Penulis: Ainur Rofiq*
Fungsi pemimpin bukan sekedar menjaga masyarakat. Al-Mawardi dalam Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyah menyebut fungsi pemimpin justru menjaga agama untuk menegakkan syariat Allah.
Sebentar lagi bangsa Indonesia akan melakukan hajat besar memilih presiden baru yang kelak akan menjadi pemimpin baru yang akan membawa ‘hitam-putih’ nasib bangsa dan ummat Islam, baik di dunia maupun di akherat. Tulisan ini merupakan pandauan bagi ummat Islam untuk memilih seorang pemimpin sebagaimana Islam menunjukkannya. Meski pilihan kita hanya sekali, namun kelak di akherat, Allah akan meminta pertanggungan jawab atas pilihan kita tersebut.
Seorang pemimpin, bagaimanapun besar kecil wilayah kepemimpinannya selalu mengemban peran yang strategis. Hal ini dikarenakan pemimpin menjadi penentu kemana arah dan gerak sebuah organisasi.
Rasulullah bersabda dalam sunnahnya: “Semua kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap nasib yang dipimpinnya. Amir adalah pemimpin rakyat, dan bertanggungjawab terhadap keselamatan mereka”. (al-hadits)
Memimpin sebuah bangsa tentulah berbeda dengan memimpin sebuah perusahaan, baik dari segi kapasitas kemampuan yang diperlukan maupun tanggung jawab yang dipikulnya.
Bermodal kemampuan menejerial sudah cukup untuk memimpin sebuah perusahaan. Tetapi untuk memimpin sebuah bangsa, sungguh tidaklah cukup hanya dengan modal kemampuan menejerial semata. Sebab memimpin sebuah bangsa bukan hanya membangun jalan, jembatan atau gedung. Tetapi lebih dari itu yakni membangun manusia.
Kesalahan memenej perusahaan paling-paling resikonya mengalami kerugian materi. Selanjutnya perusahaan dilikuidasi dan karyawannya di PHK. Dalam hal ini pemimpin perusahaan bisa pindah, bergabung dengan perusahaan lain atau mencari investasi untuk mendirikan perusahaan baru.
Sangat berbeda dengan memimpin sebuah bangsa. Kesalahan dalam mengelolanya akan berakibat sangat fatal. Bukan hanya menyangkut kerugian material dan beban hutang yang tidak terselesaikan. Kerusakan aqidah dan moral bangsa mererusakkan budaya bangsa, yang akan terus diwariskan dari generasi ke generasi. Memperbaikinya tidak cukup satu dua tahun, bahkan mungkin tidak cukup satu generasi. Andai kerugian yang ditimbulkannya hanya menyangkut urusan dunia, barangkali masih bisa dimaklumi. Tetapi ini menyangkut kerugian dunia dan akhirat. Karenanya tidak dapat diganti dengan uang berapapun banyaknya.
Kepemimpinan dalam Islam dipandang sebagai amanah. Seorang pemimpin bangsa hakekatnya ia mengemban amanah Allah sekaligus amanah masyarakat. Amanah itu mengandung konsekwensi mengelola dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan harapan dan dan kebutuhan pemiliknya. Karenanya kepemimpinan bukanlah hak milik yang boleh dinikmati dengan cara sesuka hati orang yang memegangnya.
Oleh karena itu, Islam memandang tugas kepemimpinan dalam 2 tugas utama, yaitu menegakkan agama dan mengurus urusan dunia. Sebagaimana tercermin dalam do’a yang selalu dimunajatkan oleh setiap muslim: “Rabbanaa atinaa fid-dunyaa hasanah, wa fil-akhiroti hasanah” (Yaa Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat)
Dua Tugas Kepemimpinan
Pertama, menjaga agama
Seorang kepala negara memiliki tugas dan tanggungjawab untuk menegakkan agar syariat Allah dapat dilaksanakan oleh segenap kaum muslimin. Seorang kepala negara tidak boleh menyerahkan urusan agama kaum muslimin kepada pribadi masing-masing. Yang suka silakan mengerjakan dan yang tidak suka silakan meninggalkan. Kepala negara bertanggung jawab agar kaum muslimin dapat melaksanakan ajaran Islam dengan benar.
