Demokrasi yang Kehilangan Hati
Wiranto, JENDERAL (PURN)
Sumber : KOMPAS, 29 Desember 2011
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya. Pasal 28E Ayat 2 UUD 1945 menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kebebasan politik untuk menyuarakan hati nurani tanpa tekanan dan paksaan pihak lain.
Ketentuan itu pun mengandung arti adanya perintah normatif agar hati nurani jadi dasar bagi kebebasan politik dan sistem politik secara keseluruhan.
Ketentuan konstitusi ini sejalan dengan ketentuan Artikel 1 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menyebutkan, ”All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood”.
Secara kodrati, demokrasi yang bersendikan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan harus dibangun berdasarkan nalar dan hati nurani. Dengan hanya kekuatan nalar akan melahirkan sistem demokrasi yang rasional, sekaligus melahirkan pemerintahan yang ”disregard and contempt for human rights have resulted in barbarous acts which have outraged the conscience of mankind” (Preamble of UDHR).
Akibatnya, sistem politik hanya tunduk pada formalitas yuridis yang ditentukan oleh batasan sah (legal) dan tidak sah (ilegal) berdasarkan pertimbangan rasional semata, tetapi tidak memiliki landasan etis atas penilaian baik dan buruk.
Di bidang ekonomi, situasi serupa dewasa ini juga terjadi. Noam Chomsky berpendapat, ideologi pasar bebas yang tak berhati nurani hanya meningkatkan keserakahan korporasi, yang diwujudkan dalam bentuk demokrasi elektoral nominal.
Namun, perlu pula diwaspadai data yang diajukan Larry Diamond. Ia mencatat adanya kecenderungan kontradiktif: di satu pihak terjadi pertumbuhan demokrasi elektoral (atau demokrasi formal), di pihak lain terjadi stagnasi dalam pemenuhan kebebasan dan kesejahteraan warga. Menurut Diamond, kecenderungan tersebut merupakan petunjuk dari terjadinya ”kedangkalan demokratisasi”.
Situasi kontradiktif seperti itu ditunjukkan dengan kian banyak negara yang gagal memetik keuntungan dari demokrasi elektoral. Mereka malah menghasilkan pemerintahan yang—sekalipun punya legitimasi tinggi—tak efisien, korup, rabun, tidak akuntabel, dan didominasi kepentingan jangka pendek (Azhari, 2004). Situasi ini melahirkan kekhawatiran akan terjadi arus balik yang oleh Diamond disebutnya sebagai the third reverse wave.
Moral dan Etika
Keberhasilan reformasi politik di Indonesia sejak 1998 memang telah diakui dunia. Sistem demokrasi elektoral telah dijalankan melalui pemilihan umum yang kompetitif untuk tujuan memperoleh kekuasaan efektif. Paling tidak Indonesia sudah melakukan pemilu tiga kali, yakni pada tahun 1999, 2004, dan 2009, yang menghasilkan pemerintahan yang cukup legitimate.
Namun, kenyataannya, Indonesia pun harus mengalami akibat dari demokrasi tanpa hati itu dengan adanya kontradiksi antara keberhasilan mengembangkan demokrasi politik di satu pihak dan penurunan kesejahteraan di pihak lain.
Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia, dalam tiga tahun terakhir jumlah orang miskin di Indonesia meningkat tajam dari 40,4 juta tahun 2008 menjadi 43,1 juta tahun 2010, meningkat sekitar 2,7 juta orang. Ironisnya, saat yang sama juga terjadi peningkatan pendapatan per kapita dari Rp 23,1 juta tahun 2009 menjadi Rp 27 juta tahun 2010 (BPS, 27 Februari 2011). Adanya peningkatan jumlah orang miskin di satu sisi dan pendapatan per kapita di sisi lain menunjukkan terjadi ketimpangan sosial-ekonomi yang mencolok.
Kenyataan ini menunjukkan, demokrasi elektoral tak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Demokrasi elektoral, yang merupakan instrumen bagi sistem ekonomi pasar bebas, terbukti hanya memfasilitasi kepentingan korporasi yang bertujuan untuk meraih keuntungan finansial dan mengakumulasi kapital semata-mata. Dalam ungkapan Chomsky, demokrasi elektoral hanya memfasilitasi keserakahan korporasi.
Sejalan dengan rasionalitas ekonomi, demokrasi elektoral yang mengandalkan kalkulasi rasional akhirnya berkembang ke arah bentuk politik transaksional. Proses-proses politik akhirnya dikendalikan oleh kapital atau uang. Akibatnya, rakyat hanya jadi obyek transaksi dalam proses demokrasi. Dalam situasi seperti ini, sistem demokrasi berkembang menjadi sistem oligarkis yang hanya dinikmati oleh segelintir elite.
Keadaan seperti itu menyadarkan kita untuk mengembalikan demokrasi agar tidak mengutamakan akal semata, tetapi harus diimbangi pertimbangan moral dan etika yang bersumber pada hati nurani. Hal ini bukan saja merupakan kewajiban etis yang bersifat universal, melainkan juga memiliki rujukan normatif dalam UUD 1945.
Meminjam ungkapan Chomsky, pertimbangan etis dalam kehidupan politik dan ekonomi yang bersumber pada hati nurani akan membentuk sistem demokrasi partisipatif yang dapat mewujudkan keadilan sosial.
