BEZIT (Ps. 529 s/d 568 BWI)
Secara harfiah berarti Penguasaan. Maksudnya adalah ‘ barang siapa menguasai suatu barang, maka dia dianggap sebagai pemiliknya ’.
Menurut Ps. 529 BWI, bezit adalah keadaan seseorang yang menguasai suatu benda, baik dengan diri sendiri maupun melalui perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki benda itu. Menurut Prof.Subekti lebih dijelaskan maknanya sebagai berikut : ‘Bezit adalah suatu keadaan lahir (=fakta), dimana seseorang menguasai sautu benda seolah olah kepunyaannya sendiri, dengan tiidak mempersoalkan siapa pemilik benda itu sebenarnya. Lebih lanjut dalam Ps. 530 BWI disebutkan bahwa ada dua macam bezit, yaitu yang beriktikad baik ( te goede trouw) dan yang beriktikad tidak baik.(te kwader trouw). Unsur bezit ada dua, yaitu :
a. unsur keadaan dimana seseorang menguasai suatu benda (corpus) ;
b. unsur kemauan orang tersebut untuk memilikinya (animus).
Karena pada umumnya orang yang tidak waras tidak mempunyai unsur animus, maka bezitter (orang yang mempunyai bezit) biasanya bukan orang gila / orang yang tidak waras .Yang dapat mempunyai hak bezit adalah orang yang dewasa, sehat pikiran,berkehendak bebas / tidak dibawah paksaan, Pengertian bezit yang dengan iktikad baik adalah penguasaan karena penguasaan atas benda tersebut terjadi tanpa diiketahui cacat cela dalam benda tersebut (Ps.531 BWI). Contohnya, seseorang yang menerima warisan dianggap sebagai pemilik barang tersebut, demikian pula seseorang yang menang pada suatu lelang barang. Jadi terdapat alas hak yang sah . Sebaliknya, pencuri juga dapat menguasai dan mau memiliki benda yang dicuri, tetapi keadaan ini tergolong dalam bezit yang te kwader trouw. Dalam hal tersebut diatas, maka apakah perlindungan oleh undang undang hanya diberikan kepada yang te goede trouw (
yang jujur), berlaku ungkapan bahwa kejujuran itu dianggap ada pada setiap orang, sedangkan ketidak jujuran harus dibuktikan. (Ps.533 BWI).
Bezit harus dibedakan dengan detentie, yakni keadaan dimana seseorang menguasai suatu benda berdasarkan suatu hubungan hukum tertentu dengan pemilik yang sah dari benda tersebut, misalnya hubungan sewa menyewa, tidak harus menimbulkan kemauan bagi si penyewa untuk memiliki. Pada diri seorang detentor tersebut, dianggap bahwa kemauan untuk memiliki benda yang dikuasai itu tidak ada.
Menurut ketentuan Ps 538 BWI, “ Penguasaan atas suatu benda diperoleh dengan cara menempatkan benda itu dalam kekuasaan dengan maksud mempertahankannya untuk diri sendiri”.
Ketentuan tersebut mengandung unsur-unsur :
a. Kata ‘Menempatkan’ berarti perbuatan aktif yang dapat dilakukan sendiri atau dilakukan oleh orang lain atas nama.
b. Kata, ‘benda’ meliputi pengertian benda bergerak dan benda tidak bergerak; benda bergerak meliputi benda yang sudaha ada pemiliknya , atau yang belum ada pemiliknya.
c. Kata “dalam kekuasaan” menunjukkan keharusan adanya hubungan langsung antara orang yang menguasai dengan benda yang dikuasai.
d. Kata “ mempertahankan untuk diri sendiri” menunjukkan unsur keharusan adanya animus, yaitu kehendak menguasai benda itu untuk memilikinya sendiri; setiap pemegang/penguasa benda itu dianggap mempertahankan penguasaannya selama benda itu tidak beralih ke tangan orang lain atau selama benda itu tidak nyata-nyata telah ditinggalkannya ( Ps. 542 BWI).
Cara memperoleh penguasaan (Bezit) dapat dibedakan :
a. Menguasai benda yang tidak ada pemiliknya
Penguasaan atas benda yang tidak ada pemiliknya disebut ‘penguasaan originair’, atau “bezit occupatio”. Memperoleh penguasaan cara ini tanpa bantuan orang lain, hanya tertuju pada benda bergerak yang tidak ada pemiliknya (res nullius), yang kemudian diakui dan dikuasai. Contoh : mengaku dan menguasai hasil tangkapan ikan di laut, binatang hasil buruan sendiri di hutan, atau benda lain yang dibuang oleh pemiliknya.
b. Menguasai benda yang sudah ada pemiliknya
Penguasaan atas benda yang sudah ada pemilikya, mempunyai dua kemungkinan, yaitu dengan bantuan orang lain yang menguasai lebih dahulu / pemiliknya dan tanpa bantuan orang lain yang terkait. Penguasaan dengan bantuan orang yang menguasai lebih dulu/pemiliknya disebut “pengusaan traditio” atau “penguasaan derivatif”, yakni melalui penyerahan benda tersebut, misalnya penguasaan atas hak gadai, hak pakai, hak sewa, hak memungut hasil dlsb. Memperoleh penguasaan tanpa bantuan orang yang menguasai lebih dulu/pemiknya disebut “penguasaan tanpa levering”, misalnya menguasai benda temuan di jalan, benda orang lain yang hilang.Berdasarkan ketentuan Ps. 1977 ayat (1) BWI, penguasaan berlaku sebagai alas hak yang sempurna. Dengan demikian orang yang menguasai benda itu sama dengan pemiliknya. Hak milik adalah alas hak yang sempurna. Ketentuan tersebut di atas dibatasai oleh ayat (2) nya, bahwa perlindungan hukum yang diberikan oelh ayat (1) itu tidak berlaku bagi benda-benda yang hilang atau benda-benda curian. Terhadap benda-benda ini, bezit sebagai hak yang sempurna tidak berlaku. Barangsiapa kehilangan atau kecurian suatu benda, dalam waktu tiga tahun terhtung sejak hilang atau dicurinya bendanya, berhak meminta kembali bendanya itu dari pemegangnya. Tetapi jika pemegang benda itu menguasai benda tersebut karena memperolehnya atau membelinya dari pedagang yang lazim memperdagangkan benda itu atau tempat pelelangan umum, pemilik yang kehilangan benda / kecurian benda yang bersangkutan harus mengem-balikan harga benda yang telah dibayar oleh pemegang itu (Ps. 582 BWI).