Dalam hal ibadah shalat misalnya, pernah suatu hari Rasulullah bersabda dihadapan para sahabat beliau: “Seandainya ada yang menggantikan aku untuk memimpin shalat berjama’ah, maka aku akan mendatangi rumah-rumah kaum muslimin. Siapa diantara kaum laki-laki yang tidak datang menunaikan shalat berjamaah, maka aku akan membakar rumahnya”.
Kasus serupa juga terjadi di zaman khalifah Abu Bakar hampir saja mengirimkan pasukan perang ke suatu wilayah propinsi yang disinyalir penduduknya tidak mau melaksanakan kewajiban zakat yang telah digariskan oleh Allah SWT.
Contoh diatas memberikan gambaran bahwa seorang kepala negara tidak sekedar menghimbau agar kaum muslimin menjalankan perintah agamanya, tetapi juga sekaligus menegakkannya. Menegakkan agama berarti memberikan fasilitas, mendorong, mengontrol dan memberikan sangsi agar perintah agama dapat dilaksanakan oleh pemeluknya dengan sebaik-baiknya.
Kedua, mengatur urusan dunia.
Dalam tugasnya mengatur urusan dunia, pemimpin bangsa bertanggungjawab untuk mendayagunakan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh negara, baik berupa alam, manusia, dana maupun teknologi untuk sebesar-besarnya menciptakan keadilan, keamanan, kedamaian, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat luas. Pemimpin juga bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang lemah agar mereka tetap dapat menikmati kehidupan sebagai seorang manusia secara wajar.
Pemimpin tidak boleh membiarkan yang kuat memonopoli aset-aset negara dan yang lemah tertindas. Peimpin juga tidak boleh berkhianat, dengan mengekploitasi sumber-sumber daya hanya untuk kepentingan pribadi, keluarga maupun kelompoknya.
Dua tugas ini adalah ini tidak ringan. Orang yang faham tidak akan sanggup memikulnya, kecuali bagi orang orang yang memiliki rasa tanggungjawab besar untuk menyelematkan bangsa ini dari kerugian yang amat besar; yaitu kerugian dunia dan kerugian akhirat.
Mengingat besarnya tugas dan tanggungjawan pemimpin sebuah bangsa, yaitu menjaga agama dan mengatur urusan dunia, maka ulama-ulama Islam memiliki kriteria tersendiri bagi seorang yang akan pemimpin negara.
Abu Hasan Al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyah menetapkan tujuh syarat bagi seorang Kepala Negara, yaitu: (1) keadilan yang meliputi segala hal, (2) Ilmu pengetahuan sampai pada tingkat sanggup berijtihad, (3) kesejahteraan indera pendengaran, penglihatan dan lisan, (4) kesejahteraan anggota badan. (5) kecerdasan sampai pada tingkat sanggup memimpin rakyat dan mengurus kesejahteraan mereka, (6) keberanian dan ketabahan sampai pada tingkat sanggup mempertahankan kehormatan dan berjihad melawan musuh, (7) berbangsa dan berdarah Qurays.
Ibnu Khuldun dalam Kitab Muqaddimah nya menetapkan empat syarat, antara lain: (1) Ilmu Pengetahuan sampai pada tingkat mampu berijtihad, (2) keadilan, karena keadilan menjadi syarat bagi segala macam jabatan, (3) kesanggupan, yaitu berani menjalankan had dan menghadapi peperangan serta mengerahkan rakyat untuk berperang, mengetahui hal ihwal diplomasi dan cakap bersiasat, (4) kesejahteraan indera dan anggota badan.
Abdul Kadir Audah mencatat delapan syarat seorang kepala negara, antara lain: (1) Islam, (2) pria, (3) taklif, (4) berilmu, (5) keadilan, (6) kemampuan, (7) kesehatan, (8) keturunan Qurays.
