Suatu ketika, Abdurrahman bin Samurah diberi wasiat oleh Rasulullah SAW. Sabda beliau, ''Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah sekali-kali kamu meminta jabatan atau kekuasaan. Karena, jika engkau memperolehnya karena sebab meminta, maka engkau akan menanggung beban yang begitu berat. Tapi, jika ia engkau peroleh bukan karena engkau memintanya, maka engkau akan dibantu Allah dalam melaksanakannya.'' (HR. Abu Dawud).
Jabatan atau kedudukan, baik di pemerintahan, lembaga, atau bahkan di organisasi, adalah salah satu kenikmatan duniawi yang sering membuat orang silau. Banyak yang bermimpi mendapatkannya, meskipun harus menempuh cara-cara negatif yang dilarang agama. Dalam konteks ini, ada dua prototipe orang. Pertama, orang yang menggunakan segala macam cara guna meraih jabatan, meskipun mungkin merugikan diri sendiri maupun orang lain. Bagi orang seperti ini, jabatan adalah segalanya, karena ia dapat memberikan kenikmatan yang luar biasa besarnya.
Kedua, orang yang melihat 'biasa saja' terhadap jabatan, karena ia tahu jabatan atau kedudukan adalah tanggung jawab yang mesti dijaga sebaik mungkin. Untuk itu, ia akan berusaha semaksimal mungkin menggunakan jabatan itu untuk menciptakan kemaslahatan, tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk orang lain.
Dalam hal ini, agama sangat mengecam model orang yang ambisius terhadap jabatan. Jabatan yang mereka peroleh justru akan memberikan banyak kemudlaratan bagi orang lain ketimbang kemaslahatan. Model ini juga meniscayakan adanya banyak kecurangan dan ketidakjujuran yang berujung pada penggerogotan atau penyalahgunaan jabatan itu, demi meraih keuntungan pribadi semata. Jabatan bagi model ini adalah sebuah tujuan final yang harus diambil selagi sempat. Penghambaan terhadap jabatan, dengan demikian, menjadi inti dari segala gerak hidupnya.
Yang ideal adalah model kedua, yang justru jarang sekali kita temukan dalam kehidupan saat ini. Karena, ia meniscayakan adanya kejujuran, komitmen, kapabilitas, dan kesadaran akan tanggung jawab dalam menjalankannya. Jabatan di matanya adalah anugerah sekaligus amanah yang mesti disyukuri dalam bentuk kerja riil dan jelas, bertujuan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat.
Contoh model ini banyak kita temukan pada pribadi para sahabat Nabi SAW, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab, ketika mereka dilantik secara aklamasi oleh umat Islam menjadi khalifah. Mereka justru menangis, bukannya gembira, karena mereka tahu bagaimana beratnya memegang sebuah jabatan.
Jabatan, dengan demikian, seungguhnya bukanlah 'arena permainan' yang dapat diraih dengan berbagai macam cara, dan diselewengkan secara tidak bertanggung jawab. Jabatan adalah persoalan besar yang akan menjadi bahan pertanggungjawaban di akhirat kelak. Karena itu, tidak sepantasnyalah kita mengejar jabatan dengan segala cara. Namun, kalau kemudian kita diberi jabatan, maka itu harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya dan dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat. (Fajar Kurnianto)
sumber : republika
0 komentar:
Posting Komentar