Values and Norms; (B) a Cohesive, Peaceful, and Resilient Region which Shared Responsibility for Comprehensive Security, dan (C) a Dynamic and Outward Looking Region in a Globalized World.
Dalam kaitan ini, berbagai usulan Indonesia telah dapat diterima seperti antara lain:
1. Mendorong voluntary electoral observations;
2. Pembentukan Komisi Pemajuan dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak;
3. Memasukkan elemen memerangi korupsi dan pemajuan prinsip demokrasi;
4. Gagasan pembentukan ASEAN Institute for Peace and Reconciliation;
5. Gagasan tentang pembentukan ASEAN Maritime Forum;
6. Kerjasama penanganan illegal fishing;
7. Penyusunan instrumen ASEAN tentang Hak Pekerja Migran.
Namun demikian, sejauh ini, beberapa kepentingan Indonesia sudah tercermin dalam draft Blueprint, meskipun beberapa diantaranya masih harus memerlukan negosiasi lebih lanjut seperti antara lain prinsip demokrasi dan korupsi.
- Piagam ASEAN (ASEAN Charter)
Penyusunan
Piagam ASEAN bertujuan untuk mentransformasikan ASEAN dari sebuah
asosiasi politik yang longgar menjadi organisasi internasional yang
memiliki legal personality, berdasarkan aturan yang profesional (rule-based organization),
serta memiliki struktur organisasi yang efektif dan efisien. Piagam ini
telah ditandatangani oleh para pemimpin ASEAN pada KTT ke-13 di
Singapura, November 2007. Piagam ASEAN akan mulai berlaku
efektif dengan diratifikasinya Piagam tersebut oleh kesepuluh negara
anggota. Indonesia telah menjadi negara kesembilan yang meratifikasi
Piagam ASEAN dan Thailand menjadi negara kesepuluh pada bulan November
2008. Dengan demikian, Piagam ASEAN dapat berlaku efektif
mulai saat pelaksanaan KTT ASEAN ke-14 yang diselenggarakan di Chiang
Mai, Thailand, pada bulan Desember 2008.
c. Traktat Bantuan Hukum Timbal Balik di Bidang Pidana (Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLAT)
MLAT
telah ditandatangani oleh semua negara anggota ASEAN di Kuala Lumpur,
Januari 2006. Traktat ini melandasi kerjasama ASEAN di bidang hukum
pidana. Indonesia telah meratifikasi MLAT melalui UU No.15 Tahun 2008.
d. Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on Counter Terrorism/ACCT)
ACCT ditandatangani pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu, Filipina, Januari 2007. Indonesia sebagai Lead Sheppherd di
bidang pemberantasan terorisme telah memelopori proses perumusan ACCT.
Konvensi ini memberikan dasar hukum yang kuat guna peningkatan kerjasama
ASEAN di bidang pemberantasan terorisme. Selain memiliki karakter
regional, ACCT bersifat komprehensif (meliputi aspek pencegahan, penindakan, dan program rehabilitasi) sehingga memiliki nilai tambah bila dibandingkan dengan konvensi sejenis.
e. ASEAN Defence Ministers Meeting (ADMM)
Pembentukan ADMM merupakan inisiatif Indonesia dan bertujuan untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas kawasan, melalui dialog serta kerjasama di bidang pertahanan dan keamanan. ADMM telah mengadakan pertemuan pertamanya pada bulan Mei 2006 di Kuala Lumpur, Malaysia. ADMM bersifat outward looking, terbuka, transparan dan melibatkan Mitra Wicara ASEAN, sehingga di masa mendatang dimungkinkan adanya mekanisme ADMM Plus;
f. Rencana Pembentukan Traktat Ekstradisi ASEAN
Rencana
pembentukan traktat ekstradisi ASEAN merupakan amanat Bali Concord 1976
dan Rencana Aksi Komunitas Keamanan ASEAN. Para pejabat tinggi ASEAN di
bidang hukum dalam pertemuan ASEAN Senior Law Officials Meeting (ASLOM)
Ke-11 di Siem Reap, Kamboja, 29-30 Januari 2007, menyepakati untuk
membentuk kelompok kerja untuk memulai proses perumusan traktat
ekstradisi ASEAN.
g. Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan
ASEAN
telah berhasil mengelola potensi konflik di Laut China Selatan menjadi
potensi kerjasama yang melibatkan beberapa negara ASEAN dan China. ASEAN
dan China telah berhasil menyepakati Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) yang ditujukan untuk menyelesaikan persengketaan secara damai. DOC akan diimplementasikan melalui suatu code of conduct in the South China Sea. Dalam kaitan ini, ASEAN-China Working Group on the Implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea menyepakati enam proyek kerjasama dalam rangka confidence building measures guna mendukung implementasi DOC.
Kawasan Damai, Bebas Dan Netral (Zone of Peace, Freedom And Neutrality Declaration/ZOPFAN)
Deklarasi
ZOPFAN yang ditandatangani di Kuala Lumpur tahun 1971 merupakan upaya
ASEAN untuk menciptakan kawasan yang damai, bebas, dan netral dari
segala bentuk campur tangan pihak luar di Asia Tenggara. Pada KTT ke-1
ASEAN tahun 1976, ZOPFAN secara resmi diangkat oleh negara-negara
anggota sebagai kerangka bagi kerja sama politik ASEAN.
ZOPFAN
tidak hanya merupakan kerangka perdamaian dan kerjasama di Asia
Tenggara melainkan juga mencakup kawasan Asia Pasifik yang lebih luas
temasuk major powers dalam bentuk serangkaian tindak pengekangan diri secara sukarela (voluntary self-restraints). Dengan demikian, ZOPFAN tidak mengesampingkan peranan major powers, tetapi justru memungkinkan keterlibatan mereka secara konstruktif dalam penanganan masalah-masalah keamanan kawasan.
Pedoman pelaksanaan ZOPFAN dirumuskan lebih lanjut pada April 1972, sebagai berikut:
a. Observance
of the Charter of the United Nations, the Declaration on the Promotion
of World Peace and Cooperation of the Bandung Declaration of 1955, the
Bangkok Declaration of 1967 and the Kuala Lumpur Declaration of 1971;
b. Mutual
respect for the independence, sovereignty, equality, territorial
integrity and national identity of all nations within and without the
region;
c. The right of every state to lead its national existence free from external interference, subversion or coercion;
d. Non-interference in the internal affairs of zonal states;
e. Refraining from inviting or giving consent to intervention by external powers in domestic or regional affairs of zonal states;
f. Settlement of differences or disputes by peaceful means in accordance with the Charter of the United Nations;
g. Renunciation of the threat, or use of force in the conduct of international relations;
h. Refraining
from the use of armed forces for any purposes in the conduct of
international relations except for individual or collective self-defence
in accordance with the Charter of the United Nations;
i. Abstention
from involvement in any conflict of powers outside the zone from
entering into any agreement which would be inconsistent with the
objectives of the zone;
j. The absence of foreign military bases in the territories of zonal states;
k. Prohibition of the use, storage, passage or testing of nuclear weapons and their components within the zone;
l. The right to trade freely with any country or international agency irrespective of differences in socio-political systems;
m. The
right to receive aid freely for the purpose of strengthening national
resilience except when the aid is subject to conditions inconsistent
with the objectives of the zone; and
n. Effective regional cooperation among the zonal states.
Traktat Persahabatan dan Kerjasama (Treaty Of Amity And Cooperation/TAC)
Salah
satu instrumen penting dalam upaya mewujudkan ZOPFAN dan menciptakan
stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara adalah TAC.
Pada dasarnya prinsip-prinsip yang terkandung di dalam TAC juga
tercermin di dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) antara lain
prinsip ‘non-interference’ dan penggunaan cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik yang timbul diantara negara-negara penandatangan TAC.
Protokol
ke-2 Amandemen TAC yang ditandatangani para Menteri Luar Negeri ASEAN
dan Papua New Guinea di Manila, 25 Juli 1998 menjadi titik awal
perluasan TAC ke luar ASEAN. Upaya ASEAN untuk mempertahankan perdamaian
dan stabilitas regional mengalami kemajuan pesat pada bulan Oktober
2003 dengan aksesi China dan India pada TAC, pada KTT ke-9 ASEAN di
Bali, 2003. Jepang dan Pakistan mengaksesi TAC tanggal 2 Juli 2004 saat
AMM ke-37 di Jakarta. Sedangkan Rusia dan Korea Selatan mengaksesi pada
Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) ASEAN-Rusia dan PTM ASEAN-Korsel, pada
Nopember 2004 di Vientiane, Laos. Selandia Baru dan Mongolia pada AMM
ke-38 mengaksesi TAC pada bulan Juli 2005 di Vientiane. Australia
mengaksesi TAC pada bulan Desember 2005 di Kuala Lumpur sebelum
penyelenggaraan KTT ke-11 ASEAN.