Seorang tokoh Hizbut Tahrir, Taqiyudin An-Nabhani dalam Nidlamul hukmi fil Islam membagi syarat-syarat kepala negara dalam masyarakat Islam menjadi dua kelompok, yaitu syarat yang bersifat mutlaq dan syarat yang bersifat afdhaliyah (keutamaan). Adapun syarat yang bersifat mutlaq ini, maka tidak syah kepemimpinan seorang kepala negara, apabila tidak terpenuhi salah satu syaratnya. Syarat-syarat itu meliputi:
1. Muslim
Didalam Al-Qur’an banyak kita temukan Ayat-ayat yang dengan tegas mengharamkan kaum muslimin mengangkat dan menjadikan orang-orang non muslim sebagai pemimpin mereka. Salah satu dari firman Allah tersebut adalah: “janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin), dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. (QS. Ali Imron: 28)
2. Pria
Ketika Islam memberikan tanggungjawab berbeda, antara pria dan wanita tidak berarti Islam meninggikan yang satu dan merendahkan yang lain. Hak dan tanggung jawab itu sesungguhnya didasarkan oleh perbedaan fitrah manusia yang telah diciptakan oleh Allah secara berbeda pula. Allah dengan sifat al-alim nya, tentulah lebih mengetahui apa yang baik dan bermanfaat bagi kemaslahatan manusia dibandingkan dengan manusia itu sendiri. Maka seorang muslim akan lebih percaya kepada faliditas informasi dari Allah dan Rasul-Nya ketimbang mempercayai perasaannya sendiri, yang sering kali didasarkan pada kepentingan hawa nafsunya. Al-Qur’anul telah menegaskan:
“Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum perempuan, sebagaimana Allah telah melebhkannya atas kalian” (QS. An-Nisa’: 34)
Rasulullah bersabda: “…Dan wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Abi Bakrah meriwayatkan sebuah hadits;
“Ketika sampai suatu berita kepada Rasulullah SAW bahwa Bangsa Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai ratu, maka beliau bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita”. (HR. Bukhari dan Tirmidzi)
3. Taklif
Seorang Kepala negara haruslah seorang yang memenuhi syarat taklif, artinya dapat dibebani hukum. Kriteria seorang yang dapat dibebani hukum tersebut yaitu sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah: “Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) atas tiga orang, yaitu: anak kecil hingga ia aqil baligh, orang yang tidur hingga ia bangun, dan orang yang sakit gila hingga akalnya kembali” (HR. Abu Dawud)
5. Mampu
Kemampuan untuk mengemban amanah pemerintahan merupakan syarat yang tidak bisa ditinggalkan, karena disinilah sesungguhnya letak peran terpenting dari seorang kepala negara. Rasulullah bersabda: “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak memiliki kapasitas untuk mengembannya), maka tunggulah saat kehancurannya”.
6. Adil
Sikap adil merupakan salah satu sifat yang dituntut pada diri seorang kepala negara, mengingat kompleksitas permasalahan yang harus dihadapi. Tanpa sikap sifat adil, maka seorang kepala negara tidak akan dapat menyelesaikan berbagai persoalan kenegaraan dengan baik. Penegakan hukum, terciptanya kedamaian dan kesejahteraan bagi masyarakat luas tidak mungkin terwujud tanpa keadilan pemimpin.
Jika Islam mensyaratkan seorang saksi di pengadilan saja harus memiliki sifat yang adil, maka seorang kepala negara mestinya lebih dari itu.
Adapun syarat-syarat yang lain, seperti kedalaman ilmu yang menjadikan ia mampu mengambil berijtihad hukum, kesehatan fisik yang menjadikan ia mampu menjalankan tugas-tugas kenegaraan dengan baik, memiliki keberanian yang menjadikan ia mampu mengambil keputusan yang tepat dan tidak mudah didekte oleh kepentingan luar dan kemampuan berdiplomasi dan keturunan qurays, semua itu adalah bersifat afhdhaliyah. Artinya apabila diantara calon-calon yang ada tersebut disamping memiliki persyaratan yang bersifat mutlaq juga memiliki kapasitas lain untuk melengkapi kemampuan yang dibutuhkan bagi seorang kepala negara, maka itulah yang lebih baik untuk dijadikan sebagai pemimpin.
*Penulis adalah da’i dan pengasuh Ponpes Hidayatullah Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar