Siapa pun yang membaca sejarah pasti tahu bahwa Soekarno adalah salah seorang putra terbaik bangsa Indonesia yang berhasil memerdekakan Indonesia dari penjajahan asing pada 1945. Dia adalah pejuang yang mewakafkan lebih dari separo perjalanan hidupnya untuk membangun Indonesia sehingga tampil sebagai negara dan bangsa yang bermartabat.
Soekarno adalah pendiri Negara dan peletak konsep bangsa Indonesia yang paling terkemuka, diakui kepemimpinannya oleh dunia internasional, dan disegani bangsa-bangsa lain. Soekarno adalah peletak dasar kehidupan bernegara yang demokratis bagi Indonesia.
Tetapi, tragisnya, Soekarno jatuh dari kekuasaannya karena (pada akhirnya) memerintah secara tidak demokratis dan banyak melakukan pelanggaran atas konstitusi.
Siapa pun yang membaca sejarah pasti tahu bahwa Soeharto adalah putra terbaik bangsa Indonesia yang menyelamatkan Indonesia dari krisis politik dan ekonomi, dan yang terpenting dari ancaman penyelewengan dasar dan ideologi negara (Pancasila), pada pertengahan 1960-an.
Soeharto adalah pemimpin Indonesia yang sejak muda meniti karier sebagai militer yang bekerja habis-habisan untuk mempertahankan kemerdekaan dan membangun Indonesia sebagai negara dan bangsa yang berdaulat. Dia adalah seorang yang rendah hati, yang dipilih oleh rakyat dan mahasiswa (angkatan ’66) karena sifat kebapakannya dan menjanjikan kehidupan yang demokratis dan konstitusional bagi Indonesia.
Tetapi, tragisnya, Soeharto jatuh dari kekuasaannya karena (pada akhirnya) memerintah secara tidak demokratis dan menumbuhsuburkan korupsi yang hingga sekarang menjadi kanker ganas di Indonesia.
Pilihan Terbaik
Soekarno dan Soeharto tampil sebagai pimpinan bangsa pada masanya masing-masing bukan karena ambisi politik yang diraihnya dengan rekayasa yang curang. Saat itu mereka tampil karena pilihan politik yang objektif. Soekarno adalah putra terbaik yang tak tertandingi integritas, kecerdasan, dan kesediaannya berkorban untuk tegaknya negara Republik Indonesia.
Tanpa memiliki orang seperti Soekarno mungkin pada 1945 kita tidak dapat merdeka. Itulah sebabnya dia dipilih menjadi presiden tanpa ada yang keberatan. Soekarno tidak menonjol-nonjolkan diri untuk dipilih, tetapi rakyatlah (dengan suara aklamasi di PPKI) yang memilih dia.
Begitu juga Soeharto. Dia adalah putra terbaik bangsa yang (awalnya) dikenal jujur dan rendah hati. Saking rendah hatinya, semula dia menolak untuk dijadikan presiden, menggantikan Seokarno. Ketika pada 1966-1967 Soekarno jatuh setelah pergulatan (tarik tambang) segi tiga antara dirinya, TNI, dan PKI, ternyata Soeharto menolak dijadikan presiden.
Soeharto menolak menjadi presiden karena merasa tak sehebat Soekarno. Tak pernah bermimpi, apalagi menyiapkan diri untuk menjadi presiden. Setelah dipaksa-paksa, barulah pada 1967
Soeharto mau menerima jabatan presiden. Itu pun bukan persiden definitif, melainkan hanya sebagai “pejabat presiden”. Saat itu Soeharto hanya mau menerima tugas sebagai pejabat presiden untuk satu tahun, yakni sampai pemilu yang harus diselenggarakan pada 1968.
Jadi, pada awalnya, tampilnya Soekarno dan Seoharto sebagai presiden adalah pilihan objektif karena memang dinilai paling tepat. Pada awal penampilannya masing-masing, keduanya merupakan orang-orang yang tulus, penuh integritas, dan demokratis.
Tetapi, kedua pemimpin yang (semula) dinilai demokrat sejati itu akhirnya dijatuhkan atau diberhentikian secara paksa justru karena memerintah secara tidak demokratis.
Misalnya, Soekarno dijatuhkan karena dinilai melakukan banyak pelanggaran atas konstitusi seperti membawahkan semua lembaga negara lainnya, membuat berbagai penpres secara sepihak sebagai pengganti UU tanpa proses legislasi yang konstitusional, dan memenjarakan lawan-lawan politik tanpa peradilan.
Soeharto dijatuhkan karena membangun sistem politik otoriter yang bertentangan dengan demokrasi dan konstitusionalisme. Soerharto yang semula tidak mau diangkat menjadi presiden ternyata pada akhirnya tidak mau kalau tidak menjadi persiden.
Dia melakukan rekayasa politik dan kontrol legislasi agar dirinya selalu terpilih menjadi presiden dan kekuasaannya terus berakumulasi tanpa batas sehingga (akhirnya) hanya bisa diberhentikan melalui operasi caesar.
Dalil Acton Konstitusi
Apa yang bisa menjelaskan perubahan Soekarno-Soeharto dari yang semula merupakan orang-orang ”saleh” dan “demokrat” menjadi orang-orang yang otoriter atau (meminjam istilah ST Alisjahbana) despotis?
Salah satu jawabannya adalah adagium Acton yang sangat terkenal dalam ilmu politik. Lord Acton mengemukakan adagium yang kemudian diterima sebagai dalil dalam ilmu politik bahwa “kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut itu absolut pula korupsinya (power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely).
Berdasarkan dalil Lord Acton itu dipahami bahwa siapa pun yang memegang kekuasaan akan terdorong untuk melakukan korupsi atau penyelewengan-penyelewengan jika tidak ada pembatasan kekuasaan yang tegas melalui konstitusi.
Orang yang baik pun kalau memegang kekuasaan akan terdorong untuk korupsi. Sebab, meskipun secara pribadi dia baik (sebutlah Soekarno dan Soeharto), lingkungan kekuasaan di mana dia ada akan terus mendorongnya untuk korup.
Di lingkungan kekuasaan biasanya banyak demagog atau begundal-begundal yang selalu mendorong penguasa untuk selalu memperbesar kekuasaannya karena sang begundal bisa kebagian kekuasaan pula. Para begundal itu biasanya kepada sang penguasa mengatakan, “Negara ini masih memerlukan Bapak, rakyat masih ingin Bapak jadi presiden. Kalau Bapak berhenti, negara ini akan kacau. Bapak harus bersikap keras agar tak terjadi anarki….” dan sebagainya.
Itulah sebabnya di negara demokrasi harus ada konstitusi yang membatasi kekuasaan secara ketat atau memagari dari kecenderungan korup itu. Dan, itu pula sebabnya kita tidak boleh alergi terhadap gagasan untuk memperbaiki konstitusi sejauh hal itu dimaksudkan untuk memagari kekuasaan dari kecenderungtan korup. (Sumber: Jawa Pos, 31 Mei 2008).
Tentang penulis:
Moh Mahfud MD, guru besar Hukum Tata Negara dan Hakim Konstitusi RI.
0 komentar:
Posting Komentar