Disadur dari Opini Pakar berjudul "Keterbukaan Proses Peradilan"
Oleh Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum, Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
SINDO, 30 Januari 2013
Kegalauan para insan pers sedikit terkurangi ketika sinergi antara Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), dan jurnalis bidang hukum dapat didialogkan dalam suasana cair melalui workshop bertajuk “Sinergi Komisi Yudisial bersama Media Massa dalam Mewujudkan Akses Keadilan bagi Masyarakat” yang digelar Rabu, 23 Januari 2013 di Purwokerto.
Saya sungguh merasa terhormat diberi kesempatan untuk berbicara sebagai akademisi. Ada beberapa catatan menarik yang perlu diketahui publik. Pertama, adanya pandangan dan sekaligus dirasakan oleh para jurnalis bahwa persamaan di depan hukum (equality before the law) belum terwujud sebagai kenyataan. Salah satunya karena akses keadilan bagi masyarakat masih terkendala keterbatasan informasi.
Dalam bahasa bernas, ingin disampaikan kritik mengenai “ketertutupan” MA dan KY dalam memberikan informasi proses peradilan. Sebagai contoh, gara-gara proses putusan peradilan tingkat banding dan MA tidak transparan, pengacara Muhamad Zainal Arifin menggugat KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman. Zainal mencontohkan kasus kekalahan Lion Air yang dihukum MA membayar USD25.000 dan permohonan maaf ke media kepada penggugat.
Putusan wanprestasi Lion Air itu baru diketahui para pihak selang 2 tahun sejak putusan dijatuhkan. Contoh lain, pengunduran diri hakim agung Achmad Yamanie seharusnya menjadi pintu masuk untuk membersihkan MA sebagai institusi peradilan. Karena itu, semestinya MA bekerja sama dengan KY secara transparan. Setelah didesak publik, ternyata ada pemalsuan putusan.
Jadi,kasusnya seakan ditutupi. Secara kuantitatif, kasuskasus “ketertutupan” proses peradilan itu banyak dan secara kualitatif menodai rasa keadilan sosial. Jurnalis sebagai representasi masyarakat layak mempertanyakan bagaimana distribusi perkara, penunjukan majelis hakim, tarif beperkara,dan sebagainya.
Kedua,berbeda dengan logika sosial para jurnalis,ternyata MA dan KY terbiasa menggunakan logika peraturan.Ketika teksteks peraturan telah diimplementasikan dalam tugas dan wewenangnya, MA maupun KY mengklaim telah bekerja secara prosedural dan benar. Di situlah terlihat ada kesenjangan (jurang perbedaan pemahaman) tentang cara-cara berhukum. Jurnalis minta agar MA dan KY jangan normatif, tetapi permintaan itu tak mudah dipenuhi karena aspek legal mengharuskan demikian.
Logika peraturan yang dalam ranah ilmu hukum disebut legal-positivistis mengharuskan MA dan KY bertindak secara linier, mekanistis, deterministis, terikat pada teks-teks hukum.Kelemahan logika peraturan akan teratasi bila dilengkapi dengan logika sosial yang senantiasa asosiatif, kontekstual, memperhatikan ruang, waktu, dan kondisi sosial. Konsep law as a tool of social engineering dari Roescoe Pound (1912) merupakan implementasi logika sosial itu.
Konsep developmental model yang mengaitkan jurisprudence dan social science (Nonet dan Selznick,1979) juga berangkat dari logika sosial itu. Saya kira, sudah saatnya MA dan KY memperbarui logika hukum dengan perkembangan terbaru itu. Ketiga, adanya kesenjangan penggunaan logika hukum di atas semakin meneguhkan kebenaran bahwa analytical jurisprudence masih dominan diajarkan dan dipraktikkan dalam proses peradilan di Indonesia.
Mengapa begitu? Utamanya karena pengaruh modernisme yang dibawa negara penjajah dan pendidikan hukum model kontinental Eropa serta cravathisme Amerika. Implikasinya, MA dan KY serta para penegak hukum cenderung berpikir, bersikap, dan berlaku normatif, legal-positivistis,dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan materiil. Dalam kondisi demikian, equality before the law dan netralitas pengadilan sulit terwujud karena kekuatan sosial, ekonomi, dan politik berpengaruh kuat terhadap prosesperadilan.
Marc Galanter mengekspresikan kekecewaan terhadap kondisi ini dalam ungkapan the have always come out ahead.Keterbukaan informasi proses peradilan bagi masyarakat pun sangat dipengaruhi dominasi analytical jurisprudence itu.
Keempat, puncak logika hukum yang mampu mengatasi dan menyinergikan logika peraturan dan logika sosial adalah logika spiritual. Logika spiritual ini bermanfaat pada saat ilmu hukum mengemban kewajiban moral memberi pencerahan terhadap praktik-praktik hukum “bermasalah”, disequilibrium, misal: proses peradilan yang tidak transparan, vonis hakim yang tidak sesuai dengan keadilan sosial, kesenjangan hubungan antara lembaga pengadilandenganmasyarakat.
Karakteristik logika spiritual antara lain: kreatif, ingin memahami realitas secara utuh, luas dan mendalam. Fenomena dan fakta hukum tidak hanya dilihat dengan mata kepala, melainkan juga mata hati sehingga selain simbol-simbol fisik, dapat ditangkap pula nomena (hakikat, saripati, esensi) realitas tersebut. Lebih jauh, logika spiritual mampu mengantarkan penggunanya sampai pada kebenaran dan keadilan absolut.
Irah-irah vonis hakim “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tentu bukan simbol kosong, melainkan ajaran penuh makna yang wajib menjadi sumber inspirasi dan motivasi para penegak hukum dalam mengemban amanahnya. Gunakanlah logika spiritual agar amanah itu dapat dijalankan sebaik- baiknya.
Saya, jurnalis, dan masyarakat setuju bila MA dan KY bekerja berdasarkan peraturan perundangan berlaku. Namun, perlu diingat, sebagai komponen bangsa yang berideologi Pancasila, pilihan terhadap nilai-nilai yang mendasarinya tidak boleh bergeser dari Pancasila itu sendiri. Kehidupan modern yang cenderung logis, pragmatis, materialistis, dan mekanistis tidak boleh menjadikan MA dan KY lupa pada dimensi sosial dan spiritualnya.