Disadur dari Opini Pakar yang berjudul "Teladan Bernegara Hukum"
Sudjito ; Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UGM
SUARA MERDEKA, 08 September 2012
MENGAPA banyak politikus korupsi, adakah keteladanan demikian? Mengapa persoalan sepele diselesaikan ala preman (main hakim sendiri)? Mengapa mahasiswa menyontek ketika ujian? Mengapa terjadi suap-menyuap dalam proses peradilan? Dalam bernegara hukum, sederet pertanyaan serupa relevan untuk dikaji seksama. Ikhwal demikian muncul karena bernegara hukum bukan lahir secara alamiah melainkan melalui kesepakatan. Syarat mendasar adalah keteladanan. Mengapa?
Pertama; tiap manusia lahir senantiasa didoakan kelak menjadi anak saleh atau salihah. Kesalehan itu antara lain tercermin pada sikap dan perilaku, baik dalam kesendirian, bergaul dengan sesama, berinteraksi dengan alam dan lingkungan, maupun beribadah kepada Tuhan.
Seorang bayi tidak mungkin mampu bersikap dan berperilaku demikian manakala tidak diberi teladan. Dalam konteks ini, kedua orang tua bertanggung jawab memberi keteladanan. Dalam tuntunan agama begitu bayi lahir, langsung dikumandangkan azan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri. Ini kewajiban primer untuk mengukir hati nurani, tabula rasa (lilin putih bersih) menjadi lukisan kehidupan damai dan indah.
Menurut ilmu kedokteran anak, saraf terpeka adalah saraf pendengaran. Ketika mata belum mampu melihat, suara kedamaian dan keindahan telah dimasukkan ke jiwa bayi. Ketika bayi kelak dewasa dan senantiasa menegakkan shalat maka tidaklah sulit baginya untuk memahami, melaksanakan, dan menegakkan hukum, baik hukum ilahiah, hukum alam, hukum adat, maupun hukum negara.
Kedua; beranjak dewasa, pergaulan manusia makin luas. Di sana ada pembantu, teman bermain (peer group), guru, dan masyarakat. Pengaruh mereka sangat kuat dalam membentuk karakter. Lebih-lebih ketika orang tua anak itu sibuk, kepedulian dan kasih sayang terhadap anak tergerus oleh pekerjaan dan waktu. Anak hanya mendapatkan sisa-sisa. Pada kondisi demikian, orang tua mesti memilihkan lingkungan yang ”sehat”.
Repotnya, kini lingkungan ”sehat” itu mahal, sempit, dan berjumlah terbatas. Sebagian besar lingkungan masyarakat kita dalam kondisi ”sakit”. Mereka tidak paham tentang hukum yang benar. Tak jarang mereka melanggar hukum dengan kesadaran, semisal ”menembak” KTP supaya bisa cepat mendapatkan SIM; terlibat penggelembungan biaya proyek, pembuatan kuitansi kosong, dan sebagainya.
Sikap dan perilaku buruk itu dicontoh dan secara perlahan membentuk karakter sehingga ada pepatah ”salah kaprah”. Di situlah kepatuhan hukum masyarakat ternodai oleh karakter buruk yang terbina oleh lingkungan.
Sebagai Tatanan
Ketiga; pesan moral dan teladan bernegara hukum yang baik sebenarnya telah diajarkan alam lingkungan. Contoh, lebah. Mereka hidup bermasyarakat tetapi tidak pernah bentrok. Rukun, saling menolong dalam kebersatuan, dan pantang mengganggu makhluk lain. Akan tetapi mereka marah, memburu, dan menyengat terhadap siapa pun yang menggangu ketenteramannya. Hukum alam dipatuhi lebah tanpa perdebatan dan pereduksian sedikit pun.
Kalau kehidupan lebah aman, tenteram, damai, mestinya manusia hidup lebih berkualitas dibandingkan dengan lebah. Ternyata tidak. Tentu ada faktor penyebabnya. Paling dominan adalah ketidakpekaan menangkap makna. Manusia kini cenderung modern. Hidup sangat rasional, individual, liberal, dan materialistik. Perangkat hati nurani mereka lagi ”sakit” karena jarang dirawat. Akibatnya, mereka tidak peka dan gagal menangkap makna kehidupan. Materi yang diraih mungkin banyak tetapi simbol-simbol kekayaan belaka. Padahal kekayaan hakiki adalah kaya rohaniah.
Hidup bernegara hukum tidak cukup dengan simbol-simbol namun harus bermakna. Ketika perundang-undangan dibaca sebatas tekstual akan diperoleh pengetahuan hukum formal. Kata Paul Scholten, hukum substansial masih perlu ditemukan melalui kegiatan spiritual. Satjipto Rahardjo mengajarkan, bernegara hukum mestinya dimaknakan memahami hukum sebagai tatanan (order), baik meliputi tatanan transendental, tatanan sosial, maupun tatanan politik.
Kalau hukum dipahami hanya sebagai pengetahuan tentang perundang-undangan tentu bernegara hukum menjadi sempit, dangkal, dan kering. Di situlah kedalaman ilmu hukum menjadi penting dan amat berpengaruh terhadap kualitas bernegara hukum.
Keteladan merupakan qonditio sine qua non terwujudnya negara hukum yang baik. Ketika orang tua, pemimpin, guru, dan masyarakat sudah tidak mampu memberikan keteladanan, sikap optimistis perlu digelorakan karena sebenarnya alam lingkungan senantiasa amanah untuk urusan keteladanan ini. Marilah dengan hati nurani kita teladani alam lingkungan dalam bernegara hukum
0 komentar:
Posting Komentar