Pada
KTT ke-12 ASEAN, Perancis dan Timor Leste mengaksesi TAC. Aksesi
Perancis ke dalam TAC merupakan pengakuan penting salah satu negara Uni
Eropa (UE) terhadap eksistensi ASEAN dan pentingnya pengembangan
kerjasama dengan ASEAN. Uni Eropa juga telah menyatakan niatnya untuk
mengaksesi TAC yang menandakan kemajuan ASEAN sebagai organisasi
regional yang signifikan, khususnya bagi perkembangan kerjasama kedua
kawasan. Proses lebih lanjut menyangkut aksesi Uni Eropa ini masih
berkembang.
Aksesi
China, Rusia dan Perancis, yang merupakan negara anggota tetap Dewan
Keamanan PBB, menandakan dukungan yang signifikan terhadap TAC sebagai
suatu tata tertib (code of conduct) dalam menjalankan hubungan
antar negara di dalam dan luar kawasan ASEAN. ASEAN terus mendorong
negara-negara lain di luar kawasan untuk mengaksesi TAC.
Pada AMM ke-41 bulan Juli 2008, telah dilaksanakan aksesi Korea Utara terhadap Treaty of Amity and Cooperation (TAC).
Kawasan Bebas Senjata Nuklir Di Asia Tenggara (South-East Asia Nuclear Weapon Free Zone/SEANWFZ)
South-East Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) Treaty ditandatangani di Bangkok pada tanggal 15 Desember 1995 dan telah diratifikasi oleh seluruh negara ASEAN. Traktat ini mulai berlaku pada tanggal 27 Maret 1997. Pembentukan
SEANWFZ menunjukkan upaya negara-negara di Asia Tenggara untuk
meningkatkan perdamaian dan stabilitas kawasan baik regional maupun
global, dan dalam rangka turut serta mendukung upaya tercapainya suatu
pelucutan dan pelarangan senjata nuklir secara umum dan menyeluruh.
Traktat SEANWFZ ini disertai protokol yang merupakan suatu legal instrument mengenai komitmen negara ASEAN dalam upayanya memperoleh jaminan dari negara yang memiliki senjata nuklir (Nuclear Weapon State/NWS)
bahwa mereka akan menghormati Traktat SEANFWZ dan tidak akan menyerang
negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Saat ini, negara-negara ASEAN
dan NWS masih mengupayakan finalisasi formulasi beberapa
masalah yang diatur dalam Protokol dimaksud. Penandatanganan Traktat
SEANWFZ merupakan tonggak sejarah yang sangat penting bagi ASEAN dalam
upaya mewujudkan kawasan Asia Tenggara yang aman dan stabil, serta bagi
usaha mewujudkan perdamaian dunia.
Pada Pertemuan AMM ke-32 bulan Juli 1999 di Singapura, para Menlu ASEAN untuk pertama kalinya mengadakan Sidang Komisi SEANWFZ. Hal
ini merupakan langkah pertama yang penting ke arah diterapkannya
Traktat tersebut. Komisi menunjuk Komite Eksekutif untuk menyiapkan
konsep “rules of procedure” dan memulai langkah-langkah yang perlu untuk menjamin ketaatan terhadap Traktat, termasuk konsultasi dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) dan badan-badan lain yang terkait.
Implementasi SEANWFZ perlu untuk segera dilaksanakan guna mewujudkan kawasan
Asia Tenggara yang aman dan stabil serta upaya mewujudkan perdamaian
dunia. Dalam rangka implementasi tersebut, negara-negara anggota ASEAN
berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan finalisasi
Protokol, dan menjajagi langkah yang lebih konstruktif berupa kerjasama
dengan IAEA. Setelah 10 tahun Traktat ini berlaku (enter into force), Komisi SEANWFZ di tahun 2007 melakukan major review terhadap SEANWFZ.
Pada pertemuan SEANWFZ Commission pada tanggal 29 Juli 2007, telah disahkan Plan of Action to Strengthen the Implementation of the Treaty of the Southeast Asian Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ – Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara–Traktat KBSN-AT) sesuai Artikel 20 Traktat KBSN-AT yang menetapkan bahwa reviewing the operation of operation of SEANFWZ Treaty dilakukan 10 tahun setelah berlakunya Traktat tersebut (enter into force).
PoA tersebut menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Negara Pihak dalam jangka waktu 2007-2012 sebagai berikut: (1) Compliance
with the Undertakings in the SEANWFZ Treaty, (2) Accession by Nuclear
Weapons States, (3) Cooperation with the IAEA; (4) Institutional
Arrangements.
Upaya-upaya
negara anggota ASEAN untuk memperjuangkan traktat SEANWFZ di tingkat
internasional salah satunya adalah dengan diakuinya traktat tersebut
melalui resolusi Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Januari 2008 dengan
nomor A/Res/62/31 dengan perolehan suara 174 negara mendukung termasuk
Rusia dan China sebagai negara anggota Dewan Keamanan PBB, 1 negara
menolak yaitu Amerika Serikat dan 5 negara abstain yaitu Inggris,
Perancis, Israel, Palau dan Micronesia. Dengan diakuinya Traktat SEANWFZ
oleh sidang Majelis Umum PBB tersebut telah menunjukkan upaya
negara-negara di Asia Tenggara untuk meningkatkan perdamaian dan
stabilitas kawasan baik regional maupun global, dan dalam rangka turut
serta mendukung upaya tercapainya suatu pelucutan dan pelarangan senjata
nuklir secara umum dan menyeluruh.
Forum Regional ASEAN (ASEAN Regional Forum/ARF)
ASEAN Regional Forum (ARF)
diprakarsai oleh ASEAN pada tahun 1994, sebagai forum untuk saling
tukar pandangan dan informasi bagi negara-negara Asia-Pasifik mengenai
masalah-masalah politik dan keamanan, baik regional maupun
internasional. Sasaran yang hendak dicapai melalui ARF adalah mendorong
saling percaya (confidence building measures) melalui transparansi dan mencegah kemungkinan timbulnya ketegangan maupun konflik di kawasan Asia Pasifik.
Sebagai
satu-satunya forum dialog keamanan di luar PBB, yang dihadiri kekuatan
besar dunia antara lain: Amerika Serikat, China, Rusia, Uni Eropa dan
Jepang, pembahasan dan tukar pandangan dalam ARF memiliki makna penting
dan strategis. Proses ARF lebih mencerminkan “ASEAN Way” yaitu
menjalin hubungan untuk menumbuhkan rasa saling percaya dan kebiasaan
berdialog serta berkonsultasi dalam masalah-masalah keamanan.
ARF telah berhasil meningkatkan kenyamanan (comfortability)
diantara para peserta dalam membicarakan isu keamanan. Sebagai contoh,
China telah bersedia untuk membicarakan masalah Laut China Selatan dalam
ARF, yang sebelumnya sulit dilakukan. Oleh karena itu, di masa depan
ARF perlu tetap mempertahankan prinsip “at a pace comfortable to all”
dan konsensus. Akan tetapi hal tersebut tidak menutup terjadinya
perdebatan dalam suasana informal untuk mendukung berlangsungnya
pertukaran pandangan yang bersifat terbuka.
Kegiatan-kegiatan antar-sesi yang dilakukan di antara pertemuan-pertemuan ARF, dibagi atas Jalur Satu (Track I) yang dihadiri oleh wakil-wakil pemerintahan negara-negara ARF, dan Jalur Dua (Track II) yang diadakan dan dihadiri oleh lembaga-lembaga penelitian (think tank) dari negara-negara ARF. Dalam Jalur Satu, dua jenis kegiatan utama adalah Intersessional Support Group (ISG) dan beberapa Intersessional Meeting (ISM) yang lebih bersifat teknis. Kegiatan ISM saat ini berupa ISM on Counter-Terrorism and Transnational Crime (ISM on CT-TC) dan ISM on Disaster Relief (ISM-DR).
Proses kerjasama ARF terbagi atas 3 tahap yaitu tahap Confidence Building Measures (CBMs), Preventive Diplomacy (PD) dan Conflict Resolution
(CR). Saat ini, ARF melangkah ke tahap kedua sambil tetap melaksanakan
tahap pertama. Dalam kaitan tersebut pertemuan ISG, berubah nama menjadi
ISG CBMs and PD.
Kerjasama di Bidang Pemberantasan Kejahatan Lintas Negara
Kerjasama ASEAN dalam rangka memberantas kejahatan lintas negara (transnational crime) pertama kali diangkat pada pertemuan para Menteri Dalam Negeri ASEAN di Manila tahun 1997 yang mengeluarkan ASEAN Declaration on Transnational Crimes. Sebagai
tindak lanjut dari deklarasi di atas, kerjasama ASEAN dalam memerangi
kejahatan lintas negara dilaksanakan melalui pembentukan Pertemuan Para
Menteri ASEAN terkait dengan Pemberantasan Kejahatan Lintas Negara
(ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime/AMMTC). Beberapa perjanjian yang telah dihasilkan ASEAN terkait dengan pemberantasan kejahatan lintas negara yaitu:
a. ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes yang mencakup
kerjasama pemberantasan terorisme, perdagangan obat terlarang,
pencucian uang, penyelundupan dan perdagangan senjata ringan dan
manusia, bajak laut, kejahatan internet dan kejahatan ekonomi
internasional;
b. Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLAT) ditandatangani tahun 2006;
c. Agreement of Information Exchange and Establishment of Communication Procedures ditandatangani tahun 2002, merupakan perjanjian di tingkat sub regional guna penanganan kejahatan lintas batas melalui pertukaran informasi;
d. ASEAN Declaration on Joint Action to Counter Terrorism ditandatangani tahun 2001 dalam penanganan terorisme; dan
e. ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) ditandatangani tahun 2007 sebagai instrumen hukum dalam penanganan terorisme. Konvensi
ini telah diratifikasi oleh dua negara yaitu Thailand dan Singapura,
sementara Indonesia dalam proses untuk meratifikasi Konvensi tersebut. Telah dilaksanakan dua Working Group untuk membahas ASEAN Comprehensive Plan of Action on Counter Terrorism guna pengimplementasian ACCT.
