Oleh Jawahir Thontowi
Penyelesaian
hukum yang rasional dan birokratis di pengadilan tidak disukai oleh
sebagian masyarakat. Ancaman putusnya tali hubungan kekeluargaan atau
kekerabatan acap terjadi. Rasa tidak percaya terhadap pengadilan tak
ayal membuat masyarakat atau negara memilih model kompromi yang lebih
menguntungkan. Meskipun rasa keadilan bagi pihak- pihak harus
dikorbankan.
Justice is in Many Rooms (Keadilan
di Banyak Ruang) gagasan Mac Gallenther menjadi sangat relevan terkait
dengan pilihan kesepakatan politik dalam penyelesaian sengketa.
Sebagaimana halnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ramos
Horta, pada 14 Juli di Denpasar, bersepakat mengakhiri kasus pelanggaran
berat HAM di Timor Leste. Kesepakatan penyelesaian perkara yang diambil
dalam ranah hukum maupun politik tetap mengundang aneka tafsir.
Sebelumnya,
penyelesaian diplomasi di perundingan pernah dilakukan ketika
pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani MoU di
Helsinki, Agustus 2005. Dengan harapan, agar kekerasan akibat konflik
bersenjata non- internasional (bukan perang antara dua negara berdaulat)
di Aceh dapat diakhiri.
Ketika
itu, status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh serta berbagai
ketimpangan sosial dan ekonomi merupakan latar belakang timbulnya
konflik bersenjata. Tetapi, akhirnya impian kultural masyarakat Aceh,
seperti pemberlakuan hukum berdasarkan syariat Islam serta suasana lebih
aman dan damai saat ini di Aceh, MoU telah efektif dan menjadi
kenyataan.
Apakah
kesepakatan Presiden SBY dengan Ramos Horta terkait dengan kasus
pelangaran berat HAM akan menjadi solusi mujarab hubungan kedua negara
ke depan? Jawabannya tidak jauh berbeda. Namun, ketimpangan dan
kekecewaan yang diderita sebagian kecil orang tidak terpulihkan.
Jurisdiksi Peradilan Universal
Perpisahan
Timor Leste dari NKRI tidak dapat dihindari sejak penyelenggaraan jajak
pendapat September 1999. Pembentukan pemerintahan sendiri (self- governing) sebagai upaya memisahkan diri (self- determination rights)
dapat dicapai. Tetapi, itu tak henti- hentinya menyisakan berbagai
masalah. Isu politik internasional dan tudingan TNI nyata- nyata
mengganggu hubungan harmonis kedua negara.
Kebutuhan
terbangunnya hubungan harmonis RI- Timor Leste mendesak solusi
diplomasi menjadi pilihan. Tinjauan terhadap kebijakan kedua kepala
negara itu bukanlah tidak bermanfaat, melainkan lebih disebabkan
penyelesaian diplomasi dapat mengundang reaksi negatif masyarakat
internasional.
Pelanggaran dan kejahatan berat HAM (gross violation of human rights) tidak layak menggunakan perundingan dengan target win- win solution. Seba,
cara itu biasanya dipergunakan untuk kasus keperdataan. Berbeda halnya
dengan penyelesaian sengketa bersifat hukum publik. Penyelesaian melalui
peradilan diwajibkan untuk kejahatan perang (war crime), kejahatan atas kemanusiaan dan perdamaian (crime against humanity and peace), pembunuhan sistematis atas dasar suku, agama, atau ras (genocide), dan juga pembajakan (piracy). Pengadilan berfungsi untuk memutuskan adanya pihak yang salah dan pantas mendapatkan sanksi hukuman.
Untuk
mencegah kekosongan penegakan hukum dalam pelanggaran dan kejahatan
berat HAM, dalam hukum internasional dikenal konsep jurisdiksi
universal. Pemberlakuan prinsip ini tidak lain karena kejahatan berat
HAM , kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) merupakan musuh kemanusiaan sejagat raya (hostis humants generic).
Dengan
tegas Bruce Broom Halt, pakar hukum pidana internasional, mengemukakan
bahwa kejahatan- kejahatan tersebut sejajar dengan konflik bersenjata
non- internasional.
Prakti jurisdiksi pengadilan universal telah diberlakukan sejak Perang Dunia Kedua. Ketentuan dalam Genocide Convention 1948, khususnya pasal 4, dan Den Hangue Convention 1970
pasal 7 menyatakan bahwa “seseorang yang melakukan kejahatan genosida
harus dihukum. Setiap Negara berkewajiban mencegah dan menghukum
tindakan tersebut”.
Ketimpangan Kesepakatan Bilateral
Kebijakan
Presiden SBY membuat kesepakatan bilateral dengan pemerintah Timor
Leste diakui bukan solusi tepat. Musyawarah atau perundingan merupakan
nilai- nilai kemasyarakatan yang lebih relevan untuk menggantikan
peranan dominant Negara- Negara. Situasi tersebut dibenarkan Steve
Smith. “ Dunia yang saai ini adalah dunia di mana kedaulatan Negara
menjadi kurang mampu memecahkan masalah utama kemanusiaan daripada
penggunaan nilai- nilai masyarakat suatu Negara” (International Order and The Future of World Politics, 1999; 113).
Dalam
konteks itu, kebijakan kesepakatan kedua kepala Negara merupakan upaya
menempuh jalan budaya dan politik. Penyelesaian tanpa pemaafan atas
terjadinya pelanggaran berat HAM dan agar peristiwa tersebut tidak
terulang di masa mendatang. Meskipun kesepakatan tersebut merupakan
kewajiban moral dalam etika diplomasi, daya ikatnya tidak dapat
diabaikan. Asas hukum menyatakan bahwa pihak- pihak yang menyetujui
suatu perjanjian wajib mematuhi dan menghormatinya (Pacta Sunt Servanda).
Dengan demikian, jika kesepakatan tersebut oleh sebagian pihak tidak dipatuhi, dipastikan penciptaan hubungan bertetengga baik (good neighbourhood relations) yang
saat ini diperlukan kedua Negara tidak akan tercipta. Imbas negatif
dari sebagian pendapat yang menyimpulkan KKP tidak fair karena hanya
melaporkan pihak- pihak WNI dan TNI belaka sah- sah saja.
Karena
itu, terlepas dari pro- kontra, manfaat kesepakatan bilateral akan
sangat tergantung komitmen kedua belah pihak. Tidak dapat dipungkiri,
beberapa nama diuntungkan oleh kesepakatan SBY dengan Ramos Horta.
Mereka, antara lain, Mayjen Adam Damiri (Pangdam Udayana), Brigjen
Timbul Silaen (Kapolda Timitim), Brigjen Tono Suratman (Danrem Wira
Dharma), Letkol Noer Moeis (Danrem Wira Dharma), dan Letkol Inf Sujarwo
(Dandim Dilli) merupakan beberapa nama yang terindikasi. (Jawa Pos, 15
Juli 2008).
Tentang penulis:
Jawahir Thontowi PhD, pengajar Hukum Internasional Fakultas Hukum UII Jogjakarta.
0 komentar:
Posting Komentar