Masalahnya adalah mengapa penguasaan “benda bergerak yang tidak berupa bunga, atau piutang yang tidak atas tunjuk berlaku ketentuan siapa yang menguasainya dianggap pemiliknya” sebagai yang ditetapkan dalam Ps. 1977 ayat (1), tidak diatur dalam Buku II BWI tentang Benda? Ternyata pembentuk undang-undang menyatakan bahwa Ps. 1977 BWI (Buku IV BWI) tersebut mengatur tentang kadaluarsa yang membebaskan dari perikatan, artinya, siapa yang menguasai benda bergerak seketika ia bebas dari tuntutan pemiliknya karena tenggang waktu / daluarsa sudah lampau. Apakah benar penguasaan itu sebagai alas hak yang sempurna, sama dengan hak milik, padahal syarat-syarat sah levering (penyerahannya tidak dipenuhi) ?, Ada dua teori yang menjawab soal ini, yaitu eigendomstheorie dan legitimatietheorie.
Eigendoms theorie
Teori ini dikemuakan oleh Meijers, yang menafsirkan Ps. 1977 BWI secara gramatikal. Menurut Mejers siapa yang menguasai benda bergerak secara jujur ia adalah pemilik benda itu, tanpa memperhatikan apakah ada alas hak yang sah atau tidak, apakah berasal dari orang yang berwenang mengauasai benda itu atau tidak.
Teori ini mengesampingkan Ps. 584 BWI mengenai syarat sahnya suatu levering, yaitu harus ada alas hak yang sah dan harus dilakukan oleh orang yang berwenang menguasai benda itu. Masalahnya adalah, pasal. mana yang harus diikuti diantara dua pasal. tersebut ? Mejers berpendapat Ps. 1977 BWI yang diikuti, berarti mengabaikan dua syarat sahnya levering, dan oleh karena itu pada masa sekarang teori Mejers ini sudah ditinggalkan orang.
Legitimatie theorie
Teori ini dikemukakan oleh Paul Scholten : Pada umunya hak milik atas suatu barang hanya dapat berpindah secara sah bila seseorang memperolehnya dari orang yang berhak memindahkan hak milik atas barang tersebut yaitu pemiliknya. Akan tetapi dapat dimengerti, bahwa kelancaran lalu lintas hukum akan sangat terganggu, jilka dalam setiap jual beli barang bergerak si pembeli harus menyelidiki terlebih dahulu apakan si penjual sungguhsungguh mempunyai hak milik atas barang yang dijualnya. Untuk kepentingan kelancaan lalu lintas hukum itulah, Ps. 1977 BWI menetapkan mengenai barang bergerak si penjual dianggap sudah cukup membuktikan hak miliknya dengan mempertunjukkan bahwa ia menguasai barang itu seperti seorang pemilik, yaitu bahwa menurut keadaan yang tampak barang itu seperti kepunyaannya sendiri. Jadi ia tidak usah memperlihatkan cara bagaimana ia memperoleh penguasaan atas benda tersebut, tak usah ia memperlihatkan tanda bukti tentang hak miliknya dan pembeli yang percaya atas adanya bezit di pihak penjual tersebut akan dilindungi oleh undang-undang. Jika kemudian ternyata si penjual bukan pemilik tetapi misalnya hanya meminjam barang itu dari pemilik, maka barang itu akan menjadi milik si pembeli (pembeli yang beritikad baik). Bezit bukan sebagai hak milik, jadi siapa yang secara jujur menguasai benda tak bergerak ia dilindungi oleh undang-undang. Jika dihubungkan dengan Ps. 584 BWI tentang syaratsyaratnya sahnya levering, teori Paul Scholten ini mengabaikan satu syarat levering, yaitu “tidak perlu berasal dari orang yang berwenang menguasai benda itu”, melainkan cukup dengan anggapan saja bahwa benda itu memang berasal dari yang berwenang menguasainya, demi kelancaran lalu lintas hukum.
Tujuan teori ini adalah melindungi pihak ketiga yang jujur, tetapi agar tidak terlalu luas penafsirannya, maka dikatakan bahwa perindungan hukum yang dimaksud dalam Ps. 1977 BWI hanya berlaku terhadap perbuatan-perbuatan dalam perdagangan. Jadi, seseorang yang bagaimanapun jujurnya menerima suatu benda sebagai hadiah, tidak dilindungi oleh hukum, karena bisa saja benda itu beasal dari benda curian, sedangkan kasus pemberian hadiah tidak termasuk sebagai perbuatan perdagangan. Pembatasan yang diajarkan oleh Paul Scholten ini disebut “rechtsvefijning” (penghalusan hukum).
0 komentar:
Posting Komentar