Selain itu, telah pula digagas pembentukan suatu ASEAN Convention on Trafficking in Persons
(Konvensi ASEAN mengenai Perdagangan Manusia). Upaya realisasi Konvensi
tersebut telah dimulai dengan penyelenggaraan Pertemuan Pertama Working Group on TIP tanggal 16 Juni 2008.
Kerjasama di Bidang Hukum
Kerjasama ASEAN di bidang hukum dilaksanakan melalui mekanisme pertemuan para Pejabat Tinggi ASEAN di bidang hukum (ASEAN Senior Law Officials’ Meeting /ASLOM) yang dilaksanakan setiap tahun dan pertemuan para Menteri Hukum ASEAN (ASEAN Law Ministerial Meeting/ALAWMM) yang dilaksanakan setiap 3 (tiga) tahun.
Pada tahun 2008, telah diselenggarakan Pertemuan ASLOM ke-12 dan ALAWMM ke-7 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Hal-hal yang dibahas dalam pertemuan tersebut antara lain perkembangan Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, dimana Indonesia telah meratifikasi Traktat tersebut melalui UU No.15 Tahun 2008.
Dalam upaya pembentukan ASEAN Extradition Treaty telah dilaksanakan Working Group di Indonesia dan Singapura dan telah disepakati untuk melaksanakan pertemuan ketiga Working Group. Pembentukan traktat ekstradisi ASEAN telah diamanatkan dalam Declaration of ASEAN Concord tahun 1976 dan Rencana Kerja Komunitas Keamanan ASEAN.
Dalam pertemuan ALAWMM juga telah dibahas upaya pengembangan peran dan mandat ASLOM dan ALAWMM setelah berlakunya Piagam ASEAN.
Kerjasama di Bidang Imigrasi dan Kekonsuleran
Kerjasama
ASEAN di bidang imigrasi dan kekonsuleran dilaksanakan melalui
pertemuan para Direktur Jenderal Imigrasi dan Kepala Divisi Konsuler
ASEAN (The Meeting of the ASEAN Directors-General of Immigration Departments and Heads of Consular Affairs Divisions of the Ministries of Foreign Affairs/DGICM). Pertemuan terakhir yaitu DGICM ke-12 telah dilaksanakan Kuala Lumpur, Malaysia, November 2008.
Para Menteri Luar Negeri ASEAN telah menandatangani Perjanjian Kerangka ASEAN mengenai Bebas Visa (ASEAN Framework Agreement on Visa Exemption)
ditandatangani pada AMM ke-39 di Kuala Lumpur, 25 Juli 2006.
Persetujuan ini memberlakukan bebas visa kunjungan singkat bagi warga
negara anggota ASEAN yang melakukan perjalanan di wilayah ASEAN selama
14 hari. Perjanjian dimaksud diharapkan dapat mendorong pencapaian
Komunitas ASEAN melalui peningkatan perjalanan intra-ASEAN dan people-to-people contact.
AMM
ke-39 juga mengeluarkan pernyataan mengenai perlunya kerjasama ASEAN di
bidang bantuan kekonsuleran perwakilan-perwakilan negara anggota ASEAN
bagi warga negara ASEAN di daerah konflik dan situasi krisis di negara
ketiga, terutama bagi warga negara anggota ASEAN di negara ketiga di
mana tidak terdapat perwakilan negaranya. Hal ini dilatarbelakangi oleh
krisis di Lebanon pada saat operasi militer Israel di tahun 2006, di mana tidak terdapat perwakilan dari semua negara anggota ASEAN.
Sesuai dengan mandat tersebut, telah dihasilkan Guidelines for Provision of Emergency Assistant by ASEAN Missions in Third Countries to National of ASEAN Member States (bantuan
kekonsuleran perwakilan-perwakilan negara anggota ASEAN bagi warga
negara ASEAN di daerah konflik dan situasi krisis di negara ketiga) pada
tahun 2007 dan pada tahun 2008 telah dilakukan pembahasan-pembahasan
untuk implementasi Guidelines tersebut.
Kerjasama Kelembagaan Antar Parlemen
Kerjasama antar parlemen di ASEAN diselenggarakan melalui mekanisme ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) yang dipelopori oleh Indonesia. Semula organisasi ini bernama ASEAN Inter-Parliamentary Organization
(AIPO) didirikan pada tahun 1977, beranggotakan parlemen-parlemen dari
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Saat ini
keanggotaannya telah pula mencakup parlemen-parlemen dari Kamboja, Laos,
dan Viet Nam, sementara Brunei Darussalam dan Myanmar masih sebagai Special Observers.
Berdasarkan
usulan dari Parlemen Indonesia dalam Sidang Umum AIPO ke-27 di Cebu,
Filipina, 10-15 September 2006, AIPO berganti nama menjadi ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA).
Pergantian nama ini dimaksudkan untuk mendorong proses transformasi
AIPA dalam mendukung upaya perwujudan Komunitas ASEAN.
Meskipun
AIPA bukan badan ASEAN karena ASEAN merupakan organisasi
antar-pemerintah, namun AIPA memiliki status konsultatif dengan ASEAN.
AIPA melakukan dialog dengan anggota parlemen dari negara-negara Mitra
Wicara ASEAN yang bertindak sebagai Observers seperti Australia, Kanada, China, Uni Eropa, Jepang, Selandia Baru, Papua New Guinea, Rusia, dan Korea Selatan.
Upaya Pembentukan Mekanisme HAM ASEAN
Para
Menteri Luar Negeri ASEAN pada AMM Ke-26 di Singapura, Juli 1993
menyepakati perlunya mempertimbangkan pendirian mekanisme HAM regional
yang sesuai di ASEAN. Hal ini merupakan tanggapan ASEAN terhadap Vienna Declaration and Programme of Action (1993) mengenai
antara lain pendirian mekanisme HAM regional untuk mendukung promosi
dan perlindungan HAM global. AIPA di tahun yang sama mengeluarkan Human Rights Declaration yang mencantumkan himbauan kepada kepada pemerintah negara-negara ASEAN untuk membentuk mekanisme HAM ASEAN.
Mekanisme
HAM, pada umumnya terdiri atas 2 (dua) komponen, yaitu; instrumen hukum
(deklarasi atau konvensi) dan badan (komisi atau pengadilan HAM). Pada
saat ini, Asia Pasifik (termasuk ASEAN) merupakan satu-satunya kawasan
yang belum memiliki mekanisme HAM regional.
Sebagai upaya awal merintis suatu mekanisme HAM di ASEAN, telah dibentuk Working Group on ASEAN Human Rights Mechanism (WGAHRM) yang beranggotakan tokoh-tokoh Asia Tenggara baik dari sektor pemerintahan maupun civil society.
WGAHRM terdiri dari beberapa kelompok kerja nasional di Indonesia,
Malaysia, Thailand, Kamboja, Singapura, dan Filipina. Walaupun bukan
merupakan badan resmi ASEAN, WGAHRM telah bekerjasama dengan pemerintah
beberapa negara anggota ASEAN dan menyelenggarakan beberapa workshop dan roundtable discussion untuk mempelajari kemungkinan pembentukan mekanisme HAM ASEAN dan memberikan rekomendasi ke pemerintah negara-negara ASEAN.
Pada AMM ke-41 bulan Juli 2008, telah dimandatkan oleh Para Menteri Luar Negeri pembentukan High Level Panel on an ASEAN Human Rights Body . Setiap negara anggota mengirimkan satu wakil untuk membahas kerangka acuan (terms of reference/TOR) dari Badan HAM ASEAN yang akan dibentuk. High Level Panel
tersebut sepanjang semester kedua 2008 secara berkala telah mengadakan
pertemuan untuk melaksanakan mandat tersebut. Indonesia telah menjadi
tuan rumah pada Pertemuan Kelima High Level Panel tersebut di Nusa Dua, Bali, November 2008.
Diharapkan, sesuai dengan mandat dari Para Menlu pada AMM ke-41 Juli 2008 Higk Level Panel dapat memberikan draft awal dari Badan HAM ASEAN pada bulan Desember 2008 kepada Menteri Luar Negeri dan menyampaikan draft akhir pada Juli 2009.
Berkaitan pula dengan HAM, telah pula dilakukan upaya awal perlindungan atas pekerja migran melalui penandatanganan ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers pada KTT Ke-12 ASEAN.
B. Kerjasama Ekonomi
Sejak
dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun 1967,
negara-negara anggota telah meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah
satu agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerjasama
ekonomi difokuskan pada program-program pemberian preferensi perdagangan
(preferential trade), usaha patungan (joint ventures), dan skema saling melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah negara-negara anggota maupun pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti ASEAN Industrial Projects Plan (1976), Preferential Trading Arrangement (1977), ASEAN Industrial Complementation scheme (1981), ASEAN Industrial Joint-Ventures scheme (1983), dan Enhanced Preferential Trading arrangement (1987). Pada
dekade 80-an dan 90-an, ketika negara-negara di berbagai belahan dunia
mulai melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan
ekonomi, negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk
bekerjasama adalah dengan saling membuka perekonomian mereka, guna
menciptakan integrasi ekonomi kawasan.
Pada KTT ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 telah ditandatangani Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Effective Preferential Tariff (CEPT)
sebagai mekanisme utama. Pendirian AFTA memberikan impikasi dalam
bentuk pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan
non-tarif, dan perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan fasilitasi
perdagangan. Dalam perkembangannya, AFTA tidak hanya difokuskan pada
liberalisasi perdagangan barang, tetapi juga perdagangan jasa dan investasi.
KTT
ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 menyepakati pembentukan komunitas ASEAN
yang salah satu pilarnya adalah Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC). AEC
bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang
ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja
terampil dan perpindahan barang modal secara lebih bebas. KTT juga
menetapkan sektor-sektor prioritas yang akan diintegrasikan, yaitu:
produk-produk pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, produk-produk
turunan dari karet, tekstil dan pakaian, produk-produk turunan dari
kayu, transportasi udara, e-ASEAN (ITC), kesehatan, dan pariwisata.
Dalam perkembangannya, pada tahun 2006 jasa logistik dijadikan sektor prioritas yang ke-12.
KTT ke-10 ASEAN di Vientiene tahun 2004 antara lain menyepakati Vientiane Action Program (VAP) yang merupakan panduan untuk mendukung implementasi pencapaian AEC di tahun 2020.
ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) di Kuala Lumpur bulan Agustus 2006 menyetujui untuk membuat suatu cetak biru (blueprint)
untuk menindaklanjuti pembentukan AEC dengan mengindentifikasi
sifat-sifat dan elemen-elemen AEC pada tahun 2015 yang konsisten dengan Bali Concord II dan dengan target-target dan timelines yang jelas serta pre-agreed flexibility untuk mengakomodir kepentingan negara-negara anggota ASEAN.
KTT ke-12 ASEAN di Cebu bulan Januari 2007 telah menyepakati ”Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015”. Dalam konteks tersebut, para Menteri Ekonomi ASEAN telah menginstruksikan Sekretariat ASEAN untuk menyusun ”Cetak Biru ASEAN Economic Community
(AEC)”. Cetak Biru AEC tersebut berisi rencana kerja strategis dalam
jangka pendek, menengah dan panjang hingga tahun 2015 menuju
terbentuknya integrasi ekonomi ASEAN, yaitu :
a. Menuju single market dan production base (arus perdagangan bebas untuk sektor barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan modal);
b. Menuju penciptaaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi (regional competition policy, IPRs action plan, infrastructure development, ICT, energy cooperation, taxation, dan pengembangan UKM);
c. Menuju suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata (region of equitable economic development) melalui pengembangan UKM dan program-program Initiative for ASEAN Integration (IAI); dan
d. Menuju
integrasi penuh pada ekonomi global (pendekatan yang koheren dalam
hubungan ekonomi eksternal serta mendorong keikutsertaan dalam global supply network).
Pelaksanaan rencana kerja strategis tersebut dijabarkan lebih lanjut melalui priority actions yang pencapaiannya dievaluasi dan dimonitor dengan menggunakan score card.
Disamping itu, diperlukan dukungan berupa kemauan politik, koordinasi
dan mobilisasi sumber daya, pengaturan pelaksanaan, peningkatan
kemampuan (capacity building) dan penguatan institusi, serta peningkatan konsultasi antara pemerintah dan sektor swasta. Pelaksanaan
rencana kerja strategis tersebut juga akan didukung dengan program
pengembangan sumber daya manusia dan kegiatan penelitian serta
pengembangan di masing-masing negara.
Pada KTT ASEAN Ke-13 di Singapura, bulan Nopember 2007, telah disepakati Blueprint for the ASEAN Economic Community (AEC Blueprint) yang akan digunakan sebagai peta kebijakan (roadmap)
guna mentransformasikan ASEAN menjadi suatu pasar tunggal dan basis
produksi, kawasan yang kompetitif dan terintegrasi dengan ekonomi
global. AEC Blueprint juga akan mendukung ASEAN menjadi kawasan
yang berdaya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata
serta kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi yang makin berkurang.
ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint
Pada pertemuan ke-39 ASEAN Economic Ministers (AEM) tahun 2007, disepakati mengenai naskah ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint beserta Strategic Schedule-nya, yang mencakup inisiatif-inisiatif baru serta roadmap yang jelas untuk mencapai pembentukan ASEAN Economic Community tahun 2015.
Berkaitan dengan disepakatinya draft AEC Blueprint, pada pertemuan ke-39 AEM juga disepakati mengenai Roadmap for ASEAN integration of the Logistics Services Sector sebagai priotitas ke-12 untuk integrasi ASEAN dan menandatangani “Protocol to Amend Article 3 of the ASEAN Framework (Amandment) Agreement for the Integration of the Priority Sectors”. Dengan demikian, ke-12 Priority sectors dimaksud adalah agro-based
products, air-travel, automotivr, e-ASEAN, electronics, fisheries,
healthcare, rubber-based products, textiles & apparels, tourism,
wood-based products, logistics services.
ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint tersebut kemudian disahkan pada Rangkaian Pertemuan KTT ASEAN ke-13. AEC Blueprint
bertujuan untuk menjadikan kawasan ASEAN lebih stabil, sejahtera dan
sangat kompetitif, memungkinkan bebasnya lalu lintas barang, jasa,
investasi dan aliran modal. Selain itu, juga akan diupayakan kesetaraan
pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan serta kesenjangan sosial
ekonomi pada tahun 2015.
AEC Blueprint merupakan suatu master plan
bagi ASEAN untuk membentuk Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015
dengan mengidentifikasi langkah-langkah integrasi ekonomi yang akan
ditempuh melalui implementasi berbagai komitmen yang rinci, dengan
sasaran dan jangka waktu yang jelas.
Terkait dengan AEC Blueprint, ASEAN juga telah mengembangkan mekanisme Scorecard untuk mencatat implementasi dan komitmen-komitmen negara anggota sebagaimana yang telah disepakati di dalam AEC Blueprint. Scorecard dimaksud akan memberikan gambaran komprehensif bagaimana kemajuan ASEAN untuk mengimplementasikan AEC pada tahun 2015. Dalam kaitan ini negara-negara ASEAN telah menyepakati bahwa AEC Scorecard yang diusulkan akan dilaporkan pada KTT ke-14 ASEAN, Desember 2008 di Thailand.
Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan “AEC awareness Year 2008”, para pertemuan ke-40 AEM, para Menteri Ekonomi ASEAN mengesahkan AEC Communication Plan dan menekankan pentingnya untuk melibatkan berbagai stakeholders
dalam proses komunikasi, yaitu Badan-badan sektoral ASEAN, sektor
swasta, otoritas di tingkat lokal dan nasional di negara-negara ASEAN,
kalangan akademi serta tokoh-tokoh masyarakat.
Terkait dengan implmentasi AEC Bluepint, pada tahun 2007-2008, Ditjen Kerjasama ASEAN telah melakukan sosialisasi AEC Blueprint bersamaan dengan sosialisasi ASEAN Charter, baik di tingkat pusat, khususnya kepada asosiasi-asosiasi bisnis maupun di daerah-daerah di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian. Sosialisasi dilakukan dalam bentuk seminar, workshop, lokakarya maupun Kuliah Umum, wawancara di media massa cetak dan elektronik lokal di pusat dan daerah. Salah satu sasaran yang ingin dicapai adalah untuk memicu kesiapan masyarakat serta menimbulkan mengenai “public awareness” mengenai ASEAN.
Kerjasama di Sektor Industri
Kerjasama
di sektor industri merupakan salah satu sektor utama yang dikembangkan
dalam kerjasama ekonomi ASEAN. Kerjasama tersebut ditujukan untuk
meningkatkan arus investasi, mendorong proses alih teknologi dan
meningkatkan keterampilan negara‑negara ASEAN, termasuk dalam bentuk
pertukaran informasi tentang kebijaksanaan perencanaan industri
nasional masing‑masing. Kerjasama ASEAN di sektor perindustrian
diarahkan untuk menciptakan fasilitas produksi baru dalam rangka
mendorong perdagangan intra‑ASEAN melalui berbagai skema kerjasama yang
dikembangkan berdasarkan konsep resource pooling dan market sharing.