Wiranto, JENDERAL (PURN)
Sumber : KOMPAS, 29 Desember 2011
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya. Pasal 28E Ayat 2 UUD 1945 menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kebebasan politik untuk menyuarakan hati nurani tanpa tekanan dan paksaan pihak lain.
Ketentuan itu pun mengandung arti adanya perintah normatif agar hati nurani jadi dasar bagi kebebasan politik dan sistem politik secara keseluruhan.
Ketentuan konstitusi ini sejalan dengan ketentuan Artikel 1 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menyebutkan, ”All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood”.
Secara kodrati, demokrasi yang bersendikan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan harus dibangun berdasarkan nalar dan hati nurani. Dengan hanya kekuatan nalar akan melahirkan sistem demokrasi yang rasional, sekaligus melahirkan pemerintahan yang ”disregard and contempt for human rights have resulted in barbarous acts which have outraged the conscience of mankind” (Preamble of UDHR).
Akibatnya, sistem politik hanya tunduk pada formalitas yuridis yang ditentukan oleh batasan sah (legal) dan tidak sah (ilegal) berdasarkan pertimbangan rasional semata, tetapi tidak memiliki landasan etis atas penilaian baik dan buruk.
Di bidang ekonomi, situasi serupa dewasa ini juga terjadi. Noam Chomsky berpendapat, ideologi pasar bebas yang tak berhati nurani hanya meningkatkan keserakahan korporasi, yang diwujudkan dalam bentuk demokrasi elektoral nominal.
Namun, perlu pula diwaspadai data yang diajukan Larry Diamond. Ia mencatat adanya kecenderungan kontradiktif: di satu pihak terjadi pertumbuhan demokrasi elektoral (atau demokrasi formal), di pihak lain terjadi stagnasi dalam pemenuhan kebebasan dan kesejahteraan warga. Menurut Diamond, kecenderungan tersebut merupakan petunjuk dari terjadinya ”kedangkalan demokratisasi”.
Situasi kontradiktif seperti itu ditunjukkan dengan kian banyak negara yang gagal memetik keuntungan dari demokrasi elektoral. Mereka malah menghasilkan pemerintahan yang—sekalipun punya legitimasi tinggi—tak efisien, korup, rabun, tidak akuntabel, dan didominasi kepentingan jangka pendek (Azhari, 2004). Situasi ini melahirkan kekhawatiran akan terjadi arus balik yang oleh Diamond disebutnya sebagai the third reverse wave.
Moral dan Etika
Keberhasilan reformasi politik di Indonesia sejak 1998 memang telah diakui dunia. Sistem demokrasi elektoral telah dijalankan melalui pemilihan umum yang kompetitif untuk tujuan memperoleh kekuasaan efektif. Paling tidak Indonesia sudah melakukan pemilu tiga kali, yakni pada tahun 1999, 2004, dan 2009, yang menghasilkan pemerintahan yang cukup legitimate.
Namun, kenyataannya, Indonesia pun harus mengalami akibat dari demokrasi tanpa hati itu dengan adanya kontradiksi antara keberhasilan mengembangkan demokrasi politik di satu pihak dan penurunan kesejahteraan di pihak lain.
Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia, dalam tiga tahun terakhir jumlah orang miskin di Indonesia meningkat tajam dari 40,4 juta tahun 2008 menjadi 43,1 juta tahun 2010, meningkat sekitar 2,7 juta orang. Ironisnya, saat yang sama juga terjadi peningkatan pendapatan per kapita dari Rp 23,1 juta tahun 2009 menjadi Rp 27 juta tahun 2010 (BPS, 27 Februari 2011). Adanya peningkatan jumlah orang miskin di satu sisi dan pendapatan per kapita di sisi lain menunjukkan terjadi ketimpangan sosial-ekonomi yang mencolok.
Kenyataan ini menunjukkan, demokrasi elektoral tak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Demokrasi elektoral, yang merupakan instrumen bagi sistem ekonomi pasar bebas, terbukti hanya memfasilitasi kepentingan korporasi yang bertujuan untuk meraih keuntungan finansial dan mengakumulasi kapital semata-mata. Dalam ungkapan Chomsky, demokrasi elektoral hanya memfasilitasi keserakahan korporasi.
Sejalan dengan rasionalitas ekonomi, demokrasi elektoral yang mengandalkan kalkulasi rasional akhirnya berkembang ke arah bentuk politik transaksional. Proses-proses politik akhirnya dikendalikan oleh kapital atau uang. Akibatnya, rakyat hanya jadi obyek transaksi dalam proses demokrasi. Dalam situasi seperti ini, sistem demokrasi berkembang menjadi sistem oligarkis yang hanya dinikmati oleh segelintir elite.
Keadaan seperti itu menyadarkan kita untuk mengembalikan demokrasi agar tidak mengutamakan akal semata, tetapi harus diimbangi pertimbangan moral dan etika yang bersumber pada hati nurani. Hal ini bukan saja merupakan kewajiban etis yang bersifat universal, melainkan juga memiliki rujukan normatif dalam UUD 1945.
Meminjam ungkapan Chomsky, pertimbangan etis dalam kehidupan politik dan ekonomi yang bersumber pada hati nurani akan membentuk sistem demokrasi partisipatif yang dapat mewujudkan keadilan sosial.
0 komentar:
Posting Komentar