ASEAN Industrial Cooperation (AICO) yang
ditandatangani pada bulan April 1996 dan berlaku efektif pada bulan
Nopember 1999 merupakan insiatif kerjasama di sektor industri yang saat
ini terus dikembangkan. AICO merupakan skema kerjasama
antara dua atau lebih perusahaan di kawasan ASEAN dalam pemanfaatan
berbagai sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan, dalam
rangka memproduksi suatu barang yang bertujuan meningkatkan daya saing
perusahaan ASEAN. AICO menyediakan prasarana untuk menerapkan prinsip economic of scale and scope yang
didukung oleh pajak yang rendah untuk meningkatkan transaksi di ASEAN,
menumbuhkan kesempatan investasi dari dalam dan luar ASEAN, serta
menciptakan pasar regional yang lebih besar. Perusahaan-perusahaan yang
memanfaatkan skema kerjasama ini antara lain akan mendapatkan preferensi
berupa pengenaan bea masuk hingga 5%.
AICO
diharapkan akan mendorong kerjasama industri antar negara ASEAN dan
mendorong investasi pada industri berbasis teknologi dan kegiatan yang
memberikan nilai tambah pada produk industri. AICO juga memberikan
kesempatan luas kepada perusahaan di negara ASEAN untuk saling
bekerjasama guna menghasilkan produk dengan menikmati preferensi tarif.
Insentif lain yang juga diberikan kepada perusahaan yang bekerjasama
dalam payung AICO berupa akreditasi kandungan lokal serta insentif
non-tarif lainnya yang dapat diberikan oleh masing-masing negara
anggota.
AICO tidak hanya diperuntukkan bagi perusahaan-perusahaan industri, tetapi juga untuk trading companies yang membantu pemasaran produk-produk industri kecil. Pada 21 April 2004 para Menteri Ekonomi ASEAN telah menandatangani Protocol to Amend the AICO Agreement yang mengatur perubahan/penurunan tarif preferensi yang diberikan untuk proyek-proyek AICO yang disetujui.
Kerjasama di Sektor Perdagangan
- Kerjasama Perdagangan Barang
Berkaitan dengan AFTA, pada pertemuan ke-21 AFTA Council tanggal 23 Agustus 2007, telah dicapai kemajuan yang cukup signifikan mengenai implementasi Work Programme on Elimination of Non-Tariff Barries (NTBs) serta dalam melakukan revisi mengenai CEPT AFTA Rules of Origin, yang diharapkan akan mengurangi biaya transaksi perdagangan serta memfasilitasi perdagangan di kawasan.
Berkaitan dengan perdagangan barang ini, ASEAN juga berhasil menyelesaikan pembahasan substantif mengenai ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA), yang diharapkan akan ditandatangani pada bulan Desember 2008. ATIGA mengintegrasikan semua inisiatif ASEAN yang berkaitan dengan perdagangan barang kedalam suatu comprehensive framework, menjamin sinergi dan konsistensi di antara berbagai inisiatif. ATIGA akan meningkatkan transparansi, kepastian dan meningkatkan AFTA-rules-based system yang merupakan hal yang sangat penting bagi komunitas bisnis ASEAN.
b. Fasilitasi Perdagangan
Dalam upaya meningkatkan perdagangan, ASEAN telah menandatangani Protocol 1-Designation of Tansit Transport Routes and Facilities. Implementasi Protocol dimaksud akan memfasilitasi transportasi barang-barang di kawasan serta tidak merintangi akses dan pergerakan kendaraan yang mengangkut barang-barang tersebut di kawasan ASEAN.
Berkaitan dengan fasilitasi perdagangan, Indonesia juga telah melakukan pembentukan Nasional Single Window (NSW) dan ASEAN Single Window
(ASW) merupakan salah satu upaya fasilitasi perdagangan di tingkat
nasional dan ASEAN untuk mempermudah dan mempercepat arus perdagangan
dalam rangka mendukung proses pembentukan ASEAN Economic Community. National Single Window diharapkan mulai dapat beroperasi pada akhir tahun 2008 di negara-negara ASEAN+6 dan tahun 2012 bagi negara-negara CLMV.
Untuk
tingkat nasional, Perkembangan Tahap I Uji Coba NSW telah dilaksanakan
di Tanjung Priok dari Desember 2007 – Juni 2008. Sistem uji coba
melibatkan 5 (five) Government Agencies (GA) yang terkait dengan pemberian izin, yaitu Ditjen Bea dan Cukai–Depkeu, Ditjen Daglu, Badan POM, Badan Karantina Deptan dan Pusat Karantina Perikanan (DKP) Draft Blueprint NSW.
Uji coba dimaksud difokuskan pada importir prioritas sebanyak 102.
Tujuan yang dapat dicapai adalah penyederhanaan dokumen impor dan
pemendekan proses bisnis pengurusan perizinan impor dari 5.5 hari
menjadi 8 jam.
Implementasi
NSW Tahap II dimulai pada bulan Juli – Desember 2008. Pada Tahap II
difokuskan pada tingkat operasional dengan sasaran antara lain :
penerapan di lima pelabuhan utama, yaitu Tanjung Prior (Jakarta),
Tanjung Perak (Surabaya), Belawan (Medan) dan Bandara Soekarno Hatta
yang merupakan tempat bongkar muat barang ekspor impor
dengan tingkat volume 90% dari total ekspor impor Indonesia; GA yang
terlibat menjadi 15 (total instansi yang terlibat perizinan sesudah
penyederhanaan/sebelumnya 34 instansi); jasa perizinan meliputi ekspor,
impor, pengangkutan udara dan pengangkutan laut. Di samping itu, sistem
NSW juga mulai diujicobakan dengan ASW pada tanggal 11 Agustus 2008
ditandai adanya pertukaran dokumen kepabeanan (SKA dan Form D antara
Indonesia dan Malaysia).
Diharapkan
seluruh importir terdaftar (sekitar 17.500 importir) telah dapat
menggunakan sistem dimaksud pada bulan Desember 2008 dan masalah terkait
dengan Service Level Agreement (SLA), permanent help desk; fee structure, changing management dan Badan Pengelola telah dapat diputuskan pada Implementasi Tahap II ini.
c. Realisasi ASEAN Free Trade Area
Pada pertemuan ke-40 ASEAN Economic Ministers tahun 2008, ASEAN Secretariat
telah melaporkan bahwa implementasi komitmen liberalisasi tariff CEPT
telah mencapai 92.25 % dari semua produk yang telah dimasukkan ke dalam inclusion list (IL),
88.48 % memiliki tarif berkisar antara 0-5 % di antara negara-negara
ASEAN. Tarif di antara negara-negara ASEAN yang telah dihapuskan sebesar
63.42 % dari IL products, rata-rata berkurang sebesar 2,58% dalam tahun 2007 menjadi 1.95 % dalam tahun 2008.
d. Comprehensive Revised CEPT Rules of Origin
Sejak 1 Agustus 2008, ASEAN telah mengimplementasikan Comprehensive revised CEPT Rules of Origin yang mencakup revisi terhadap teks CEPT ROO serta komponennya seperti Operational Certification Procedures, Product Specific Rules (PSRs) dan Certificate of Origin (CO) Form D. Revisi CEPT ROO termasuk revisi general rule of the CEPT Rules of Origin dari kriteria single “Regional Value Content of 40 percent (RVC(40)” menjadi alternative co-equal rules of “Regional Value Content of 40 percent or Change in Tariff Headings (RVC(40) or CTH)”.
e. Kerjasama Kepabeanan
Selama 3 (tiga) tahun terakhir, ASEAN Customs Administrations terus melakukan upaya-upaya untuk mengimplementasikan Strategic Plan of Customs Development (SPCD) 2005 – 2010, khususnya dalam bidang cargo
clearance, risk management, e-customs, facilitation of goods in
transit, customs enforcement and human resource development. Disamping itu, ASEAN juga mengupayakan penyelesaian mengenai finalisasi Protocol 2 (Designation of Frontier Posts) dan Protocol 7 (Customs Transit Systems) guna memungkinkan implementasi penuh Framework Agreement on Facilitation of Goods in Transit and the establishment of the ASEAN Customs Transit System.
f. Standards, Technical Regulations and Conformity Assessment Procedures (STRACAP)
Dalam upaya untuk fasilitasi implementasi priority sectors, ASEAN telah mengimpelementasikan sejumlah ASEAN Sectoral Mutual Recognition Arrangement (MRA). Hingga tahun 2007, di bidang produk barang, Indonesia telah menandatangani 3 (tiga) MRAs, yaitu di bidang cosmetics, electrical and electronic equipment serta pharmaceutical.
Namun demikian, mengalami hambatan dialami dalam proses ratifikasi
mengingat adanya benturan antara MRA dimaksud dengan peraturan
perundangan nasional terkait.
g. Initiative for ASEAN Integration (IAI)
Initiative for ASEAN Integration (IAI) adalah suatu policy framework
yang dimaksudkan untuk memberikan kontribusi, dengan dasar
berkesinambungan, untuk mempersempit kesenjangan pembangunan di antara
negara-negara ASEAN, khususnya untuk negara-negara CLMV. Kebijakan
dimaksud ditegaskan di dalam Ha Noi Plan of Action 1998 serta Deklarasi mengenai Narrowing Development Gap for Closer ASEAN Integration 2001.
IAI dituangkan di dalam IAI Work Plan, yang merupakan rencana 6 tahunan (Juli 2002 – Juni 2008). Sampai dengan tanggal 15 Mei 2008, terdapat 203 proyek dalam IAI Work Plan
dengan berbagai tahap implementasinya. Pembiayaan telah disiapkan untuk
158 proyek (78%). 116 proyek telah berhasil diselesaikan, 19 proyek
sedang dilaksanakan, 2 proyek telah mendapatkan pendanaan dan menunggu
implementasi, 2 proyek masih mencari dana separuhnya, 10 proyek masih menunggu proses pelaksanaan dan 18 proyek belum mendapatkan pendanaan.
Sumber
pendanaan proyek-proyek IAI berasal dari negara-negara ASEAN + 6 dan
negara-negara donor lainnya. Kontribusi ASEAN + 6 sampai dengan tanggal
15 Mei 2008 berjumlah US $ 30.98 juta. Kontribusi Indonesia tercatat
sebesar US $ 804.437 untuk 9 (sembilan) proyek, dengan share
sebesar 2,6 % dari total pendanaan yang disiapkan oleh ASEAN-6.
Sedangkan Singapura memberikan kontribusi tertinggi, sebesar US $
22.811.330, dengan share 73.64% dari seluruh total pendanaan ASEAN.
Di samping itu, kontribusi ASEAN-6 terhadap CLMV on bilateral basis,
sampai dengan tanggal 15 Mei 2008 total berjumlah US $ 159.483.271,
untuk implementasi proyek-proyek dari tahun 1992–2008. Sedangkan
kontribusi Indonesia on bilateral basis sebesar US $ 1.661.588,
untuk implementasi 30 Juli 2000–2006. Kontribusi tertinggi diberikan
oleh Thailand, sebesar US $ 100.358.255 (implementasi proyek 1996 –
2004).
Kontribusi negara-negara dialogue partner
ASEAN terhadap proyek-proyek IAI sampai dengan tanggal 15 Mei 2008
berjumlah total US $ 20.18 juta, untuk 65 proyek. 5 (lima) negara donor
utama adalah Jepang, Korea, India, Norwegia dan Uni Eropa, menyumbang
sebesar US $ 17.64 juta (87.3% total dana dari negara donor).
Sebagai konsistensi untuk narrowing development gap, saat ini sedang disusun dan diselesaikan IAI Work Plan II, yang diharapkan akan dapat segera diselesaikan pembahasannya.
h. Perkembangan Pembentukan FTA ASEAN Dengan Negara-negara Mitra Wicara
a) ASEAN–China Free Trade Agreement
Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement Mechanism Agreement ditandatangani oleh Menteri Ekonomi ASEAN dan China pada bulan Nopember 2004. Sementara itu, Agreement on Trade in Services dan Second Protocol to Amend the Framework Agreement ditandatangani pada bulan Januari 2007 di Cebu, Filipina. Berkenaan
dengan proses ratifikasi ketiga perjanjian dimaksud, hanya tinggal
Kamboja yang belum meratifikasi perjanjian tersebut.
Terkait dengan implementasi FTA ASEAN-China di bidang jasa, China telah mengajukan request kepada Indonesia untuk 10 sektor jasa, yaitu business services; komunikasi; konstruksi dan jasa engineering;
distribusi; pendidikan; lingkungan; keuangan; jasa sosial dan
kesehatan; jasa olah raga ,budaya dan rekreasi; dan jasa transportasi.
Berkenaan dengan hal tersebut, telah disepakati bahwa basis offer untuk sektor-sektor yang masuk dalam Komitmen Pertama FTA ASEAN-China bidang Jasa adalah AFAS-4 (business services, telekomunikasi, Konstruksi, Jasa terkait dengan Air Travel
dan Kepariwisataan) ditambah dengan jasa maritim, pendidikan, keuangan
khusus asuransi dan kesehatan yang kesemuanya telah masuk dalam AFAS-5.
Perundingan
yang masih belum diselesaikan adalah bidang investasi dan kerjasama
ekonomi. Negosiasi di bidang investasi semula diharapkan dapat
diselesaikan pada akhir tahun 2007. Namun demikian setelah 4 (empat)
tahun berjalan tidak terlihat tanda-tanda dimana akan tercapai
kesepakatan. Hal ini dikarenakan perbedaan posisi ASEAN yang tetap
menginginkan memakai pendekatan AIA atau negative list approach. Sedangkan China menghendaki penggunaan positive approach.
Pada
KTT ASEAN ke-13 para Pemimpin ASEAN menekankan pentingnya kerjasama
ASEAN-China yang tentunya akan memberikan manfaat bagi pertumbuhan
ekonomi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di kawasan
Asia, khususnya ASEAN dan China. Bukti nyata pertumbuhan ekonomi
termaksud ditandai dengan meningkatnya volume perdagangan ASEAN-China
dari US$ 160 miliar pada tahun 2006 menjadi US$171.1 miliar pada tahun
2007. Sebagai catatan, pada periode 2003-2007 total nilai perdagangan Indonesia China tumbuh sebesar 28.7%. Pada tahun 2007, realisasi investasi China di Indonesia berjumlah 22 proyek dengan nilai US$ 28.9 juta. Sementara
negosiasi perjanjian investasi ASEAN-China yang belum berhasil
terselesaikan diharapkan dapat rampung dalam tahun 2008.
Di sela-sela KTT ASEAN ke-13 diakhiri dengan penandatanganan Memorandum
of Understanding between ASEAN and the Government of the People’s
Republic of China on Strengthening Sanitary and Phytosanitary
Cooperation oleh Sekjen ASEAN atas nama negara anggota ASEAN dan Minister General Administration of Quality Supervision, Inspection and Quarantine, China.
b) ASEAN-Canada Trade And Investment Framework Arrangement (TIFA)
Meskipun
FTA ASEAN-Kanada masih merupakan tujuan jangka panjang, kedua belah
pihak mengakui mengenai adanya suatu keperluan untuk lebih memformalkan
hubungan, dan meminta Sekretariat ASEAN untuk menyusun draft awal ASEAN-Canada Economic Arrangement yang sejenis dengan Trade and Investment Framework Arrangement (TIFA) yang telah ditanda-tangani Kanada dengan MERCOSUR dan ASEAN Community.
Pada SEOM 1/39 di Baguio City, Filipina, Januari 2008, SEO bertukar pandangan mengenai pembatalan sepihak oleh pihak
Kanada karena isu Myanmar atas rencana pertemuan konsultasi SEOM-Kanada
di Vancouver, Kanada yang dijadwalkan pada bulan Nopember 2007.
Selanjutnya pada 2nd ASEAN Canada Informal Coordinating Mechanism (ICM) di Ha Noi, Viet Nam 10 Maret 2008, Indonesia telah menyampaikan penyesalannya dan
berharap agar Kanada dapat menggulirkan kembali pembahasan TIFA. Viet
Nam sependapat dengan Indonesia dan meminta konfirmasi lebih lanjut
mengenai kepastian penjadwalan ulang pertemuan pembahasan TIFA.
Pada Pertemuan ke-5 ASEAN-Canada Dialogue di Ho Chi Minh, Viet Nam, 12-14 Mei 2008, Kanada telah menyampaikan keputusannya untuk melaksanakan the 3rd ASEAN–Canada SEOM yang tertunda di Vancouver, Kanada pada akhir bulan Nopember 2008.
Sebagai catatan, draft TIFA ASEAN-Kanada terdiri dari 5 sections dengan 1 Annex berupa Trade and Investment Cooperation Arrangement between ASEAN Canada Work Plan, yaitu : Section
I Objectives; Section II Principles; Section III Expansion of Trade and
Investment; Section IV Joint Council on Trade and Investment; Section V
Final Clauses.
c) ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA)
Terkait dengan ASEAN-Australia-New Zealand FTA (AANZ FTA), setelah dilakukan perundingan sejak 3 (tiga) tahun terakhir sudah dapat dikatakan selesai kecuali berkaitan dengan ”market access” untuk sektor otomotif. Dalam kaitan ini, Australia mengharapkan agar jika market access dimaksud belum dapat disepakati maka AANZ FTA dapat ditandatangani pada bulan Desember mendatang. Sedangkan isu-isu bilateral yang belum dapat diselesaikan akan diselesaikan setelah AANZ FTA ditandatangani.
Dalam
kaitan ini, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah konsekwensi hukum
ditandatanganinya AANZ FTA apabila belum dapat
disepakati/diselesaikannya komitmen bilateral dengan Australia dan New
Zealand, mengingat offer dan request Australia serta New Zealand kepada Indonesia belum disepakati.
Di
samping itu, AANZ FTA menyisakan permasalahan lain, yaitu menyangkut 2
(dua) MOU mengenai labour dan environment yang diharapkan oleh New
Zealand dapat ditandatangani oleh Indonesia dan New Zealand sebelum
ditandatanganinya AANZ FTA. Kedua MOU tersebut masih dibahas dan
dipelajari lebih lanjut oleh pihak Depnaker serta Kementerian Lingkungan
Hidup.
d) ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA)
Sejak ditandatanganinya Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and India pada tanggal 8 Oktober 2003, perundingan ASEAN-India Trade Negotiating Committee (AITNC) telah memasuki pertemuan ke-21. Draft ASEAN–India Trade in Goods Agreement telah berhasil disepakati kecuali “market acsess”
kepada Viet Nam. Diharapkan hal ini dapat segera diselesaikan secara
bilateral. Di samping itu juga masih terdapat perbedaan pandangan antara
ASEAN dengan India berkaitan dengan penurunan tarif di dalam Exclusion List (EL) dan Normal Track (NT).
e) ASEAN-EU Free Trade Agreement (AEFTA)
Pertemuan ASEAN-EU Commemorative Summit di Singapura pada tanggal 22 November 2007, berhasil menyepakati dua dokumen penting yaitu Plan of Action to Implement the Nuremberg Declaration on an EU-ASEAN Enhanced Partnership dan Joint Declaration of the ASEAN-EU Commemorative Summit. Kedua dokumen tersebut memuat paragraf kesepakatan peningkatan kerjasama ekonomi kedua kawasan.
Hingga saat ini, telah diadakan 6 kali pertemuan Joint Committee on ASEAN-EU Free Trade Agreement
(JCAEFTA). Dalam pertemuan JCAEFTA ke-6 yang berlangsung di Ha Noi,
Viet Nam pada tanggal 14-17 Oktober 2008, masih terlihat keinginan dari
pihak UE untuk memasukan isu-isu non-tradisional seperti government procurement, competition policy, dan sustainable development.
Dalam isu Trade in Goods, UE juga mengemukakan penawaran dengan pendekatan country specific adjustrment, yang mengindikasikan adanya offer
yang berbeda dari UE kepada setiap negara-negara anggota ASEAN. Namun,
ASEAN tidak menyetujui tawaran EU tersebut karena dikhawatirkan
pendekatan ini akan menimbulkan diskriminasi.
Terkait dengan modalitas ASEAN-EU Free Trade Agreement (AEFTA), terdapat dua proposal tentang working method (mekanisme perundingan) yang akan digunakan dalam kerangka AEFTA. UE mengusulkan agar working method dilakukan dengan menggunakan mekanisme perundingan dual track, yakni perundingan “fast track” yang
dilakukan dengan beberapa negara (kelompok kecil) terutama
negara-negara yang memiliki tingkat ambisi tinggi baik dalam hal cakupan
isu-isu yang dirundingkan maupun ambisi yang cukup tinggi di
masing-masing isu, dan “normal track” yang dilakukan dengan negara anggota ASEAN lainnya yang tingkat ambisinya lebih rendah.
Berkenaan
dengan proposal tersebut, Viet Nam juga mengusulkan pendekatan yang
hampir sama dengan UE, namun sifatnya sukarela. Di samping traditional issues (trade in goods, services dan investment) kelompok pertama dapat merundingkan non-traditional issues (seperti competition policy, sustainable development dan government procurement), namun sifatnya sukarela. Sedangkan kelompok kedua hanya merundingkan traditional issues.
f) ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership
Landasan perundingan ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership adalah Joint Declaration of the Leaders on Comprehensive Economic Partnership between ASEAN and Japan yang telah ditandatangani pada tanggal 5 November 2002. Kemitraan ini juga kemudian diperkuat dengan penandatanganan Framework for Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and Japan pada tanggal 8 Oktober 2003.
Saat ini perjanjian AJCEP telah ditandatangani secara ad-referendum
pada bulan Maret 2008. Sedangkan pihak Jepang telah meratifikasi
perjanjian tersebut pada tanggal 21 Juni 2008. Saat ini masing-masing
negara ASEAN sedang melaksanakan prosedur legal nasional guna dapat
menerapkan perjanjian ini.
Kerjasama di Sektor Jasa
a. Perkembangan Liberalisasi Jasa ASEAN
1) Peranan Sektor Jasa ASEAN
Sektor Jasa memegang peranan penting di ASEAN dengan rata-rata 40-50% GDP negara ASEAN berasal dari sektor jasa. Jasa juga berperan penting dalam perekonomian Indonesia dengan porsi 46% total GDP pada tahun 2007.
Dalam
upaya meningkatkan kerjasama ekonomi melalui liberalisasi perdagangan
di bidang jasa, Negara-negara ASEAN telah menyepakati dan mengesahkan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) pada tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand. Selanjutnya untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut, telah dibentuk Coordinating Committee on Services
(CCS) yang memiliki tugas menyusun modalitas untuk mengelola negosiasi
liberalisasi jasa dalam kerangka AFAS yang mencakup 8 (delapan) sektor, yaitu: Jasa Angkutan Udara dan Laut, Jasa Bisnis, Jasa Konstruksi, Jasa Telekomunikasi, Jasa Pariwisata, Jasa Keuangan, Jasa Kesehatan dan Jasa Logistik.
Indonesia
mendorong liberalisasi sektor jasa melalui Badan Kebijakan Fiskal,
Departemen Keuangan, yang bertindak sebagai koordinator (Tim Koordinator
Bidang Jasa) di semua forum dan sektor, termasuk sebagai pengelola
sektor jasa keuangan non-bank dan jasa profesi (akuntan dan penilai).
Sejak penandatangan AFAS hingga saat ini, Negara-negara anggota ASEAN telah menyepakati 6 paket komitmen liberalisasi jasa. KTT
ASEAN ke-13 di Singapura pada November 2007 telah menyepakati
pengesahan paket ke-6 tersebut sebagai kelanjutan liberalisasi jasa di
bawah AFAS. Prinsip, strategi dan modalitas untuk liberalisasi jasa
tersebut ditujukan guna mewujudkan realisasi bebasnya arus perdagangan
jasa ASEAN dalam rangka pembentukan kawasan ekonomi terintegrasi
“Komunitas Ekonomi ASEAN” tahun 2015. Integrasi perdagangan jasa ASEAN
akan dilaksanakan dengan mengacu pada Cetak Biru Pembentukan Komunitas
Ekonomi ASEAN yang juga telah disepakati pimpinan ASEAN pada kesempatan
KTT ASEAN tersebut.
Disamping itu juga telah ditandatangani ASEAN
Multilateral Agreement on the Full Liberalisation of Air Freight
Services and the ASEAN multilateral Agreement on Air Services pada pertemuan ke-14 ASEAN Transport Ministers’ Meeting pada bulan November 2008.
2) Integrasi Sektor Jasa Prioritas Menjelang Realisasi Komunitas Ekonomi ASEAN 2015
ASEAN telah menetapkan 5 (lima) sektor jasa prioritas dari 12 sektor prioritas integrasi barang
dan jasa yang akan diliberalisasi menjelang pembentukan Komunitas
Ekonomi ASEAN 2015, yaitu: Jasa Kesehatan, Jasa Pariwisata, e-ASEAN, Jasa Logistik dan Jasa Transportasi Udara.
Target
penghapusan hambatan dalam perdagangan bidang jasa di empat sektor
prioritas bidang jasa adalah tahun 2010 untuk jasa perhubungan udara,
e-ASEAN, kesehatan, dan pariwisata dan tahun 2013 untuk jasa logistik.
Adapun liberalisasi bidang jasa seluruhnya ditargetkan pada tahun 2015.
Masing-masing sektor prioritas tersebut telah dilengkapi peta kebijakan (roadmaps)
yang mengkombinasikan inisiatif-inisiatif khusus dengan inisiatif yang
lebih luas secara lintas sektor seperti langkah-langkah fasilitasi
perdagangan.
3) Jasa Angkutan Udara (Air Transport Services)
Sidang ke 18 ASEAN Air Transport Working Group (ATWG)
di Kuala Lumpur tanggal 12 – 14 Agustus 2008 membahas berbagai hal
terkait dengan upaya liberalisasi jasa angkutan udara ASEAN, termasuk ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalisation of Air Freight Services, ASEAN Multilateral Agreement on Air Services, ASEAN Single Aviation Market (SAM) dan Kerjasama Angkutan Udara dengan Mitra Dialog.
4) Jasa Angkutan Laut (Maritime Transport Services)
Sidang ke-16 ASEAN Maritime Transport Working Group (MTWG) di Nha Trang, Viet Nam tanggal 9-11 September telah membahas langkah-langkah lebih lanjut dalam mengimplementasikan Roadmap Towards an Integrated and Competitive Maritime Transport. Terkait Roadmap Towards an Integrated and Competitive Maritime Transport, Indonesia ditunjuk bertanggung jawab sebagai lead coordinator untuk measure (langkah kebijakan) no.11 “Confirm the Principle of Open Access to the International Maritime Trade of All ASEAN Member States” dan measure no.12 “Develop the Strategies for an ASEAN Single Shipping Market” dari Roadmap dimaksud.
5) Jasa Keuangan (Finance Services)
Pertemuan terkini Para Menteri Keuangan ASEAN dan ASEAN Finance Minister Investors
Seminar (AFMIS) diselenggarakan di Dubai, Uni Emirat Arab pada tanggal
7-9 Oktober 2008. Para Menteri menegaskan komitmennya untuk memperkuat
kerja sama ekonomi dan keuangan sekaligus memperkuat tingkat kompetensi
di pasar global. Pertumbuhan GDP regional diperkirakan akan mengalami
sedikit perlambatan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 6,7 %.
Untuk
merespon hal tersebut, ditegaskan perlunya upaya kapitalisasi yang kuat
pada sektor perbankan dan institusi keuangan selain upaya untuk segera
dapat mengimplementasikan Chiang Mai Initiative Multilateralisation pada pertengahan tahun 2009 sejalan dengan inisiatif regional yang lain dalam upaya kerjasama dan integrasi regional.
6) Jasa Telekomunikasi (Telecommunications Services)
ASEAN
menyadari pentingnya Teknologi Informasi dan Komunikasi bagi seluruh
lapisan masyarakat. Terkait hal ini telah disepakati upaya sinergis
untuk membangun infrastruktur komunikasi melalui “Siem Reap Ministerial Declaration on Enhancing Universal Access on ICT Services in ASEAN” yang disepakati dalam sidang TELSOM/TELMIN ke-7 tahun 2007 di Siem Reap, Kamboja.
9th ASEAN Telecommunications & Information Technology Senior Officials Meeting (TELSOM-9) dan 8th ASEAN Telecommunications & Informations Technology Ministers Meeting (TELMIN-8) dengan tema ‘’High Speed Connection to Bridge ASEAN Digital Divide” di Bali, pada tanggal 25-29 Agustus 2008 telah membahas dan mengesahkan indikator dan target dalam ICT Scorecard yang diperlukan untuk mencapai proses integrasi dan pengembangan sektor ICT ASEAN tahun 2008-2010.
7) Jasa Pariwisata (Tourism Services)
Dalam pertemuan ASEAN Tourism Meetings di Manila tanggal 6 – 9 Juli 2008, telah dibicarakan beberapa hal antara lain:
- Penyusunan
MRA di bidang Pariwisata diharapkan selesai pada akhir 2008 dan dapat
ditandatangani oleh para Menteri Pariwisata ASEAN pada saat ASEAN Tourism Forum (ATF) 2009 di Ha Noi, Viet Nam, tanggal 5-12 Januari 2009.
- Dalam kerangka ASEAN Tourism Resource Management and Development Network (ATMR) telah direncanakan untuk mengadakan beberapa kegiatan antara lain: Training on eco tourism di Thailand, Pelatihan Tourism Heritage di Indonesia, ATMR Cruise di Singapura, Workshop tentang Home stay di Malaysia.
- Guna lebih meningkatkan promosi ASEAN sebagai destinasi tunggal telah dibahas beberapa kegiatan promosi bersama, yaitu: ASEAN Promotional Chapter for Tourism, ASEAN Tourism Area in International tourism Fairs dan Joint Promotion Activities with ASEAN Airlines.
- Terkait dengan NTO/VAC Fund dinyatakan bahwa Balance of NTO/VAC Fund hingga bulan Mei 2008 adalah USD 58,791.25.
8) Jasa Logistik (Logistic Services)
Jasa logistik telah ditetapkan sebagai sektor prioritas kedua belas yang akan diliberalisasikan oleh ASEAN. Roadmap for Integration of Logistics Services telah ditandatangani pada Sidang ke-39 ASEAN Economic Ministers’ di Makati City, Filipina, pada tanggal 24 Agustus 2007.
Mutual Recognition Arrangements Bidang Jasa
Para Menteri Ekonomi ASEAN telah menandatangani Mutual Recognition Agreement (MRA) Framework
on Accountancy Services, MRA on Medical Practitioner and MRA on Dental
Practitioners. MRA Framework on Accountancy Services yang akan menjadi prinsip-prinsip dasar dan kerangka negosiasi bilateral atau multilateral. Sedangkan MRAs mengenai Medical Practitioners and Dental Practitioners diharapkan dapat memfasilitasi mobilitas qualified medical and dental practitioners di ASEAN.
Di samping itu juga telah ditandatangani MRAs di bidang engineering
services, architectures services, nursing services and surveying and
urged renewed efforts by the related professional bodies to implement
the MRAs. Sedangkan Mutual Recognition Arrangements on Tourism Professionals, diharapkan akan dapat ditandatangani pada ASEAN Tourism Ministers Meeting pada bulan Januari 2009.
Ratifikasi Perjanjian-perjanjian Ekonomi ASEAN
Hingga
saat ini terdapat 92 Perjanjian Ekonomi ASEAN. Dari jumlah tersebut, 57
perjanjian telah diratifikasi, sedangkan 35 masih dalam proses. Perlu
disampaikan juga bahwa terdapat 12 perjanjian dalam tahap akhir proses
ratifikasi dan diharapkan selesai pada akhir tahun 2008.
Kerjasama di Sektor Investasi
Di
sektor investasi, kerjasama ASEAN diawali dengan dikemukakannya gagasan
pembentukan suatu kawasan investasi ASEAN pada Pertemuan Pemimpin ASEAN
di Bangkok pada tahun 1995. Untuk menindaklanjuti gagasan tersebut,
pada tahun 1996, dibentuk Komite Kerja Kawasan Investasi ASEAN (WC-AIA),
yang berada dibawah naungan SEOM, dengan mandat menyiapkan sebuah Persetujuan Dasar tentang Kawasan Investasi ASEAN (Framework Agreement on ASEAN Investment Area/FA-AIA).
Framework Agreement on ASEAN Investment Area
ditandatangani di Makati City, Filipina, pada tahun 1998. Bersamaan
dengan penandatanganan tersebut juga disahkan pembentukan AIA Council. FA-AIA mencakup seluruh kegiatan investasi, kecuali investasi portfolio dan kegiatan investasi lainnya yang sudah tercakup pada perjanjian ASEAN lainnya, seperti the ASEAN Framework Agreement on Services.
Tujuan utama yang hendak dicapai adalah menciptakan suatu Kawasan
Investasi ASEAN yang liberal dan transparan, sehingga dapat meningkatkan
arus investasi ke kawasan. Liberalisasi investasi bagi negara anggota
ASEAN disepakati untuk mulai berlaku pada tahun 2010, sedangkan dengan
negara non-ASEAN disepakati untuk direalisasikan pada tahun 2020.
Kerangka kerja AIA mencakup semua arus investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI)
ke ASEAN maupun investasi langsung antar negara-negara ASEAN.
Persetujuan tersebut antara lain akan mengikat negara-negara anggota
untuk menghapus hambatan-hambatan investasi, meliberalisasi
peraturan-peraturan dan kebijaksanaan investasi, memberi persamaan
perlakuan nasional dan membuka investasi di industrinya terutama sektor
manufaktur. Dengan menciptakan ASEAN sebagai suatu kawasan investasi
yang lebih berdaya saing dan terbuka, AIA diharapkan dapat menarik arus
investasi langsung ke ASEAN.
Pada
pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN Ke-40 yang berlangsung di Singapura
bulan Agustus 2008, negara-negara ASEAN sepakat untuk membentuk suatu
rejim investasi ASEAN yang lebih terbuka serta mendukung proses
integrasi ekonomi di Asia Tenggara. Rejim yang dimaksud adalah ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) yang merupakan hasil revisi dan penggabungan dari ASEAN Investment Area (AIA) dan ASEAN Investment Guarantee Agreement (ASEAN-IGA). ACIA mencakup empat pilar utama yang meliputi: liberalisation, protection, facilitation and promotion.
ACIA lebih bersifat komprehensif dibandingkan dengan AIA dan ASEAN IGA, dikarenakan ACIA telah mengadopsi international best practices
dalam bidang investasi dengan mengacu kepada kesepakatan-kesepakatan
investasi internasional. Dengan adanya ACIA, diharapkan ASEAN dapat
meningkatkan iklim investasi di kawasan dan menarik lebih banyak
investasi asing. Sebagai tambahan, nilai investasi asing di ASEAN pada
tahun 2005 berjumlah sebesar US$. 41.06 milyar dan tahun 2006 sebesar
US$. 52.3 milyar.
Setelah mengalami pembahasan yang cukup alot sejak tahun 2006, ASEAN akhirnya berhasil menyelesaikan pembahasan ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA). Draft ACIA dimaksud telah dibahas dan di-endorse pada Pertemuan ke-40 ASEAN Economic Ministers
(AEM) tahun 2008. Diharapkan ACIA akan dapat ditandatangani pada KTT
ke- 14 ASEAN mendatang di Chiang Mai, Thailand, Desember 2008. Dengan
ditandatanganinya ACIA, diharapkan akan dapat menjadikan ASEAN menjadi
wilayah yang sangat kompetitif untuk menarik Foreign Direct Investment (FDI) serta mendukung realisasi ASEAN Economic Community.
1 komentar:
font nya jangan putih gan, susah dibaca
Posting Komentar